Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Matahari baru saja beranjak dari peraduannya, sinarnya menyapu lembut hamparan bukit dan lembah di Tigalingga. Asap tipis mengepul dari tungku-tungku dapur di rumah-rumah panggung yang berdiri di sepanjang jalan. Di sebuah sudut kecil di Merek, di pinggir jalan yang menghubungkan Karo dan Sidikalang, dua kakak beradik telah lebih dulu terjaga.
“Ari, lihat ini, lemnya terlalu banyak,” ujar Damar, kakak tertua, kepada adiknya yang masih berusia sepuluh tahun.
Ari mengangguk, lidahnya sedikit menjulur ke luar tanda ia sedang berkonsentrasi. Tangannya yang kecil mengoleskan lem dengan lebih hati-hati ke potongan karet yang akan ditempelkannya ke ban bocor. Mereka telah lama belajar secara alami bagaimana cara menambal ban, sejak ayah mereka meninggal dan ibu mereka pergi entah ke mana.
Setiap pagi, mereka menyiapkan segala peralatan tambal ban. Ember berisi air untuk mengecek kebocoran, gunting, ampelas, lem, dan potongan karet bekas yang mereka kumpulkan dari ban-ban rusak.
Sementara itu, di sudut lain dunia, seorang wanita berjalan dengan langkah tergesa. Di wajahnya ada bayangan lelah yang tak bisa disembunyikan, meskipun bibirnya tetap menyunggingkan senyum samar. Namanya Marni, dan setiap langkah yang ia ambil terasa seperti meniti seutas tali rapuh di atas jurang.
Marni bekerja sebagai buruh cuci di sebuah rumah makan kecil di Medan. Setiap malam, saat ia menutup matanya yang pedih karena sabun, bayangan dua anaknya selalu muncul di pelupuk mata. Damar dan Ari. Anak-anak yang ia tinggalkan di desa, di antara tambalan ban dan deru kendaraan yang melintas.
“Aku tak punya pilihan,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun. “Aku harus pergi. Kalau aku tinggal, kami semua akan kelaparan.”
Namun, hati kecilnya berbisik: apakah benar ia tak punya pilihan? Atau justru ia memilih jalan yang paling ringan baginya?
Sementara Marni berjuang dengan pikirannya sendiri, Damar dan Ari terus menjalani hari mereka. Seorang pria paruh baya dengan sepeda motor berhenti di depan lapak mereka.
“Ban belakangku bocor, Nak,” katanya sambil tersenyum. “Bisa kalian tangani?”
Damar mengangguk, langsung berjongkok memeriksa ban yang dimaksud. Tangannya yang kecil namun cekatan memutar katup, melepaskan ban dalam, lalu mencelupkannya ke dalam air untuk mencari titik kebocoran. Ari berdiri di sampingnya, mengamati dengan saksama.
“Di sini, Kak,” tunjuk Ari ke gelembung kecil yang muncul dari ban dalam.
Damar mengangguk lagi. Ia mengeringkan ban, mengampelas bagian yang bocor, lalu mengoleskan lem dengan gerakan terampil. Sementara itu, pria paruh baya tadi mengamati mereka dengan sorot mata iba.
“Kalian tinggal di mana?” tanyanya.
Damar menoleh sekilas. “Di sana, Pak, di rumah kayu dekat warung itu.”
Pria itu menghela napas panjang. Ia mengenali raut wajah anak-anak ini, wajah yang memikul beban lebih besar dari seharusnya.
Hari itu berlalu seperti biasanya. Matahari bergulir ke barat, meninggalkan semburat jingga di langit. Damar dan Ari menyusun peralatan mereka, bersiap menutup hari. Saat mereka melangkah pulang, angin sore bertiup lembut, membawa harum tanah basah dan embun yang mulai turun.
Di tempat lain, Marni duduk di tepi ranjangnya yang sempit. Tangannya menggenggam ponsel tua yang selama ini tak pernah ia gunakan untuk menghubungi anak-anaknya. Ia ragu, takut mendengar suara mereka, takut dihadapkan pada kenyataan yang selama ini ia hindari.
Namun, malam ini berbeda. Ia merasa sesuatu mendesaknya untuk menelepon. Dengan tangan gemetar, ia menekan angka demi angka.
Di Merek, Damar dan Ari baru saja merebahkan tubuh mereka di atas kasur lusuh. Ponsel kecil di samping Damar tiba-tiba bergetar. Ia mengerjap, mengulurkan tangan, lalu melihat nama yang terpampang di layar.
“Mama…” bisiknya pelan.
Ari yang mendengar langsung bangkit, matanya melebar penuh harapan. “Mama menelepon?” tanyanya hampir tak percaya.
Damar menelan ludah, lalu mengangguk. Dengan napas yang tertahan, ia menekan tombol hijau dan membawa ponsel ke telinganya.
“Halo?”
Di seberang sana, terdengar suara yang sangat mereka rindukan. “Damar… Ari… Apa kalian baik-baik saja?”
Ada jeda yang panjang sebelum Damar menjawab. Ia ingin mengatakan banyak hal, ingin bertanya kenapa mereka ditinggalkan, ingin menumpahkan semua yang ia pendam selama ini. Namun, yang keluar hanyalah, “Kami baik-baik saja, Ma.”
Di sisi lain telepon, Marni menutup mulutnya dengan tangan. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
Langit malam menyelimuti mereka dalam keheningan. Dua dunia yang berbeda—seorang ibu di kota besar yang penuh sesak, dan dua anak lelaki di desa yang terus berjuang.
Dan di antara mereka, ada sebuah jalan panjang, penuh tambalan, yang belum tentu bisa menyatukan mereka kembali.
(Cerita selesai, namun jalan kehidupan mereka masih terus berjalan—entah akan bertemu di satu titik, atau tetap menjadi dua garis yang berjauhan.)