Oleh: Dwi Taufan Hidayat, Sekretaris Korp Alumni PW IPM/IRM Jawa Tengah
LANGIT pagi di kota ini masih setia menyapa dengan warna biru keabuan, seolah enggan membiarkan matahari bersinar terlalu terik. Di depan gerbang Sekolah Luar Biasa Harapan Kita, pemandangan yang sama selalu tersaji setiap harinya—para ibu dengan wajah penuh kasih, sabar mengantar dan menjemput anak-anak mereka.
Sebagian dari mereka berasal dari pusat kota, sementara yang lain datang dari kecamatan yang jauh, menempuh perjalanan panjang demi memberi pendidikan terbaik bagi buah hati mereka. Di halaman sekolah, suara anak-anak bercampur dengan sapaan lembut para guru yang tak pernah kehilangan kesabaran.
Hari itu, sekolah mereka kedatangan tamu—rombongan guru dan siswa dari sekolah serupa di kabupaten sebelah. Seperti biasa, kunjungan ini dimaksudkan untuk berbagi pengalaman, saling belajar dari satu sama lain. Kepala sekolah, Bu Rina, menyambut mereka dengan senyuman hangat.
“Selamat datang di SLB Harapan Kita,” ucapnya dengan nada penuh semangat. “Kami senang bisa berbagi hari ini dengan kalian.”
Para tamu diajak berkeliling, menyaksikan aktivitas yang berlangsung di berbagai sudut sekolah. Di ruang kelas, seorang anak laki-laki duduk dengan wajah serius, matanya terpaku pada kertas di hadapannya. Tangan kanannya menggenggam pensil dengan usaha keras, sementara tangan kirinya mengepal di pangkuannya—ia hanya memiliki satu tangan sejak lahir.
Namanya adalah Arga.
Ia tahu hari itu sekolahnya kedatangan tamu. Beberapa dari mereka berdiri di dekat pintu kelas, memperhatikannya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Arga tidak menyukai perhatian semacam itu. Ia tidak ingin dikasihani, tidak ingin dipandang berbeda.
Sejak kecil, ia terbiasa dengan tatapan semacam itu—di jalan, di pasar, bahkan di lingkungan rumahnya sendiri. Ia tahu sebagian orang tidak bermaksud buruk, tapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia berharap bisa menjadi seperti anak-anak lain, yang tidak perlu berjuang lebih keras untuk melakukan hal-hal sederhana.
Di bangku sebelahnya, Adinda—gadis dengan spektrum autisme ringan—tertawa kecil saat menemukan pola menarik di bukunya. Guru mereka, Bu Siti, tersenyum dan membiarkan Adinda menikmati dunianya sendiri sebelum dengan lembut mengarahkan kembali perhatiannya ke pelajaran.
Seorang guru dari sekolah tamu mendekati Bu Siti. “Kalian luar biasa sabar, Bu. Bagaimana bisa menangani anak-anak dengan kebutuhan yang begitu beragam?”
Bu Siti tersenyum. “Mereka bukan sekadar anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka anak-anak yang punya impian, sama seperti yang lain. Yang mereka butuhkan hanyalah pemahaman.”
Di halaman belakang, seorang anak lain, Farhan, sedang berlatih berjalan di atas jalur taktil bersama gurunya. Ia tunanetra sejak lahir, tapi langkahnya mantap, seolah ia bisa melihat jalannya dengan hati. Setiap hari, ia datang ke sekolah dengan tekad yang tak pernah padam.
Ketika istirahat tiba, Arga duduk di bawah pohon rindang, mengamati teman-temannya bermain. Ia menoleh ketika seorang anak dari sekolah tamu, Rafi, mendekatinya.
“Kamu hebat,” kata Rafi tiba-tiba.
Arga mengernyit. “Kenapa?”
“Aku lihat cara kamu menulis tadi. Aku nggak tahu kalau aku bisa sebaik itu kalau cuma punya satu tangan.”
Arga menghela napas. “Aku nggak punya pilihan. Aku harus bisa.”
Rafi tersenyum tipis. “Sama seperti aku.”
Arga baru menyadari bahwa Rafi berjalan dengan bantuan tongkat. Ada bekas luka di kaki kirinya, bekas operasi yang mungkin sudah lama terjadi.
“Aku dulu suka lari,” kata Rafi, suaranya lirih. “Tapi setelah kecelakaan, aku nggak bisa lagi. Aku sempat marah, sedih… sampai akhirnya aku sadar, aku masih bisa melakukan banyak hal lain. Aku cuma perlu melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.”
Arga menatapnya dalam diam.
Di kejauhan, Bu Rina berbicara kepada para tamu dengan suara lembut tapi penuh keyakinan.
“Tidak ada manusia yang sempurna. Tapi kita semua adalah karya eksklusif yang diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar menerima, memperbaiki, dan terus melangkah.”
Langit masih sama seperti tadi pagi, tetapi bagi Arga, langit kini terasa lebih luas. Ia melihat ke arah Rafi, kemudian ke tangannya sendiri, lalu tersenyum tipis.
Mungkin, pikirnya, tidak ada yang benar-benar sempurna. Tapi di antara ketidaksempurnaan itulah, manusia belajar untuk menjadi kuat.
Dan ia akan terus melangkah.
Arga mengamati Rafi yang duduk di sampingnya. Percakapan mereka barusan masih bergema di kepalanya. Betapa aneh, ia selalu berpikir bahwa ia adalah satu-satunya yang merasa tidak cukup, bahwa dunia terlalu kejam hanya padanya. Tapi di hadapannya ada seseorang yang telah kehilangan sesuatu yang berharga dan tetap bisa tersenyum.
“Kalau boleh tahu,” Arga akhirnya membuka suara, “gimana caranya kamu bisa… ya, menerima semua ini?”
Rafi mengangkat bahu. “Awalnya sulit. Aku juga pernah marah, ngerasa Tuhan nggak adil. Tapi suatu hari, ibuku bilang, ‘Kamu boleh sedih, tapi jangan sampai rasa sedih itu membuatmu berhenti berjalan.’ Dan aku tahu, meskipun aku nggak bisa lari lagi, aku masih bisa melakukan banyak hal. Aku harus tetap berjalan.”
Arga terdiam. Kata-kata itu terasa berat, tapi juga penuh harapan.
Dari kejauhan, suara bel berbunyi, menandakan jam istirahat telah usai. Para siswa mulai beranjak dari tempat mereka bermain. Beberapa ibu yang menunggu di gerbang sekolah melambaikan tangan kepada anak-anak mereka, senyum mereka begitu hangat, seolah tak ada lelah yang terselip di dalamnya.
Rafi berdiri dengan bantuan tongkatnya. “Ayo, kita balik ke kelas.”
Arga menatap tangan kanannya yang masih menggenggam sisa roti bekalnya. Ia lalu mengepalkan tangan itu, seperti menegaskan sesuatu pada dirinya sendiri.
“Ayo.”
Kunjungan dari sekolah tamu berakhir setelah sesi diskusi antar guru. Para tamu berpamitan, mengucapkan terima kasih atas sambutan yang begitu hangat.
Saat mereka hendak pulang, Rafi melambaikan tangan ke arah Arga. “Senang ketemu kamu, Ga. Semoga kita bisa ketemu lagi.”
Arga mengangguk. “Pasti.”
Saat rombongan tamu pergi, Arga masih berdiri di tempatnya, memperhatikan mobil mereka menjauh. Ia tidak tahu kapan akan bertemu Rafi lagi, tapi kata-kata anak itu masih terpatri jelas di benaknya.
“Kamu boleh sedih, tapi jangan sampai rasa sedih itu membuatmu berhenti berjalan.”
Sore itu, Arga pulang bersama ibunya. Di dalam mobil, ia diam, memandangi jalanan ibu kota yang ramai. Ibunya melirik sekilas, menyadari perubahan dalam ekspresi putranya.
“Ada yang kamu pikirkan, Nak?” tanyanya lembut.
Arga menghela napas, lalu mengangguk. “Bu, kalau aku tetap berusaha dan nggak menyerah… aku bisa jadi orang sukses, kan?”
Ibunya tersenyum, mengusap kepala putranya penuh kasih. “Tentu saja, Nak. Asal kamu percaya pada dirimu sendiri dan terus berusaha.”
Arga mengangguk pelan. Ia menatap ke luar jendela, melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang. Dunia ini luas, dan mungkin tidak ada satu pun manusia yang benar-benar sempurna. Tapi satu hal yang pasti: setiap orang punya jalannya masing-masing.
Dan ia, Arga, akan menemukan jalannya sendiri.
Namun, cerita ini belum benar-benar berakhir.
Minggu berikutnya, di sekolah, Bu Siti mengumumkan sesuatu yang membuat seluruh kelas terdiam.
“Kita akan mengikuti lomba keterampilan antar SLB tingkat provinsi bulan depan,” katanya. “Dan saya ingin kalian semua ikut serta.”
Ruangan itu mendadak riuh. Beberapa siswa tampak antusias, sementara yang lain, termasuk Arga, tampak ragu.
Arga menelan ludah. Ia tidak pernah mengikuti lomba apa pun sebelumnya. Lalu, ia teringat sesuatu. Kata-kata Rafi kembali terngiang di kepalanya:
Kamu boleh sedih, tapi jangan sampai rasa sedih itu membuatmu berhenti berjalan.
Arga menarik napas dalam. Kemudian, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mengangkat tangan.
“Bu, saya mau ikut.”
Dan begitulah, kisah ini masih terus berlanjut.