Kamis, Maret 6, 2025
No menu items!

CERPEN: Jurang Kenistaan

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Dari kejauhan, Damar memandangi rumahnya dengan perasaan asing. Ia berdiri di depan gerbang, tapi hatinya seolah tak memiliki kunci untuk masuk. Lampu teras masih menyala redup, menandakan ada seseorang di dalam. Mungkin Kirana belum tidur, mungkin juga ia sekadar lupa mematikannya.

Damar menarik napas panjang, lalu menunduk, memperhatikan pantulan wajahnya di genangan air sisa hujan. Ada lelaki yang lelah di sana, tapi juga ada bayangan seorang pendosa yang mulai sadar betapa dalam ia telah terperosok.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar di saku celana. Sebuah pesan masuk. Dari Livia.

“Kamu di mana? Aku kangen…”

Damar menatap layar itu dengan tatapan kosong. Dahulu, pesan semacam ini adalah candu yang membuatnya ketagihan. Ada debaran, ada kesenangan dalam sembunyi-sembunyi. Tapi kini, pesan itu terasa seperti belenggu yang menjerat lehernya. Livia—perempuan yang dulu ia pikir lebih baik dari Kirana—kini tampak begitu kecil, begitu hina di matanya.

Ia mematikan ponselnya dan mengetuk pintu. Tidak keras, hanya cukup untuk memastikan bahwa ia belum kehilangan keberanian. Suara langkah kaki terdengar, lalu gagang pintu berputar perlahan.

“Kamu pulang?” Kirana berdiri di ambang pintu, ekspresinya datar. Tidak ada tanda-tanda kemarahan, juga tidak ada sambutan hangat yang biasa ia berikan.

Damar menelan ludah, mencoba membaca pikirannya, tetapi Kirana hanya memutar tubuh, meninggalkannya berdiri di sana.

Ia melangkah masuk. Rumah itu masih sama—dengan perabotan yang ia pilih bersama Kirana, dengan foto pernikahan yang tergantung di dinding ruang tamu, dengan aroma teh melati yang biasa diseduh Kirana sebelum tidur. Tapi ada yang berubah. Udara di dalamnya terasa lebih dingin, lebih asing.

“Aku mau bicara,” Damar akhirnya bersuara.

Kirana mengangkat wajahnya dari novel yang sedang ia baca. Ia tidak menutup buku itu, hanya menatap suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Silakan,” jawabnya, tanpa ekspresi.

Damar menarik kursi di seberang meja. “Aku… aku bodoh, Kirana. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan. Aku… aku menyesal.”

“Menyesal?” Kirana mengulang kata itu dengan nada datar. “Menyesal karena aku tahu? Atau menyesal karena dia ternyata tidak lebih baik dariku?”

Damar terdiam. Kata-kata Kirana menelanjangi kebodohannya dengan cara yang menyakitkan.

“Awalnya aku pikir…” ia mencoba mencari pembenaran, tapi ia sendiri muak dengan kebohongannya. “Awalnya aku pikir, aku bisa menemukan sesuatu yang berbeda. Aku merasa kehilangan sesuatu dalam pernikahan kita. Lalu, dia datang dan—”

Kirana menutup bukunya. “Dan kamu meninggalkan sesuatu yang tidak sempurna untuk sesuatu yang lebih tidak sempurna, begitu?”

Damar menunduk. Dadanya sesak.

“Apa yang kamu temukan darinya, Damar? Apa dia lebih baik? Apa dia membuatmu lebih bahagia?”

Damar menggeleng pelan. “Tidak.”

Kirana tersenyum miris. “Tentu saja tidak. Kamu tahu kenapa? Karena kalau dia memang baik, dia tidak akan merusak rumah tangga orang lain. Kalau dia memang istimewa, dia tidak akan rela menghancurkan hidupnya sendiri hanya untuk jadi perempuan yang kedua.”

Damar menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku ingin memperbaiki semuanya.”

Kirana menghela napas panjang. “Memperbaiki? Damar, ini bukan luka kecil yang bisa sembuh dengan plester dan waktu. Ini pengkhianatan. Kamu bukan hanya menghancurkan kepercayaanku, tapi juga menghancurkan sesuatu yang kita bangun bersama.”

Damar menggigit bibirnya. “Tapi aku masih mencintaimu.”

Kirana menatapnya, lama. Seolah mencari kebenaran dalam setiap kata yang diucapkan.

“Kamu bilang mencintaiku, tapi kamu juga mencintai dia, kan?”

Damar terdiam. Ia tidak bisa menjawab.

Kirana tersenyum tipis. “Itulah masalahnya, Damar. Aku tidak bisa hidup dengan seseorang yang tidak bisa memilih dengan pasti.”

Damar terperangah. “Jadi… kamu mau kita berpisah?”

Kirana mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa yang dulu sudah tidak ada. Kamu telah mengubah semuanya.”

Damar menunduk. Ada sesuatu dalam suara Kirana yang menandakan bahwa meskipun ia tetap berada di rumah ini, hatinya mungkin tidak akan pernah kembali sepenuhnya.

Malam itu, Damar tidak bisa tidur. Ia teringat bagaimana ia dulu merasa begitu bebas saat memulai perselingkuhannya. Bagaimana ada sensasi liar dalam setiap pertemuan rahasia. Tapi sekarang, semuanya terasa menjijikkan. Ia meninggalkan sesuatu yang indah demi sesuatu yang fana. Dan kini, ia berdiri di ambang kehilangan yang lebih besar.

Ponselnya kembali bergetar. Kali ini, ia mengangkatnya.

“Apa?” suaranya dingin.

“Damar… kamu kenapa? Kamu berubah,” suara Livia di ujung sana terdengar penuh kecemasan.

Damar tersenyum pahit. “Aku sadar. Kamu tidak lebih baik dari Kirana. Kamu hanya membuatku merasa lebih buruk.”

“Jadi ini akhirnya? Kamu memilih dia? Setelah semua yang kita lalui?”

Damar menutup mata. “Bukan aku yang memilih, tapi dosaku yang telah memilihkan jalan ini. Dan jalan itu menuju kehancuran.”

Ia mematikan ponselnya dan berjalan ke luar rumah. Udara dingin menusuk kulitnya. Di luar sana, bayangannya memanjang di bawah cahaya bulan. Ia memandang ke jalanan yang sepi. Ada sesuatu yang kosong di dadanya, seperti lubang besar yang tidak bisa diisi oleh apa pun.

Selingkuh itu memang terasa manis di awal. Tapi pada akhirnya, ia hanya meninggalkan pahit yang tidak bisa dihilangkan oleh penyesalan.

Damar tahu, ia telah jatuh ke dalam jurang kenistaan. Dan masalahnya, tidak semua orang yang jatuh bisa naik kembali.

Revolusi Pertanian: Robot Canggih dan Masa Depan Tenaga Kerja Manusia

JAKARTAMU.COM | China kembali menunjukkan dominasinya dalam inovasi teknologi dengan menghadirkan robot petani super canggih yang siap menggantikan tenaga...

More Articles Like This