Jumat, Januari 24, 2025
No menu items!

Cerpen: Fajar di Balik Jahitan

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat | Penasehat Takmir Mushala Al-Ikhlas Kabupaten Semarang

LANGIT kelabu menaungi pabrik garmen yang sibuk. Di dalam gedung yang luas namun terasa sesak, mesin jahit berdengung tanpa henti, seolah berpacu dengan waktu.

Di salah satu sudut, para pekerja di bagian setrika berdiri berjajar. Uap panas dari setrika uap menyelimuti ruangan, bercampur dengan aroma kain baru. Wajah-wajah lelah tampak jelas, mencerminkan tekanan dari target yang harus diselesaikan sebelum matahari terbenam.

Flora, manajer produksi, melangkah dengan tegas. Penampilannya yang rapi selalu kontras dengan para buruh yang pakaian kerjanya basah oleh keringat. Ia dikenal sebagai sosok yang perfeksionis dan tidak kompromi. Di mata buruh, Flora adalah wujud tekanan itu sendiri—pengingat bahwa target adalah segalanya.

“Kalian masih terlalu lambat!” suaranya menggelegar di ruangan setrika. “Jika 3000 potong ini tidak selesai sebelum jam lima, kita akan kehilangan kontrak besar!”

Seorang pekerja bernama Rini menunduk sambil merapikan ujung pakaian yang baru saja ia setrika. Luka bakar kecil di tangannya adalah bukti perjuangannya. “Bu Flora,” katanya pelan, “kami sudah bekerja semaksimal mungkin. Tapi target ini terlalu berat.”

Flora memicingkan mata, tanpa menunjukkan sedikit pun simpati. “Jika tidak mampu, perusahaan bisa mencari pengganti. Ingat, kalian digaji untuk bekerja, bukan mengeluh!”

Hari-hari berlalu dalam tekanan yang sama. Para buruh merasa seperti robot yang diperas tenaga dan waktunya. Gaji mereka hanya sedikit di atas UMR, nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Serikat Buruh, yang menjadi harapan terakhir mereka, seringkali tidak berdaya menghadapi manajemen yang keras. Berulang kali protes diajukan—soal gaji, target kerja, dan jam lembur yang melelahkan—namun selalu berujung pada penolakan.

“Kabar pemecatan itu menyebar cepat. Di kantin, di sudut-sudut mesin jahit, bahkan di ruang setrika, para buruh mulai membicarakan tindakan balasan. Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk bergerak.”

Puncak ketegangan terjadi ketika tiga pengurus Serikat Buruh dipecat secara sepihak. Perusahaan berdalih ini adalah bagian dari “pengurangan tenaga kerja,” tetapi semua buruh tahu bahwa alasan itu hanyalah kedok. Para pengurus Serikat Buruh itu dipecat karena mereka vokal menyuarakan hak-hak pekerja.

Kabar pemecatan itu menyebar cepat. Di kantin, di sudut-sudut mesin jahit, bahkan di ruang setrika, para buruh mulai membicarakan tindakan balasan. Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk bergerak.

Hari itu, lebih dari 2200 buruh berkumpul di halaman pabrik. Mereka membawa spanduk besar bertuliskan “KEADILAN UNTUK BURUH” dan “HENTIKAN KESERAKAHAN.” Suara mereka menggema, menjadi satu dalam kemarahan dan tuntutan.

Di tengah kerumunan, Rini memimpin aksi dengan suara lantang. “Kita ini manusia, bukan mesin! Kita punya hak untuk hidup layak, untuk bekerja tanpa tekanan yang tidak manusiawi!” Seruannya disambut dengan teriakan semangat dari buruh lainnya.

Di balik jendela kantor, Flora memandang massa dengan raut wajah tegang. Ia tidak terbiasa melihat perlawanan sebesar ini. Namun, ada sesuatu yang menggelitik nuraninya. Selama ini, ia terlalu sibuk memenuhi target perusahaan, tanpa memikirkan kehidupan orang-orang yang bekerja di bawahnya.

Demo itu berlangsung sepanjang hari. Hujan turun, membasahi mereka yang bertahan di halaman pabrik. Namun, para buruh tidak menyerah. Mereka yakin, ini adalah saatnya memperjuangkan hak yang selama ini diabaikan.

Malam itu, Flora akhirnya keluar dari kantornya. Dengan langkah pelan, ia mendekati kerumunan. Wajah-wajah buruh menatapnya dengan penuh harap, namun juga dengan kewaspadaan.

“Saya ingin bicara,” katanya. Suaranya terdengar lebih tenang dari biasanya. “Saya tahu kalian merasa tidak dihargai. Dan mungkin, kalian benar. Saya terlalu fokus pada angka, sehingga lupa bahwa angka-angka itu dikerjakan oleh manusia.”

Kerumunan mulai hening. Flora melanjutkan, “Bukankah setelah kesulitan selalu ada kemudahan? Saya ingin memulai perubahan. Saya akan menyampaikan tuntutan kalian kepada manajemen pusat, dan saya akan mengusulkan revisi sistem kerja dan pengupahan.”

Kata-katanya disambut dengan sorakan kecil. Meskipun itu belum menjamin kemenangan, langkah Flora memberikan secercah harapan.

Beberapa bulan kemudian, perubahan mulai terasa. Gaji dinaikkan sedikit demi sedikit, target kerja diatur lebih realistis, dan suasana kerja perlahan menjadi lebih manusiawi. Flora, meski tetap tegas, mulai menunjukkan sisi yang lebih peduli. Para buruh menyadari bahwa perjuangan mereka belum selesai, tapi setidaknya, mereka telah membuktikan bahwa mereka tidak bisa terus-menerus diperlakukan semena-mena.

Seperti fajar yang selalu menyusul malam, keadilan mulai tampak, meskipun perlahan. Dan janji Tuhan benar adanya: di balik setiap kesulitan, selalu ada kemudahan. (*)

Cerpen: Subuh di Kauman

FAJAR baru saja merekah di langit Kauman, sebuah kampung yang menjadi denyut nadi kehidupan religius masyarakat kota itu....

More Articles Like This