Minggu, Maret 16, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Kejayaan yang Terlupakan

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Di sebuah kota besar, hiduplah seorang pengusaha sukses bernama Rahmat. Ia adalah sosok yang dihormati, kaya raya, dan memiliki segalanya—rumah mewah, mobil berjejer, hingga bisnis yang berkembang pesat. Namun, di balik kejayaannya, ada satu hal yang ia lupakan: kematian.

Rahmat adalah orang yang sibuk mengejar keuntungan. Waktunya habis untuk pertemuan bisnis, makan malam dengan klien, dan mengawasi perusahaannya. Ia jarang pulang sebelum tengah malam dan sering melewatkan waktu bersama istri serta anaknya, Sita. Baginya, uang adalah segalanya, dan kesuksesan harus terus diperjuangkan.

Suatu malam, Rahmat mengadakan pesta ulang tahun yang megah di vila pribadinya. Para tamu berdatangan dengan pakaian terbaik mereka, musik berdentum, dan gelas-gelas beradu dalam perayaan. Rahmat berdiri di tengah ruangan, menikmati pujian yang terus mengalir.

Di tengah pesta itu, seorang lelaki tua berjubah putih datang tanpa diundang. Wajahnya penuh ketenangan, namun matanya tajam menatap Rahmat.

“Kau bangga dengan semua ini, Nak?” tanya lelaki tua itu dengan suara lembut.

Rahmat tersenyum meremehkan. “Tentu saja. Aku bekerja keras untuk semua ini!”

Lelaki tua itu menggeleng. “Perjalanan ke kubur tak pernah libur. Jangan tertipu dengan umur, karena mati tak menunggu tua.”

Rahmat tertawa, mengira pria itu hanya orang gila. “Aku masih sehat, masih muda. Mati itu urusan nanti.”

Tanpa berkata-kata lagi, lelaki tua itu pergi, meninggalkan Rahmat dalam kebingungan. Kata-katanya terus terngiang di kepala Rahmat, tetapi ia memilih mengabaikannya.

Keangkuhan yang Berbuah Kepedihan

Beberapa hari setelah pesta, bisnis Rahmat mengalami guncangan besar. Salah satu partner bisnisnya, Arman, kabur membawa uang investasi dalam jumlah besar. Akibatnya, perusahaan Rahmat terancam bangkrut.

Rahmat berusaha menenangkan diri. “Aku bisa mengatasinya. Ini hanya ujian kecil,” katanya dalam hati.

Namun, masalah tak berhenti di situ. Saham perusahaannya anjlok, para investor menarik diri, dan pelanggan mulai kehilangan kepercayaan. Dalam waktu singkat, kekayaannya perlahan menguap.

Di tengah kekacauan itu, Rahmat mulai merasa lelah. Ia ingat perkataan lelaki tua itu: Jangan tertipu dengan tubuh sehat, karena mati tak menunggu sakit.

Tapi Rahmat tetap menolak untuk berpikir tentang kematian. “Aku bisa bangkit,” gumamnya.

Saat krisis ekonomi melanda bisnisnya, Rahmat berharap mendapat dukungan dari keluarganya. Namun, istrinya, Anisa, justru menggugat cerai.

“Aku tidak bisa hidup denganmu lagi, Rahmat,” katanya tanpa ragu. “Aku butuh kepastian, dan kau sudah kehilangan segalanya.”

Rahmat terpukul. Anisa tak hanya pergi, tetapi juga membawa serta hak asuh anak mereka dan sebagian besar harta yang tersisa.

Rahmat marah, kecewa, dan hancur. Ia berteriak di dalam kamar, memukul dinding, dan menangis sejadi-jadinya.

Malam itu, ia kembali teringat kata-kata lelaki tua itu: Perjalanan menuju kubur tak pernah libur.

Untuk pertama kalinya, ia mulai merenungkan arti dari kata-kata itu.

Dihantam Sakit yang Tak Terduga

Beberapa bulan setelah kejatuhannya, Rahmat mengalami sakit yang tak ia duga. Awalnya hanya pusing biasa, tetapi lama-lama tubuhnya melemah.

Dokter memvonisnya dengan penyakit jantung serius. “Kalau kau tak segera operasi, hidupmu tinggal hitungan bulan,” kata dokter.

Rahmat tercengang. Dulu, ia pikir kematian adalah sesuatu yang jauh. Kini, ia berdiri di ambangnya.

Ia mengunjungi kantor perusahaannya yang kini sepi. Banyak karyawannya yang sudah pergi, asetnya sudah dijual untuk menutup utang, dan sisa kekayaannya hampir habis. Ia duduk di kursinya, menatap meja kosong, menyadari betapa cepat dunia berubah.

Malam itu, Rahmat termenung di kamarnya yang kini kosong. Ia merogoh sakunya dan menemukan kartu nama seseorang—lelaki tua di pesta ulang tahunnya dulu.

Dengan sisa tenaga, ia mencari lelaki itu.

Rahmat akhirnya menemukan lelaki tua itu di sebuah masjid kecil. Ia bersimpuh di hadapannya.

“Aku sombong,” katanya dengan suara serak. “Aku pikir umur panjang adalah hakku, kekayaan adalah milikku, dan hidup ini bisa kuatur sesuka hati.”

Lelaki tua itu tersenyum. “Allah masih memberimu kesempatan untuk kembali.”

Rahmat menangis. Ia mulai belajar tentang agama, shalat yang lama ia tinggalkan, dan makna hidup yang sesungguhnya.

Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya tubuh Rahmat semakin lemah. Sita, putrinya, datang menjenguk.

“Ayah, aku rindu,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Rahmat tersenyum dan mengelus kepala anaknya. “Maafkan Ayah, Nak. Ayah terlalu sibuk mengejar dunia.”

Sita mengangguk. “Aku senang Ayah kembali kepada Allah.”

Di malam terakhirnya, Rahmat tersenyum dalam sujudnya.

Ketika fajar menyingsing, Rahmat ditemukan dalam keadaan damai. Ia telah pergi, tapi kali ini, ia tak lagi takut.

(Semoga Allah wafatkan kita dalam keadaan beriman.)

spot_img

Kebijakan di Uganda: Pasangan Gay Dipenjara Tanpa Batas Waktu, Hanya Bisa Bebas Jika Salah Satunya Hamil

JAKARTAMU.COM | Di tengah perdebatan global tentang hak asasi manusia dan kebebasan individu, Uganda kembali menjadi sorotan internasional...

More Articles Like This