Rabu, Februari 5, 2025
No menu items!

CERPEN: Jeda di Kebun Apel

Must Read

DI antara rimbunnya pepohonan apel, seorang pria tua duduk di bawah salah satu pohon yang berbuah lebat. Di tangannya, sebuah buku biru dengan gambar kursi pantai di sampulnya. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma manis dari apel yang mulai matang.

Pria itu, sebut saja Pak Rahman, adalah seorang pensiunan yang kini menikmati hidup dengan santai. Dulu, ia adalah eksekutif yang waktunya habis untuk rapat, target, dan tekanan tanpa henti. Sekarang, ia lebih suka berbagi cerita dengan siapa saja yang mau mendengar.

Di jalur setapak kebun apel itu, beberapa karyawan muda dari perusahaan dekat situ sedang menikmati akhir pekan mereka. Mereka berjalan santai, ada yang sesekali memetik apel, tetapi wajah mereka tetap terlihat lelah. Salah satu dari mereka, seorang pria bernama Reza, melihat Pak Rahman membaca dan mendekatinya.

“Pak, buku apa itu?” tanya Reza penasaran.

Pak Rahman menutup bukunya, tersenyum. “Ini bukan sekadar buku, Nak. Ini jalan keluar dari jebakan hidup yang mungkin sedang kamu jalani sekarang.”

Reza mengernyit. “Maksudnya jebakan, Pak?”

Teman-temannya yang lain mulai mendekat, penasaran dengan obrolan itu. Mereka duduk di bangku kayu, sementara sebagian lagi bersandar di batang pohon. Sari, salah satu dari mereka, meraih sebuah apel yang menggantung rendah dan memetiknya.

Pak Rahman tersenyum melihat itu. “Nah, coba kalian perhatikan apel itu. Bagaimana cara dia tumbuh?”

Sari menatap apel di tangannya, bingung. “Tentu saja dari pohon, Pak.”

Pak Rahman mengangguk. “Benar. Tapi apel tidak tumbuh dalam satu malam, bukan? Pohon ini butuh waktu, nutrisi, dan cahaya matahari yang cukup. Apel yang kalian nikmati sekarang adalah hasil dari kesabaran pohon ini. Begitu juga dengan hidup kita. Kalau kalian terus bekerja tanpa istirahat, kapan kalian memberi waktu bagi diri sendiri untuk tumbuh?”

Mereka terdiam, merenungi kata-kata itu.

Pak Rahman melanjutkan, “Dulu, saya seperti kalian. Bangun pagi, pulang larut malam, mengejar target, berpikir bahwa semakin keras saya bekerja, semakin cepat saya sukses. Tapi kenyataannya, semakin keras saya bekerja, semakin saya menjauh dari kebahagiaan.”

Ia mengeluarkan pisau lipat kecil dari sakunya dan mulai mengupas apel yang baru dipetik Sari. Kulit apel jatuh perlahan ke tanah, terpotong rapi dalam satu tarikan panjang.

“Sampai suatu hari,” lanjutnya, “saya menemukan buku ini: Rest: Why You Get More Done When You Work Less karya Alex Soojung-Kim Pang. Buku ini mengubah cara pandang saya tentang kerja dan istirahat.”

Sari mengernyit. “Maksud Bapak, kita harus kerja lebih sedikit?”

Pak Rahman tersenyum. “Bukan begitu. Maksud saya, kita harus bekerja dengan cara yang lebih cerdas, bukan hanya lebih keras. Kalian tahu Charles Darwin? Dia hanya bekerja empat jam sehari. Sisanya ia habiskan dengan berjalan-jalan, duduk santai, atau sekadar memandangi langit. Tapi dari waktu-waktu istirahatnya itulah, lahir teori yang mengubah dunia.”

Beberapa karyawan mulai tersenyum kecil, merasa sulit membayangkan bekerja hanya empat jam sehari.

Pak Rahman membelah apel yang sudah dikupas, lalu menyodorkannya ke mereka. “Cobalah.”

Reza mengambil satu potongan dan menggigitnya. Manis, segar, dan renyah. Sari serta yang lain ikut mencoba. Ada sesuatu yang berbeda dalam momen ini—mereka benar-benar menikmati rasa apel itu, tanpa tergesa-gesa.

Pak Rahman menatap mereka penuh arti. “Nah, begitulah hidup seharusnya dinikmati. Kalau kalian terus terburu-buru, bahkan untuk makan apel saja tidak sempat menikmatinya, apa gunanya kerja keras?”

Reza menghela napas. “Tapi, Pak, kalau kami berhenti atau santai sedikit, target bisa tidak tercapai. Bos pasti marah.”

Pak Rahman tersenyum tipis. “Itulah jebakan dunia kerja, Nak. Mereka ingin kalian percaya bahwa bekerja tanpa henti adalah satu-satunya cara untuk sukses. Padahal, sukses sejati datang saat kamu bekerja dengan hati yang tenang, bukan kepala yang lelah.”

Mereka terdiam. Kata-kata Pak Rahman mulai meresap ke dalam benak mereka.

Sari bertanya lirih, “Jadi, kita harus bagaimana, Pak?”

Pak Rahman menghabiskan potongan apelnya lalu berkata, “Mulailah dengan berani mengambil jeda. Istirahat bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Beranilah untuk menikmati hidup. Karena hidup ini bukan lari sprint, tapi maraton. Jika kalian terus memaksakan diri tanpa istirahat, kalian akan kehabisan tenaga sebelum mencapai garis akhir.”

Para karyawan itu saling berpandangan, lalu menatap pohon-pohon apel di sekitar mereka. Kata-kata Pak Rahman memberi mereka sesuatu yang baru—seberkas harapan bahwa hidup mereka tak harus selalu dikejar waktu dan target.

Angin bertiup lebih sejuk, membawa aroma apel yang matang.

Reza berdiri, menatap Pak Rahman dengan senyum tipis. “Terima kasih, Pak. Mungkin mulai besok, saya akan mencoba berhenti sejenak.”

Pak Rahman mengangguk. “Bagus. Karena dalam diam dan jeda, sering kali kita menemukan makna.”

Mereka berjalan kembali menyusuri kebun dengan langkah yang lebih ringan, seakan-akan beban yang mereka pikul sedikit terangkat. Sementara itu, Pak Rahman kembali membuka bukunya, menikmati semilir angin yang membawa ketenangan.

Ia tersenyum, tahu bahwa setidaknya, hari ini, ada beberapa orang yang mulai melihat hidup dengan cara yang berbeda. (Dwi Taufan Hidayat)

Cabang Baru Akan Lahir di Muhammadiyah Jaksel

JAKARTAMU.COM | Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Jakarta Selatan menggelar rapat penting hari ini untuk membahas persiapan pembentukan Cabang Muhammadiyah...

More Articles Like This