Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Hujan turun di luar jendela. Gemericiknya menyelinap masuk ke dalam sunyi, menemani seseorang yang sedang termenung sendirian di sudut kamar. Di atas meja kayu, secangkir kopi masih mengepul, tapi tak sedikit pun disentuh. Tangannya gemetar, menahan perih yang tak kasat mata.
Di layar ponselnya, sebuah pesan masih terpampang jelas.
“Maaf. Aku tidak bisa lagi bersamamu.”
Sederhana. Tanpa penjelasan. Tanpa permintaan maaf yang sungguh-sungguh. Seolah bertahun-tahun kebersamaan mereka hanya lembaran kosong yang bisa dirobek kapan saja.
Mira menarik napas panjang. Hatinya masih sulit menerima kenyataan. Ia menatap ponselnya lama, seolah berharap ada kelanjutan dari pesan itu. Tapi tidak ada. Ardi, orang yang selama ini ia percayai, sudah memilih pergi.
Kenangan yang Berkilau
Beberapa tahun lalu, hujan juga turun di sore yang sepi. Mira dan Ardi duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota. Tangan mereka bertaut di atas meja.
“Apa yang kamu lihat dari hujan?” tanya Ardi tiba-tiba.
Mira tersenyum kecil, matanya menerawang ke luar jendela. “Hujan itu seperti kenangan. Kadang membawa kesejukan, kadang membawa dingin yang menusuk.”
Ardi tertawa, lalu menggenggam tangan Mira lebih erat. “Kalau begitu, aku ingin jadi pelangi setelah hujanmu. Supaya kamu selalu punya alasan untuk tersenyum.”
Kata-kata itu pernah terdengar seperti janji. Janji yang saat itu begitu dipercayai oleh Mira.
Tapi sekarang, semua itu terasa seperti kebohongan manis.
Luka yang Menganga
Hari itu, Mira tidak sengaja melihat sesuatu yang menghancurkan segalanya.
Di sebuah kafe yang biasa mereka datangi, ia melihat Ardi. Duduk berhadapan dengan seorang perempuan. Tertawa, bergandengan tangan.
Nadine.
Sahabatnya sendiri.
Dada Mira terasa sesak. Kakinya lemas, tapi ia tidak bisa berpaling. Ia berharap ada penjelasan masuk akal untuk apa yang ia lihat. Tapi tidak ada. Ardi mendongak, mata mereka bertemu. Seketika wajahnya memucat.
Dan saat itu juga, Mira tahu.
Bukan hanya pacarnya yang mengkhianatinya. Tapi juga sahabatnya. Dua orang yang paling ia percaya.
Sunyi yang Menyakitkan
Mira tidak menghubungi Ardi. Tidak juga Nadine.
Bukan karena ia tidak ingin marah, tapi karena ia tahu, pengkhianatan seperti ini tidak bisa dijawab dengan kemarahan.
Saat pesan singkat dari Ardi datang, ia hanya bisa tersenyum pahit.
“Maaf. Aku tidak bisa lagi bersamamu.”
Itu bukan maaf. Itu hanya pernyataan bahwa ia telah memilih.
Dan yang dipilihnya bukanlah Mira.
Malam itu, Mira duduk di ranjangnya, menatap kosong ke langit-langit kamar. Ia bertanya-tanya, sejak kapan ia mulai kehilangan Ardi? Sejak kapan Nadine berkhianat? Apakah ada tanda-tanda yang ia lewatkan?
Hatinya terasa hancur. Bukan hanya karena kehilangan orang yang ia cintai, tapi karena ia merasa bodoh. Mengapa ia tidak pernah melihat semua ini sebelumnya?
Berdamai dengan Hujan
Esok harinya, hujan masih turun.
Mira melangkah keluar rumah tanpa membawa payung. Ia membiarkan air hujan membasahi wajahnya, meresap ke dalam kulitnya yang dingin. Ia berjalan tanpa tujuan, membiarkan pikirannya mengalir bersama hujan.
Di tengah jalan, ia melihat pasangan muda berjalan berdampingan, saling berbagi payung, tertawa bersama. Dulu, ia dan Ardi seperti itu.
Tapi sekarang, semua itu hanya kenangan.
Ia menatap ke langit. Gelap. Penuh awan kelabu. Tapi di ujung cakrawala, samar-samar, ada seberkas warna yang mulai muncul.
Mungkin pelangi tidak selalu datang dari seseorang yang menjanjikan kebahagiaan.
Mungkin pelangi itu ada dalam dirinya sendiri.
Tapi untuk saat ini, ia membiarkan hujan membasuh luka-lukanya.
Dan ia tahu, suatu saat nanti, ia akan berjalan pergi tanpa lagi merasa sakit. (“)