SUARA deru mobil dan klakson bersahutan di jalan utama kota. Lampu-lampu gedung perkantoran mulai menyala, menandakan pergantian dari hiruk-pikuk siang ke kesibukan malam. Di dalam sebuah ruang kantor megah, Rafi duduk di balik meja kerjanya yang rapi dan dipenuhi berkas-berkas. Ponselnya tak berhenti bergetar, notifikasi dari para klien dan rekan bisnis berseliweran di layar.
Namun, pikirannya melayang ke tempat lain.
Siang tadi, ia menghadiri acara penggalangan dana di sebuah masjid kota. Ia melihat banyak orang dengan penuh keikhlasan menyumbangkan hartanya untuk kaum dhuafa. Ada seorang pedagang kecil yang menyisihkan penghasilannya, ada seorang buruh tua yang dengan rela mengulurkan uang dari sakunya yang lusuh.
Dan ia?
Rafi merasa malu pada dirinya sendiri. Ia yang punya segalanya, rekening yang penuh, aset di mana-mana, justru paling pelit dalam hal kebaikan.
“Aku ini kaya, tapi kenapa rasanya miskin dalam amal?” pikirnya.
Ia menutup laptopnya dan bersandar di kursi. Di meja kerjanya ada jam tangan mewah, pulpen berlapis emas, dan secangkir kopi mahal yang mulai dingin. Semua itu adalah simbol kesuksesan yang ia kejar selama ini. Tapi kini, simbol-simbol itu terasa hampa.
Di kejauhan, azan magrib berkumandang. Suaranya mengalun lembut, seakan memanggilnya. Namun, seperti biasa, ia hanya mendengarnya tanpa bertindak.
Di sisi lain kota, seorang pria bernama Faiz tengah menikmati hidangan mewah di restoran bintang lima. Ia duduk dengan santai, mengenakan jas mahal, dan berbincang dengan beberapa kolega bisnisnya.
“Dengar-dengar si Rafi sekarang mulai sok religius?” salah satu rekannya bertanya.
Faiz terkekeh. “Ya, belakangan dia sering ngomongin akhirat. Kayaknya mulai insaf.”
Rekan-rekannya tertawa.
“Lucu ya, orang kaya tapi malah buang-buang waktu buat mikirin surga dan neraka. Yang penting itu duit, Faiz! Hidup cuma sekali, nikmati selagi bisa!”
Faiz mengangkat gelas anggur yang berkilauan di bawah lampu gantung. “Betul! Yang penting sekarang. Masa depan? Urusan belakangan.”
Mereka bersulang. Sementara itu, di luar restoran, seorang pengemis tua berdiri di tepi jalan, menatap mereka dengan mata kosong.
Beberapa hari kemudian, Rafi memutuskan untuk mengubah hidupnya. Ia mulai sering ke masjid, membaca Al-Qur’an, dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun, perubahan itu tidak mudah. Banyak rekan bisnisnya mencemoohnya, termasuk Faiz.
Suatu malam, Faiz menelponnya. “Rafi, kamu kenapa? Jadi ustaz sekarang?”
Rafi tersenyum tipis. “Aku cuma ingin menyiapkan bekal untuk nanti, Faiz.”
Faiz tertawa sinis. “Bekal? Hidup ini buat dinikmati, bukan disia-siakan dengan hal-hal yang nggak kelihatan hasilnya.”
“Kamu yakin begitu?”
“Tentu! Lihat aku. Hidup mewah, bisnis lancar, semua orang hormat sama aku. Ini hasil nyata. Kalau kamu sibuk mikirin akhirat, kamu akan kehilangan semuanya, Rafi.”
“Tapi bagaimana kalau sedetik kemudian Allah memanggil kita?”
Di ujung telepon, Faiz terdiam sejenak. Namun, ia segera tertawa untuk menutupi kegelisahannya. “Sudahlah, jangan sok bijak. Ayo kita bertemu, aku traktir makan di restoran favorit kita.”
Rafi menolak halus. “Aku ada janji lain. Mungkin lain kali.”
Beberapa minggu kemudian, kabar mengejutkan datang. Faiz tertangkap dalam kasus korupsi besar. Seluruh asetnya disita, bisnisnya hancur, dan ia harus mendekam di penjara.
Rafi mengunjunginya di sel tahanan. Faiz tampak lusuh, jauh dari sosok pria angkuh yang dulu dikenalnya.
“Kenapa kamu datang?” suara Faiz lemah.
“Aku sahabatmu, Faiz. Aku tak akan meninggalkanmu.”
Faiz tertawa getir. “Dulu kamu bertanya, bagaimana kalau sedetik kemudian Allah memanggil kita? Sekarang aku tahu jawabannya… Tapi aku baru sadar saat semuanya sudah hancur.”
Rafi menatapnya dengan iba. “Masih ada waktu, Faiz. Selama kita masih bernapas, masih ada kesempatan untuk berubah.”
Faiz menunduk. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada vonis hukuman yang dijatuhkan padanya.
Di luar, hujan mulai turun. Rafi menatap langit kelabu dengan perasaan syukur. Setidaknya, ia telah memilih jalan yang benar sebelum semuanya terlambat.
Azan berkumandang, menggema di antara gedung-gedung tinggi.
Rafi melangkah menuju masjid. Jejak kakinya tertinggal di tanah basah—sebuah jejak yang ia harap akan terus membawanya mendekat kepada-Nya. (Dwi Taufan Hidayat)