Dwi Taufan Hidayat | Sekretaris Korp Alumni PW IPM/IRM Jawa Tengah
PAGI itu, angin bertiup lembut, menembus celah dedaunan pohon rendang di depan sekolah. Area itu menjadi tempat favorit para ibu yang mengantar anak-anak mereka. Beberapa kursi kayu tersusun rapi di bawah pohon, memberikan kenyamanan bagi mereka yang ingin sekadar duduk-duduk atau berbincang.
Setelah anak-anak mereka masuk ke dalam kelas, para ibu mulai berkumpul. Wajah mereka penuh senyum, menyapa satu sama lain dengan akrab. Aroma parfum yang mahal menyeruak di udara, bersaing dengan wangi embun pagi yang masih bertahan di dedaunan.
“Hari ini aku pakai parfum baru,” kata Lila sambil menyemprotkan sedikit ke udara, lalu membiarkannya tercium oleh ibu-ibu lain. “Baru beli dari Paris minggu lalu. Limited edition!”
“Wah, luar biasa! Kamu memang selalu punya selera tinggi,” sahut Dina, matanya berbinar mengagumi.
Obrolan mereka berlanjut, berputar pada topik-topik yang sama seperti hari-hari sebelumnya: koleksi perhiasan terbaru, merek tas yang sedang tren, hingga aksesori mahal yang menghiasi penampilan mereka. Namun, pagi itu suasana terasa berbeda. Di sudut kursi, seorang ibu bernama Rani duduk diam, memegang erat tas kain polosnya. Wajahnya tampak murung, seolah ada beban berat yang ia simpan.
“Lila,” bisik Dina sambil melirik ke arah Rani. “Aku dengar suami Rani lagi ada masalah besar. Usahanya bangkrut. Makanya, lihat saja, dia sekarang nggak banyak bicara seperti dulu.”
Lila mengangkat alis, lalu mendekatkan wajahnya ke Dina. “Oh, begitu ya? Aku juga dengar desas-desus kalau dia menjual sebagian perhiasannya. Kasihan sekali. Hidup itu memang penuh kejutan.”
Percakapan itu berlangsung pelan, namun cukup untuk sampai ke telinga Rani. Ia hanya menunduk, tak ingin memperlihatkan raut wajahnya yang mulai memerah. Meski pura-pura tak mendengar, hatinya terasa tertusuk.
Tak lama kemudian, muncul seorang ibu lain bernama Siska. Ia selalu dikenal karena pandai menjaga suasana dan sering menengahi pembicaraan yang mulai melenceng. Siska mendekat, membawa senyum hangat yang seolah bisa menenangkan siapa saja.
“Selamat pagi, semuanya!” sapanya sambil duduk di sebelah Rani. “Pagi yang indah, ya? Alhamdulillah kita masih diberi waktu untuk berkumpul dan saling menguatkan.”
Lila dan Dina tersenyum tipis. Siska lalu melirik Rani, yang tetap terdiam. Ia menggenggam tangan Rani dengan lembut.
“Rani, kamu nggak apa-apa? Aku perhatikan kamu agak pendiam belakangan ini,” tanya Siska dengan nada tulus.
Rani mencoba tersenyum, meskipun jelas sekali senyumnya penuh kepedihan. “Aku baik-baik saja, Sis. Hanya sedikit lelah.”
Siska mengangguk, namun ia tahu ada lebih dari sekadar kelelahan di balik wajah Rani. Ia lalu menatap Lila dan Dina. “Kita semua punya masa-masa sulit, ya. Kadang Allah memberikan ujian untuk menguatkan hati kita. Tapi, ada satu hal penting yang perlu kita ingat: ketika kita melihat saudara kita jatuh, tugas kita adalah menguatkan, bukan mencela.”
Kata-kata itu membuat Lila dan Dina terdiam sejenak. Dina mencoba tersenyum, meskipun jelas rasa tidak nyaman mulai muncul. “Kami nggak mencela, kok, Sis. Hanya membicarakan apa yang kami dengar.”
Siska tersenyum lembut, namun tatapannya tegas. “Tahu nggak, mencela atau membicarakan keburukan orang lain tanpa tujuan yang baik itu lebih besar dosanya daripada dosa yang dilakukan oleh orang yang kita bicarakan. Ibnul Qayyim pernah berkata, ‘Engkau mencela saudaramu yang melakukan dosa, ini lebih besar dosanya daripada dosa saudaramu itu.'”
Lila menghela napas. “Tapi maksud kami sebenarnya hanya ingin tahu saja, bukan untuk menjelekkan.”
Siska menepuk lembut tangan Lila. “Aku tahu, Lila. Tapi, bukankah lebih baik jika kita menasehati langsung atau setidaknya mendoakan? Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga hati mereka, tetapi juga menjaga hati kita sendiri dari prasangka dan dosa.”
Rani menatap Siska dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia merasa seolah ada seseorang yang akhirnya memahami perasaannya. “Terima kasih, Sis,” bisiknya pelan.
“Rani, kamu tidak sendiri. Setiap orang punya perjuangannya masing-masing. Kita ada di sini untuk saling mendukung, bukan saling menjatuhkan,” balas Siska.
Angin pagi kembali berembus, membawa ketenangan yang perlahan menyelimuti mereka. Pohon rindang di atas mereka seolah menjadi saksi, bahwa ada pelajaran berharga yang baru saja tercurah di tempat itu.
Di bawah pohon rindang, percakapan yang awalnya ringan berubah menjadi cermin bagi hati masing-masing. Siska mengingatkan mereka semua bahwa hidup bukan tentang menunjukkan kelebihan atau menghakimi kekurangan, tetapi tentang saling menguatkan dalam kasih sayang.
Seperti pohon yang rindangnya menaungi siapa saja, seharusnya hati manusia bisa menjadi tempat perlindungan bagi sesama. Bukankah Allah tidak melihat rupa atau harta, melainkan hati dan perbuatan?
Hidup ini memang penuh ujian, tetapi dalam setiap langkah, ada peluang untuk memperbaiki diri. Sebagaimana doa yang sering terucap: “Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.” Jalan itu mungkin penuh liku, namun dengan hati yang bersih dan lisan yang menjaga, kita akan sampai pada ridha-Nya. (*)