Selasa, Maret 18, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Harga Diri

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Malam merayap lambat, menyisakan sunyi yang semakin menusuk ke dalam hati. Rintik hujan menari di atas genting, membentuk simfoni pilu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang tengah patah. Di dalam kamar, Hana duduk bersandar di kepala ranjang, tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin.

Ia tidak menangis. Ia juga tidak mengamuk. Hanya ada perasaan kosong yang menggerogoti perlahan, merayapi rongga dada seperti asap yang memenuhi ruangan tanpa jalan keluar.

Ponselnya bergetar di meja rias. Hana melirik sekilas. Pesan dari Dita.

“Lo masih bisa diem aja, Han? Kalau gue jadi lo, udah gue labrak tuh cewek!”

Hana tersenyum kecil, pahit. Jari-jarinya mengetik balasan.

“Buat apa, Ta? Kalau dua-duanya nggak sama, ya nggak bakal selingkuh.”

Balasan Dita datang cepat.

“Jangan bilang lo cuma bakal diem aja! Lo nggak mau berjuang?”

Hana menaruh ponsel tanpa membalas. Berjuang? Untuk apa? Bukankah cinta itu seharusnya tidak perlu diperjuangkan sampai sejauh itu? Bukankah jika seseorang benar-benar mencintai, ia tidak akan membiarkan yang lain merasa tersisih?

Kepalanya bersandar ke dinding. Matanya menerawang menatap langit-langit. Ia telah memberi segalanya. Kesetiaan, kepercayaan, cinta tanpa batas. Tapi nyatanya, semua itu tetap tidak cukup.

Dua bulan lalu, semuanya masih terasa utuh.

Di bawah langit yang bertabur bintang, Hana dan Damar duduk di teras rumah mereka. Kopi masih mengepul di cangkir, angin malam mengusap lembut wajah mereka.

“Aku bersyukur punya kamu, Han,” kata Damar sambil menggenggam tangannya.

Kala itu, Hana percaya sepenuh hati. Ia berpikir bahwa rumah tangga mereka akan selalu seperti ini—hangat, penuh cinta, tidak ada yang bisa merobohkan pondasi yang telah mereka bangun bersama.

Namun ternyata, kepercayaan bisa rapuh seperti kaca. Sekali retak, tak akan bisa kembali utuh.

Hana menunggu di ruang tamu malam itu. Pintu depan terbuka pelan. Damar masuk, wajahnya sedikit terkejut melihat istrinya masih terjaga.

“Kamu kenapa belum tidur?” tanyanya sambil melepas jaket.

“Kita perlu bicara.”

Damar terdiam sejenak sebelum akhirnya duduk di sofa.

“Aku udah tahu,” lanjut Hana tanpa membuang waktu.

Damar menghela napas. “Tahu apa?”

Hana menatapnya. “Tentang dia.”

Keheningan menggantung di udara. Damar menunduk, memainkan jemarinya. Hana tidak menuntut pengakuan. Ia sudah cukup dewasa untuk memahami bahwa kadang, diam adalah bentuk jawaban yang paling menyakitkan.

“Aku cuma mau tahu satu hal,” katanya kemudian. “Apa kamu masih mencintaiku?”

Damar tidak langsung menjawab. Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Bibirnya sedikit bergetar, matanya enggan menatap Hana.

Dan bagi Hana, itu sudah cukup sebagai jawaban.

“Baik,” katanya, bangkit dari sofa.

Damar menatapnya penuh kebingungan. “Maksud kamu?”

“Aku nggak bisa memaksa orang untuk tetap cinta dan setia. Kamu sudah dewasa, kamu bisa memilih apa yang kamu mau.”

Damar meremas ujung celananya. “Jadi… kamu nggak mau memperjuangkan aku?”

Hana tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, tapi tawa getir yang penuh ironi.

“Aku sudah melakukan yang terbaik sebagai istri, Dam. Aku nggak pernah nyusahin kamu. Aku selalu ada buat kamu. Aku nggak kurang apa-apa. Jadi kalau kamu masih selingkuh, yang rugi siapa?”

Damar menggigit bibir. Matanya mencari sesuatu di wajah Hana—mungkin harapan, mungkin permohonan agar ia tetap tinggal.

“Apa… aku masih boleh tetap di sini?” tanyanya lirih.

Hana menatapnya lama.

“Boleh,” jawabnya akhirnya. “Tapi bukan sebagai suamiku. Kamu boleh tinggal sampai kamu siap pergi.”

Hari-hari berlalu dengan keheningan yang lebih mencekam dari pertengkaran.

Damar masih tinggal di rumah mereka, tapi ia bukan lagi bagian dari Hana. Mereka berbagi ruang yang sama, namun tidak ada lagi percakapan hangat di antara mereka. Tidak ada lagi genggaman tangan, tidak ada lagi pelukan yang menenangkan.

Hana tidak pernah bertanya apa yang Damar putuskan. Akan pergi atau tetap tinggal, itu urusan laki-laki itu. Ia tidak akan memohon.

Suatu malam, Hana duduk di teras, menatap langit yang sama dengan dua bulan lalu. Tapi kini, tidak ada tangan yang menggenggamnya. Tidak ada suara yang berkata bahwa ia dicintai.

Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa lebih utuh dari sebelumnya.

Ia telah memilih untuk tidak kehilangan dirinya sendiri.

spot_img

Hari ke-18: Keutamaan Sedekah di Bulan Ramadhan, Jalan Menuju Keberkahan dan Ampunan

JAKARTAMU.COM | Bulan Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan, di mana setiap amal ibadah dilipatgandakan pahalanya. Salah satu amalan yang...

More Articles Like This