HADI berdiri di depan sebuah gedung perkantoran di bilangan Sudirman, menggenggam map berisi fotokopi ijazah, transkrip nilai, dan berbagai sertifikat pelatihan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun. Wajahnya tampak letih, tetapi ia tetap berusaha tersenyum. Ini adalah wawancara kerja ke-23 yang ia datangi dalam lima bulan terakhir.
Hari itu, langit Jakarta terlihat mendung. Seolah ikut memahami nasibnya yang masih abu-abu. Ia mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam, satu-satunya pakaian formal yang ia punya.
Begitu tiba di ruang wawancara, Hadi disambut seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal. HRD itu membaca CV-nya sekilas, lalu menatapnya dengan datar.
“Kami butuh pengalaman minimal dua tahun di bidang administrasi,” ujar wanita itu.
Hadi tersenyum kaku. “Tapi, Bu, saya baru lulus. Saya siap belajar dan bekerja keras.”
HRD itu menatapnya tanpa ekspresi. “Kami juga mencari kandidat yang punya kemampuan bahasa Inggris minimal TOEFL 500.”
“Tapi di iklannya tidak disebutkan…” Hadi berusaha menahan kecewa.
“Syarat internal, Mas. Terima kasih sudah datang, ya. Nanti kalau ada posisi lain yang cocok, kami akan hubungi.”
Jawaban klise itu terdengar seperti penolakan yang sudah dikemas rapi. Hadi mengangguk lesu dan keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk.
Di luar, angin berembus kencang. Ia menatap gedung-gedung tinggi yang seakan menertawakan nasibnya. “Kenapa cari kerja susah sekali?” gumamnya.
Hadi pulang dengan bus TransJakarta. Perjalanan panjang itu diisi dengan renungan. Selama ini, ia selalu percaya bahwa pendidikan adalah kunci keberhasilan. Ia ingat bagaimana ibunya bekerja keras berjualan nasi uduk di gang sempit demi membiayai kuliahnya.
“Mau jadi apa kalau nggak kuliah?” begitu selalu kata ibunya.
Tapi kenyataan berbicara lain. Gelar sarjana yang ia dapatkan dengan susah payah tak lebih dari selembar kertas mahal yang kini tak punya nilai.
Sampai di kontrakan, ibunya sudah menunggunya di depan pintu.
“Gimana, Di?” tanyanya penuh harap.
Hadi hanya menggeleng. “Ditolak lagi, Bu.”
Ibunya menghela napas panjang. “Besok kita harus bayar kontrakan.”
Hadi menunduk. Isi dompetnya hanya cukup untuk makan beberapa hari ke depan. Ia ingin membantu ibunya, tapi bagaimana kalau ia sendiri masih menganggur?
Malam itu, ia menatap map ijazahnya lama. Setumpuk sertifikat dan piagam yang dulu membanggakan kini terasa hampa.
Dua bulan berlalu. Setelah berbagai usaha, akhirnya Hadi mendapatkan pekerjaan sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil. Gajinya hanya sedikit di atas UMR, tapi setidaknya ia bisa bernapas lega.
Hari pertama bekerja, ia datang lebih awal dan bekerja dengan semangat. Ia ingin membuktikan bahwa ia pantas berada di sana. Tapi ketika gajinya cair di akhir bulan, ia hampir tak percaya.
Dari jumlah gaji yang seharusnya ia terima, ada banyak potongan yang membuat angka akhirnya mengecil drastis. Pajak penghasilan, iuran BPJS, dan berbagai potongan lain yang tak ia pahami.
Ia langsung menuju bagian keuangan.
“Pak, ini kenapa gaji saya dipotong banyak sekali?” tanyanya.
Staf keuangan hanya tersenyum. “Ya itu pajak, BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan. Semua karyawan kena potongan.”
Hadi menghela napas panjang. Negara tidak pernah membantunya mencari pekerjaan, tapi begitu ia mendapat gaji, negara adalah yang pertama mengambil jatahnya.
Ia pulang dengan perasaan yang sama seperti saat masih menganggur—hampa.
Saat tiba di rumah, ibunya menunggunya dengan senyum. “Alhamdulillah, gaji pertama, ya? Bisa buat bayar kontrakan?”
Hadi mengeluarkan amplop gajinya dan menyerahkan sebagian uangnya kepada ibunya.
Ibunya tersenyum, tapi kemudian mengerutkan dahi. “Kok sedikit, Di?”
Ia hanya menggeleng. “Banyak potongan, Bu.”
Malam itu, ia kembali menatap ijazahnya. Selembar kertas mahal yang dulu ia pikir adalah kunci kesuksesan, kini terasa tak lebih dari beban.
Di luar, suara klakson kendaraan masih terdengar. Jakarta tetap hidup, tetap sibuk. Tapi bagi Hadi, semua terasa seperti treadmill—bergerak, berlari, tapi tak pernah benar-benar maju. (Dwi Taufan Hidayat)