Kamis, Maret 20, 2025
No menu items!
spot_img

Cerpen: Kembali ke Bumi

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Barry “Butch” Wilmore mengamati bola biru kehijauan yang mengambang di kejauhan. Bumi. Rumah. Setelah sembilan bulan yang melelahkan, akhirnya ia dan Suni Williams akan kembali. Di sebelahnya, Suni menatap melalui jendela kecil kapsul SpaceX Crew-9 dengan tatapan penuh harap.

“Kau pikir masih ada orang yang ingat kita?” gumamnya, setengah bercanda.

Butch terkekeh. “Setidaknya aku berharap istriku masih ingat suaraku.”

Mereka seharusnya kembali setelah sepuluh hari misi, tetapi masalah teknis pada Starliner Boeing membuat mereka tertahan di orbit. Sembilan bulan adalah waktu yang lama. Di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), mereka melihat musim berganti di Bumi, tetapi mereka sendiri terjebak dalam satu musim tanpa gravitasi.

Nick Hague, komandan Crew-9, mengangguk ke arah mereka. “Siap untuk pulang?”

Suni menarik napas dalam. “Lebih dari siap.”

Bersama dengan kosmonot Rusia, Alexander Gurbunov, mereka duduk di kursi kapsul yang sempit. Semua prosedur telah dilakukan. Tubuh mereka berlapis pakaian antariksa, sabuk pengaman dikencangkan, dan komunikasi dengan pengendali misi SpaceX di Hawthorne, California, terhubung.

“Butch, Suni, bagaimana perasaan kalian?” suara dari Houston terdengar melalui radio.

“Butuh burger besar dan gravitasi,” jawab Butch santai.

“Dan secangkir kopi panas,” tambah Suni.

Mereka tertawa kecil, tetapi ketegangan tetap terasa. Pendaratan dari orbit bukan sekadar turun begitu saja—mereka harus menembus atmosfer dengan kecepatan luar biasa, menghadapi suhu ekstrem, dan mempercayakan hidup mereka pada perhitungan yang telah dibuat oleh para insinyur.

Turun ke Bumi

Kapsul mulai bergetar saat memasuki atmosfer. Panas mulai meningkat, komunikasi radio berubah menjadi statis. Mereka tahu ini bagian yang menegangkan—saat panas gesekan membakar lapisan luar kapsul.

Suni menggenggam erat kursinya. Meskipun ia sudah puluhan kali mengalami re-entry, selalu ada ketakutan bahwa sesuatu bisa salah. Butch tetap tenang, meski dalam pikirannya ia terus berdoa.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam. Kemudian suara dari radio kembali terdengar, “Kapsul dalam jalur yang benar. Parasut utama siap dikeluarkan.”

“Butch, Suni, ini bagian favoritku,” kata Hague, mencoba mencairkan suasana.

“Bagian favoritku saat kita sudah menginjak tanah,” jawab Butch.

Tiga parasut besar mekar di atas mereka, memperlambat laju kapsul. Guncangan terakhir terasa saat mereka menyentuh permukaan laut di Teluk Meksiko. Air menyembur ke segala arah, menandai momen kembalinya mereka ke dunia yang sudah mereka rindukan selama berbulan-bulan.

“Splashdown! Good mains release,” ujar Hague melalui radio.

Sorak-sorai terdengar dari pusat kendali. Tim penyelamat segera bergerak.

Menjejakkan Kaki di Bumi

Pintu kapsul dibuka, dan udara laut yang asin memenuhi rongga hidung mereka. Cahaya matahari terasa menyilaukan setelah berbulan-bulan hanya mengenal cahaya buatan di ISS.

Para teknisi membantu mereka keluar satu per satu. Tubuh mereka terasa berat, otot-otot seakan lupa bagaimana caranya berjalan. Suni hampir tersandung, tetapi tangan Butch sigap menopangnya.

“Pelan-pelan. Gravitasi tidak sebaik yang kau kira,” ujarnya.

Suni terkekeh. “Tapi aku merindukannya.”

Sementara itu, Hague dan Gurbunov juga keluar dari kapsul dengan senyum lebar. Tim medis segera memeriksa kondisi mereka. Kamera-kamera dari NASA merekam momen ini—dua astronaut yang akhirnya kembali setelah sembilan bulan mengambang di kehampaan.

Ketika mereka duduk di kursi medis, seseorang menyerahkan segelas kopi hangat pada Suni. Ia menghirup aroma kopi itu dengan penuh syukur, lalu menyeruputnya perlahan. Matanya terpejam, menikmati rasa yang sudah lama ia rindukan.

Butch menerima burger yang masih mengepul. Ia menggigitnya dengan lahap, lalu mengangkat ibu jarinya ke kamera. “Worth the wait,” katanya.

Bumi yang Berubah, Jiwa yang Tak Sama

Sore itu, setelah pemeriksaan kesehatan awal, mereka dipindahkan ke pusat pemulihan NASA. Otot mereka masih lemah, tubuh mereka masih menyesuaikan diri dengan gravitasi.

Di dalam ruangan yang dipenuhi sinar matahari, Suni menatap ponselnya. Puluhan pesan masuk dari keluarga dan teman-teman. Beberapa menit kemudian, video call dari ibunya muncul di layar.

“Suni!” wajah ibunya penuh air mata bahagia.

“Ibu…” Suaranya tercekat. Sembilan bulan di luar angkasa telah mengajarkannya satu hal—tidak ada tempat seindah rumah.

Sementara itu, Butch sedang berbicara dengan istrinya. “Aku pulang,” katanya dengan suara serak.

“Kami menunggumu,” jawab istrinya sambil tersenyum.

Di luar jendela, matahari mulai terbenam di ufuk barat. Cahaya keemasan menyelimuti lanskap, sesuatu yang tak pernah bisa mereka lihat dari jendela ISS. Mereka telah kembali, tetapi mereka tahu, sesuatu dalam diri mereka telah berubah selamanya.

Malam itu, ketika akhirnya bisa tidur di tempat tidur sungguhan, Suni membiarkan dirinya larut dalam keheningan. Tidak ada lagi suara dengung mesin, tidak ada lagi bintang-bintang yang melayang di luar jendela.

Ia berada di Bumi. Dan ia bersyukur.

Dan untuk pertama kalinya dalam sembilan bulan, mereka merasa benar-benar hidup.

spot_img

RUU TNI dan Ancaman Supremasi Sipil: Suara Kampus Menggema, Mahasiswa Bergerak

JAKARTAMU.COM | Pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 20 Maret 2025...

More Articles Like This