Oleh: Dwi Taufan Hidayat
HIDUP rumah tangga Andi dan Liana awalnya harmonis, tapi seiring berjalannya waktu, pertengkaran mulai sering terjadi. Hal-hal kecil yang dulu dianggap manis, kini berubah menjadi pemicu perang dingin.
Liana mulai merasa Andi kurang perhatian, sering pulang larut, dan lebih sibuk dengan pekerjaannya. Sementara itu, Andi merasa Liana terlalu menuntut dan sering mengungkit hal-hal sepele.
Konflik Menuju Perceraian
Suatu malam, pertengkaran mereka memuncak.
“Kamu tuh gak pernah berubah! Selalu lupa ulang tahun pernikahan kita!” Liana mendelik, tangannya berkacak pinggang.
Andi menghela napas panjang. “Ya Allah, ini lagi! Aku sibuk kerja, cari nafkah buat kita. Masa kamu cuma fokus ke hal kayak gitu?”
“Hal kayak gitu? Buat aku ini penting, Andi! Seenggaknya, satu hari dalam setahun kamu bisa peduli!”
“Liana, udah cukup! Aku capek! Kalau memang gak bisa saling ngerti, mending…”
Liana menunggu kelanjutan kalimat itu, tapi Andi terdiam.
“Mending apa, Andi?”
“Mending kita pisah.”
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Liana menatap Andi dengan mata berkaca-kaca.
“Oke, kalau itu maumu,” katanya, sebelum masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras.
Beberapa hari kemudian, perceraian resmi terjadi. Liana kembali ke rumah orang tuanya, sementara Andi tinggal sendirian di rumah mereka yang dulu penuh tawa.
Kesepian dan Penyesalan
Awalnya, Andi merasa lega. Tidak ada lagi pertengkaran, tidak ada lagi omelan. Tapi setelah beberapa minggu, kesepian mulai menghantam. Rumah terasa hampa. Makan sendirian, tidur sendirian, dan yang paling menyakitkan, tidak ada lagi suara Liana yang dulu selalu menyambutnya pulang.
Andi mulai merindukan hal-hal kecil: suara Liana saat bernyanyi di dapur, cara dia mengomentari acara TV, bahkan cara Liana cemberut saat marah.
Suatu malam, saat sedang makan mi instan di meja makan, dia menatap piring kosong di depannya dan menghela napas panjang.
“Ya Allah, aku bodoh banget,” gumamnya.
Akhirnya, setelah berhari-hari bergulat dengan perasaannya, Andi memberanikan diri menelepon Liana.
Percakapan Gelas Plastik
Telepon tersambung. Setelah beberapa nada tunggu, suara yang dirindukan itu terdengar.
“Assalamu’alaikum,” suara Liana terdengar datar.
“Wa’alaikumsalam. Sayang, maafkan aku. Aku mau rujuk padamu.”
Keheningan.
“Di dekatmu ada gelas?” tanya Liana tiba-tiba.
“Hah? Gelas? Buat apa? Tidak ada. Kenapa emangnya?”
“Kalau begitu pergi ke dapur dan ambil sekarang…” nadanya agak tajam.
Andi mengernyitkan dahi. “Kayaknya kamu udah gak beres. Tapi demi kamu, gak apa-apa, aku ambilkan sayang…”
Beberapa detik kemudian, Andi kembali dengan gelas di tangannya.
“UDAH SAYANG, UDAH DAPET GELASNYA! Terus digimanain?” tanyanya dengan semangat.
“Lemparkan gelas itu ke lantai,” perintah Liana dengan suara sedikit membentak.
Andi mengangkat bahu, lalu melemparkan gelas itu sekeras mungkin. Tapi anehnya, gelas itu tetap utuh.
“Sekarang kembalikan gelas itu seperti semula, gak mungkin bisa kan? Begitu juga hatiku…” suara Liana terdengar emosional.
Andi menatap gelas di lantai dan menyeringai. “Gelasnya gak pecah, Sayang… karena gelas plastik.”
Keheningan. Lalu…
“Iiiiiih, sebel deh! Ya udah, cepetan jemput aku. Jangan lupa ajak aku belanja ya. Udah keluar kan gajinya?”
Andi tertawa terbahak-bahak. “Astaghfirullah, jadi ini modus belanja? Dasar, kamu emang nggak berubah!”
“Ya iyalah, aku kan istrimu,” balas Liana dengan suara yang lebih lembut.
Kehidupan Setelah Rujuk
Andi benar-benar menjemput Liana. Saat bertemu, keduanya saling memandang lama.
“Kamu kelihatan makin cantik,” ujar Andi sambil tersenyum.
“Kamu juga kelihatan makin tua,” balas Liana sambil terkikik.
Mereka berdua akhirnya rujuk. Namun, kehidupan setelah itu penuh dengan kejadian lucu.
- Perjuangan Mendapat Maaf Ibu Mertua
Saat Andi berkunjung ke rumah mertuanya untuk menjemput Liana, ibu mertuanya hanya mendengus.
“Andi, saya masih ingat kamu ngomong mau cerai.”
Andi menelan ludah. “Iya, Bu, itu kemarin khilaf.”
“Khilaf apaan? Kamu tuh kayak sandal jepit, bentar ada bentar ilang.”
Liana tertawa melihat wajah suaminya yang pasrah.
- Kejadian di Supermarket
Di supermarket, Liana memasukkan berbagai barang ke troli dengan antusias.
Andi berbisik, “Sayang, kenapa rasanya kayak kita lagi ambil barang buat sumbangan korban bencana?”
Liana tersenyum manis. “Kan kamu bilang mau memperbaiki semuanya, termasuk memperbaiki cara aku belanja.”
Andi hanya bisa pasrah sambil menghitung sisa saldo di rekeningnya.
- Malam Pertama Setelah Rujuk
Saat malam pertama setelah rujuk, Andi berkata dengan mesra, “Sayang, aku janji kali ini kita bakal lebih baik.”
Liana tersenyum, lalu menguap. “Aku ngantuk. Besok aja ngomongnya.”
Andi menatap langit-langit. “Ya Allah, cobaan apalagi ini…”
Penutup
Hari-hari setelah rujuk penuh warna. Mereka tetap bertengkar, tetap bercanda, tetap saling menggoda. Tapi satu hal yang berbeda: mereka kini lebih menghargai satu sama lain.
Dan tentu saja, Andi mulai menyetok banyak gelas plastik di rumah—sebagai pengingat bahwa cinta sejati itu, meskipun sempat jatuh, tidak selalu harus pecah.