Senin, Maret 3, 2025
No menu items!

CERPEN: Dzun Nurain, Cahaya di Tengah Fitnah

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Senja berpendar lembut di langit Madinah, menyelimuti rumah sederhana yang di dalamnya seorang lelaki berusia senja tengah duduk bersimpuh, lembaran mushaf terbuka di hadapannya. Ia membaca dengan penuh kekhusyukan, seakan huruf-huruf itu mengalir langsung ke dalam jiwanya.

Di luar rumah, riuh suara massa semakin mendekat. Teriakan-teriakan penuh kebencian bercampur dengan suara gemerincing senjata. Mereka datang, bukan dengan niat baik, tetapi dengan hasrat menghakimi, membakar kemarahan yang telah lama mereka pupuk.

Utsman bin Affan, sang Dzun Nurain, tahu bahwa ajalnya mendekat. Namun, tidak ada ketakutan di matanya. Ia tetap membaca, jiwanya tenang seperti air yang mengalir di sumur Raumah—sumur yang ia beli dan wakafkan untuk umat Islam.

Malam itu, Madinah dipenuhi bisik-bisik. Sebagian penduduk memilih diam, takut menjadi sasaran fitnah. Sebagian lainnya dikuasai amarah, terbakar oleh hasutan yang disebarkan oleh mereka yang haus kekuasaan. Di balik tirai gelap, ada yang berkhianat, ada pula yang tetap setia.

Di sudut lain, seorang lelaki muda duduk di antara para pemberontak. Namanya Malik. Dulu, ia adalah seorang pemuda yang mendapat banyak manfaat dari kedermawanan Utsman. Namun kini, ia termakan hasutan, percaya bahwa Khalifah ketiga itu tidak lagi layak memimpin.

“Apa kau tidak melihat? Kekayaan hanya berputar di tangan orang-orang dekatnya!” seru seorang pemimpin pemberontak.

Malik menggertakkan giginya. Benarkah? Bukankah dulu dia sendiri yang menerima kebaikan dari Utsman? Tetapi fitnah telah menjadi bara yang menghanguskan keraguan. Ia memilih membisu, membiarkan api kemarahan semakin membesar.

Di sisi lain, Ammar, seorang sahabat setia Utsman, mendengar kabar tentang pengepungan itu. Ia ingin bergerak, tetapi Utsman telah melarangnya. “Jangan ada pertumpahan darah,” begitu pesan sang Khalifah.

Ammar merasa hatinya terhimpit. Bagaimana mungkin ia membiarkan seseorang yang begitu lembut, begitu dermawan, dianiaya oleh orang-orang yang dahulu menerima kebaikannya?

Pagi datang, tetapi langit terasa muram. Para pemberontak telah mengepung rumah Utsman. Mereka menuntutnya turun dari kepemimpinan.

Utsman berdiri di hadapan mereka dengan wajah yang tetap tenang. “Apakah kalian akan membunuhku karena aku telah membagikan hartaku untuk kalian? Karena aku telah memperluas masjid Nabawi? Karena aku telah membiayai pasukan di medan perang?”

Tidak ada yang menjawab. Hanya kebencian yang berpendar di mata mereka.

Lalu, seorang lelaki maju. Itu Malik. Tangannya gemetar, tetapi pedangnya terhunus. Matanya bertemu dengan mata Utsman, dan di sana ia melihat sesuatu yang menghantam hatinya—ketenangan, kasih sayang, dan penerimaan.

“Kau juga, Malik?” suara Utsman begitu lirih, tetapi terasa seperti gemuruh yang mengguncang jiwa.

Tangan Malik bergetar semakin hebat. Ia ingin menjatuhkan pedangnya, tetapi suara-suara di sekelilingnya semakin menekan. “Ayo! Dia harus mati!”

Maka, dengan sisa keberanian yang rapuh, ia mengayunkan pedangnya.

Darah pertama menetes ke atas mushaf yang masih terbuka. Utsman tersenyum, bibirnya masih melantunkan ayat-ayat Allah.

Malaikat mencatat peristiwa itu, dan langit menangis dalam diam.

Berhari-hari setelah kejadian itu, Madinah masih diliputi kebisuan. Orang-orang mulai sadar bahwa mereka telah membunuh seorang yang paling mulia akhlaknya.

Di sudut kota, Malik duduk memeluk lututnya. Tangan yang dulu menggenggam pedang kini gemetar tanpa henti. Fitnah telah membutakannya, dan kini penyesalan menggulungnya seperti ombak yang tak bertepi.

Di atas tanah yang telah menyerap darah sang Dzun Nurain, angin berbisik lembut, seakan membawa pesan bahwa kesabaran akan selalu menjadi cahaya yang abadi.

Sebagaimana Al-Qur’an yang tetap utuh, meski lembarannya terkena darah suci.

Ustadz Syaeful Ajak Jamaah Kikis Sifat Khianah untuk Tingkatkan Kesadaran Hamba Allah

JAKARTAMU.COM -- Pada kegiatan malam ke-3 Ramadhan 1446 H di Masjid At Taqwa, PCM Matraman, Kayumanis Jakarta Timur; Tausiyah...

More Articles Like This