Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Hujan turun perlahan di sudut kota yang nyaris sepi. Cahaya lampu jalan merayapi aspal basah, memantulkan kelamnya malam. Di sebuah warung kecil di pinggir jalan, seorang lelaki tua duduk termenung, menyeruput teh hangatnya yang sudah mendingin. Tangannya gemetar, wajahnya penuh garis kehidupan, namun tatapannya tetap tajam, seolah mengamati sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.
Ia adalah Pak Isman, pemilik warung sederhana yang sejak bertahun-tahun menjadi tempat persinggahan bagi para musafir jalanan. Ia selalu murah senyum, tak pernah menolak siapa pun yang meminta makan, meski sering kali hanya mendapat ucapan terima kasih sebagai imbalan.
Namun, di balik ketulusan itu, ia tak bisa memungkiri bahwa hidupnya semakin sulit. Harga bahan pokok melonjak, pelanggan tetapnya semakin berkurang, dan beberapa kali ia mengalami pencurian kecil-kecilan. Meski begitu, ia tetap percaya bahwa kebaikan tak perlu selalu terlihat, tak perlu selalu dibalas.
Malam itu, seorang pemuda lusuh datang menghampiri warungnya. Pemuda itu basah kuyup, dengan tatapan penuh harap.
“Pak, bolehkah saya makan? Saya belum makan sejak kemarin,” ucapnya dengan suara serak.
Pak Isman menatapnya sejenak. Tanpa bertanya lebih lanjut, ia beranjak dan mengambil sepiring nasi dengan lauk sederhana.
“Makanlah, Nak,” katanya lembut.
Pemuda itu menatapnya penuh syukur. Ia makan dengan lahap, sementara Pak Isman hanya tersenyum kecil.
Di seberang jalan, seseorang memperhatikan mereka dalam diam.
Sepuluh tahun lalu…
Pak Isman masih muda, warungnya ramai oleh pelanggan setia. Di antara mereka, ada seorang pria bernama Rudi. Rudi adalah pelanggan tetap yang dikenal baik, tapi di balik keramahan itu, ia menyimpan hati yang gelap.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, Rudi datang dengan wajah cemas.
“Pak Isman, saya butuh uang. Bisakah saya pinjam dulu? Besok saya bayar,” katanya.
Pak Isman menatapnya ragu. Ia tahu Rudi sering berjudi, tapi ia tetap memberinya pinjaman kecil dengan harapan Rudi akan berubah.
Namun, esoknya, lusa, hingga berminggu-minggu, Rudi tak pernah datang untuk membayar utangnya. Sebaliknya, ia malah menyebarkan kabar bahwa Pak Isman memberi makan orang-orang secara cuma-cuma, membuat banyak orang datang bukan untuk membeli, tapi untuk meminta.
Usaha Pak Isman perlahan-lahan merosot. Namun, ia tak pernah menyesali keputusannya untuk tetap berbagi.
Malam itu, pemuda lusuh yang baru saja diberi makan menatap Pak Isman dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, Pak… Saya tak tahu bagaimana membalas kebaikan ini,” katanya dengan suara bergetar.
Pak Isman hanya menggeleng pelan. “Kebaikan tak butuh balasan, Nak. Cukuplah engkau meneruskannya suatu hari nanti.”
Pemuda itu tersenyum. Lalu ia bangkit, membungkuk hormat, dan pergi ke dalam kegelapan malam.
Tak jauh dari sana, seseorang masih memperhatikan dalam diam.
Ia adalah Rudi.
Kini, hidupnya jatuh ke jurang kehancuran. Setelah bertahun-tahun mengabaikan kebaikan, menipu, dan mengkhianati orang-orang di sekitarnya, ia akhirnya kehilangan segalanya.
Melihat Pak Isman tetap tulus dalam kebaikan meski hidupnya sulit, ada sesuatu yang menusuk hatinya. Ia teringat sepuluh tahun yang lalu, saat ia mengkhianati kepercayaan Pak Isman. Ia teringat bagaimana kebaikan pria tua itu tetap menyala, meski banyak orang memanfaatkannya.
Rudi menghela napas panjang. Ada sesuatu yang bergemuruh di dadanya—sesuatu yang selama ini ia abaikan: penyesalan.
Dengan langkah ragu, ia mendekati warung kecil itu. Pak Isman yang sedang merapikan meja, mendongak dan menatapnya.
“Pak… masih ingat saya?” suara Rudi lirih.
Pak Isman menyipitkan mata, lalu tersenyum tipis. “Rudi… sudah lama sekali.”
Rudi menelan ludah, tangannya terkepal. “Pak… saya telah berbuat salah. Dulu, saya mengkhianati kebaikan Bapak. Saya menyebarkan fitnah, mengambil keuntungan dari kemurahan hati Bapak… dan saya datang bukan untuk meminta apa pun, hanya ingin meminta maaf.”
Pak Isman terdiam sejenak, lalu menepuk bahu Rudi dengan lembut. “Nak, kebaikan tak perlu dibalas, dan kesalahan tak harus selamanya membebani. Jika kau sungguh menyesal, maka lanjutkanlah kebaikan yang pernah kau abaikan.”
Mata Rudi memanas. Ia tak menyangka bahwa setelah semua yang ia lakukan, Pak Isman masih menerima dirinya dengan hati lapang.
Malam itu, di bawah langit yang masih basah oleh sisa hujan, Rudi merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun: ketenangan.
Dan sejak saat itu, jejak kebaikan yang dulu ia abaikan, perlahan mulai ia tapaki kembali.