Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Arga menatap layar laptopnya dengan mata berbinar. Malam itu, ia baru saja menyelesaikan kursus daring tentang data science yang diambilnya dari sebuah platform belajar digital. Bagi banyak orang, ini mungkin hanya sekadar kursus biasa, tetapi bagi Arga, ini adalah tiket menuju impian yang telah lama ia kejar.
Di kamar kosnya yang sempit, di antara tumpukan buku dan catatan, Arga menemukan kebebasan yang sesungguhnya: kebebasan untuk belajar tanpa batas. Ia bukan anak orang kaya, tak pernah berkuliah di kampus ternama, tetapi internet telah membukakan dunia yang lebih luas daripada sekadar bangku kuliah.
“Lo nggak capek, Ga? Kursus melulu,” tanya Danu, teman sekamarnya, yang lebih senang menghabiskan waktu dengan gim daring dan nongkrong di warung kopi.
Arga tersenyum. “Capek, sih. Tapi gue yakin, ini jalan gue buat maju.”
Danu mendecak. “Ah, lo kebanyakan teori. Gue lebih percaya relasi. Yang penting kenal orang dalam, bro. Bukan cuma belajar dari layar.”
Arga tak membantah. Ia tahu ada banyak cara untuk sukses. Tapi baginya, ilmu adalah senjata. Dan dengan teknologi, ia tak perlu menunggu orang lain mengajarinya.
Tak jauh dari kos Arga, seorang pria bernama Bayu sedang duduk di ruangan kerjanya. Ia adalah manajer di sebuah perusahaan teknologi yang tengah berkembang pesat. Meski usianya baru 32 tahun, Bayu sudah berada di puncak karier, berkat keuletan dan visi bisnisnya.
Namun, ia punya pandangan berbeda soal belajar.
“Orang-orang terlalu percaya pada kursus daring itu,” katanya pada rekannya, Fadil. “Gue lebih percaya sama pengalaman langsung di dunia kerja. Bukan teori yang diajarin di internet.”
Fadil tertawa kecil. “Tapi banyak anak muda sekarang yang berkembang lewat belajar mandiri, Bay. Gue lihat banyak yang sukses meski gak punya gelar tinggi.”
Bayu menggeleng. “Tanpa pengalaman nyata, semua teori itu cuma ilusi. Dunia nyata beda, Fadil. Di sini yang bertahan bukan yang paling pintar, tapi yang paling bisa beradaptasi.”
Fadil tidak membantah. Namun, diam-diam ia berpikir, mungkinkah Bayu terlalu menutup diri dari perubahan zaman?
Arga menyelesaikan proyek analisis datanya hingga larut malam. Ia tahu bahwa tanpa pengalaman kerja formal, ia harus memiliki sesuatu yang membuktikan kemampuannya.
Keesokan harinya, ia menerima panggilan wawancara dari perusahaan impiannya. Perusahaan itu adalah salah satu startup teknologi yang sedang berkembang. Dengan penuh semangat, ia mengenakan kemeja terbaiknya dan bergegas ke lokasi wawancara.
Sesampainya di sana, ia tak menyangka akan berhadapan langsung dengan Bayu sebagai pewawancaranya.
“Jadi, kamu belajar data science secara mandiri?” tanya Bayu, membaca CV Arga dengan alis mengernyit.
“Ya, Pak. Saya mengambil kursus daring dan mengerjakan beberapa proyek pribadi,” jawab Arga mantap.
Bayu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kamu sadar, kan? Banyak orang di luar sana yang punya gelar dan pengalaman nyata. Kenapa saya harus memilih kamu?”
Arga menarik napas. Ia tahu ini momen penting. “Saya memang belajar secara mandiri, Pak. Tapi saya yakin, yang terpenting bukan di mana kita belajar, tapi bagaimana kita mengaplikasikan ilmu itu. Saya punya beberapa proyek yang sudah saya buat sendiri. Saya bisa tunjukkan kepada Bapak.”
Bayu menatapnya dalam diam. Ada sesuatu dalam diri pemuda ini yang mengingatkannya pada dirinya sendiri saat muda. Namun, ia masih ragu.
“Baiklah, coba perlihatkan.”
Arga membuka laptopnya, menunjukkan proyek-proyek analisis data yang ia buat dari nol. Ia menjelaskan dengan antusias, menjawab setiap pertanyaan Bayu dengan percaya diri.
Bayu masih mencoba mencari celah kelemahan, tetapi semakin Arga menjelaskan, semakin sulit ia menyangkal bahwa anak ini benar-benar berbakat.
Di akhir wawancara, Bayu terdiam sejenak.
“Kamu tahu, saya dulu juga seperti kamu. Belajar sendiri, berusaha membuktikan diri,” katanya pelan.
Arga menatapnya penuh harap.
“Tapi dunia kerja itu keras,” lanjut Bayu. “Saya tetap percaya bahwa pengalaman nyata lebih penting. Tapi… saya ingin lihat seberapa jauh kamu bisa berkembang di sini.”
Senyum tipis terukir di wajah Arga. “Terima kasih, Pak. Saya akan membuktikan bahwa belajar mandiri bisa membawa perubahan nyata.”
Dua tahun kemudian, Arga berdiri di atas panggung konferensi teknologi, memberikan presentasi tentang inovasi dalam analisis data. Di antara hadirin, Bayu duduk dengan bangga, menyadari bahwa dunia memang telah berubah.
Ia tidak lagi meragukan kekuatan pembelajaran mandiri.
Di luar sana, ribuan Arga lain sedang membangun masa depan mereka sendiri.