Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Di pelataran istana Kalinyamat, rembulan menggantung sendu. Ratna Kencana berdiri di bawah sinarnya, jubah putihnya berkibar tertiup angin malam. Matanya menatap nanar ke kejauhan, ke arah hutan yang menjadi saksi bisu pembantaian suaminya. Pangeran Hadirin telah tiada—direnggut oleh tangan keji Arya Penangsang, sosok yang tak mengenal belas kasihan.
Namun, di balik duka yang menyelimuti hatinya, ada bara yang perlahan membakar jiwanya. Ia bukan perempuan lemah yang meratap dalam kesedihan. Ia adalah darah Sultan Demak, pewaris keberanian yang mengalir dalam nadinya. Jika suaminya telah tumbang, maka ia sendiri yang akan berdiri di medan perlawanan.
Malam itu, dengan langkah tegap, Ratna Kencana menaiki puncak Gunung Danaraja. Hanya ditemani embusan angin dan suara nyanyian alam, ia menanggalkan mahkota emas dari kepalanya dan berlutut di hadapan semesta.
“Demi darah yang tertumpah! Demi nyawa yang terenggut! Aku, Ratna Kencana, bersumpah akan menuntut balas! Tidak akan kusentuh kesenangan dunia, tidak akan kunaiki ranjang suami, hingga Arya Penangsang tumbang dari tahtanya!”
Angin berdesir lebih kencang, seolah langit merestui sumpahnya. Sejak malam itu, ia bukan lagi Ratna Kencana. Ia adalah Ratu Kalinyamat, pemimpin yang akan membawa Jepara menuju kejayaan.
Sejak naik tahta, Ratu Kalinyamat mengubah Jepara menjadi kekuatan yang bahkan Demak tak bisa sepelekan. Pelabuhan Jepara menjadi pusat perdagangan, armada lautnya semakin diperkuat. Namun yang paling menakutkan dari semua itu adalah tekadnya yang tak tergoyahkan.
Saat Arya Penangsang semakin menggila dengan kekuasaannya di Jipang, Ratu Kalinyamat mengirim utusan ke Pajang, kepada Jaka Tingkir—orang yang juga menyimpan dendam terhadap sang tiran. Aliansi pun terbentuk.
Ketika pasukan Arya Penangsang menyerbu perbatasan, Ratu Kalinyamat tak tinggal diam. Dengan zirah perak membalut tubuhnya, ia memimpin pasukan berkuda, matanya menyala bagai nyala api di malam gelap.
Pedang terayun, tombak melesat, darah menggenang di tanah yang dahulu hanya mengenal damai. Arya Penangsang akhirnya tumbang, bukan oleh tangannya, tetapi oleh jebakan politik yang dirancangnya bersama Jaka Tingkir. Namun, itu cukup. Dendam telah terbayar, sumpahnya telah terpenuhi.
Namun, kemenangan di medan perang tak selalu berbuah kebahagiaan. Di balik kejayaan Jepara, ada kehampaan yang tak bisa diisi oleh kemenangan. Tanpa anak, tanpa penerus darahnya sendiri, Ratu Kalinyamat merasa asing di singgasananya sendiri.
Maka ia mengasuh tiga anak lelaki yang kelak akan menjadi harapan Jepara: Pangeran Timur, Arya Panggiri, dan Pangeran Aria. Ia mendidik mereka dalam kebijaksanaan, keberanian, dan seni perang. Namun, takdir memiliki jalan yang tak bisa diduga.
Saat usianya mulai menua, Mataram bangkit sebagai kekuatan baru. Dan ketika Pangeran Aria, anak asuhnya yang ia daulat sebagai penguasa Jepara, berhadapan dengan serangan dari Mataram, sejarah kembali menelan Jepara.
Jepara, yang pernah berjaya di tangannya, kini jatuh ke tangan Mataram.
Dan di senja usianya, Ratu Kalinyamat hanya bisa menatap laut, mendengar deburan ombak yang membawa cerita tentang dirinya—tentang seorang perempuan yang melawan dunia, tentang seorang ratu yang mengorbankan segalanya untuk negeri yang kelak akan runtuh juga.
Tapi, biarpun tahta telah tiada, namanya tetap abadi. Sebab dalam sejarah, Ratu Kalinyamat adalah api yang pernah menyala, dan nyalanya tak akan pernah padam.