DI sebuah sekolah menengah di Jakarta, sebuah diskusi kelas berlangsung panas. Pak Arman, guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), meminta murid-muridnya untuk memberikan pendapat tentang kepemimpinan di Indonesia. Suasana kelas yang tadinya tenang berubah menjadi ajang perdebatan seru ketika topik itu dilemparkan.
“Silakan, siapa yang ingin berbicara?” tanya Pak Arman sambil menatap seluruh muridnya.
Rafi, seorang siswa yang dikenal kritis dan suka membaca berita politik, mengangkat tangan. “Pak, saya ingin bilang, pemimpin itu harus memberi contoh yang baik. Kalau seorang presiden bicara kasar di depan umum, itu nggak baik. Kan, kita diajarkan untuk berbahasa sopan?”
Beberapa teman sekelas mengangguk setuju. Namun, belum sempat Pak Arman menanggapi, Rio, yang duduk di belakang, menyahut, “Tapi, kalau itu cuma ekspresi? Mungkin dia bercanda atau sedang menekankan sesuatu. Lagipula, orang biasa juga banyak yang berbicara seperti itu.”
“Candaan yang kasar tetap saja kasar,” jawab Rafi cepat. “Kalau kita sebagai anak sekolah dilarang berkata kasar, apalagi pemimpin negara. Kata-kata itu bisa mencerminkan karakter dan memberi pengaruh buruk bagi masyarakat.”
Pak Arman tersenyum. “Bagus sekali, Rafi. Kritik yang disampaikan dengan sopan itu menunjukkan kedewasaan. Tapi, saya ingin mendengar pendapat lain. Ada yang ingin menanggapi?”
Dina, seorang siswi yang dikenal sebagai pendukung setia kebijakan pemerintah, ikut angkat bicara. “Tapi, Pak, bukankah seorang pemimpin juga manusia? Bisa saja beliau terpancing emosi karena situasi. Kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari satu kata atau kalimatnya saja. Lagipula, kita harus lihat konteksnya. Kalau kata-kata itu muncul karena tekanan atau ingin menunjukkan ketegasan, apa salahnya?”
“Betul, Dina!” Rio mendukung. “Pemimpin harus tegas. Kalau terlalu sopan, bisa jadi dianggap lemah. Pemimpin nggak bisa terus-menerus berbicara halus, apalagi kalau sedang menghadapi situasi sulit.”
Rafi menggeleng dan menimpali, “Tegas itu beda dengan kasar. Kita bisa tegas tanpa harus merendahkan orang lain. Kalau pemimpin bicara seenaknya, itu bisa menjadi contoh buruk bagi masyarakat. Apakah kita mau membiasakan generasi muda meniru gaya bicara yang tidak pantas?”
Kelas semakin ramai. Beberapa siswa mulai berdiskusi dalam kelompok kecil. Ada yang mendukung Rafi, tetapi ada juga yang lebih sependapat dengan Rio dan Dina.
Pak Arman mengetuk meja untuk menarik perhatian. “Baik, ini diskusi yang menarik. Saya ingin bertanya, menurut kalian, apakah kebebasan berbicara berarti kita bebas berbicara seenaknya? Ataukah harus ada batasannya?”
Nina, seorang siswi yang selama ini lebih banyak diam, tiba-tiba mengangkat tangan. “Menurut saya, Pak, kita memang punya kebebasan berbicara, tapi tetap harus ada etika. Apalagi kalau yang berbicara adalah seorang pemimpin. Kalau pemimpin berkata kasar, masyarakat bisa menganggap itu hal yang biasa dan menirunya. Padahal, bahasa itu mencerminkan budaya kita juga.”
Rio masih bersikeras. “Tapi, kalau pemimpin terlalu kaku dengan bahasa yang formal dan halus terus, bukankah itu terasa tidak natural? Masyarakat ingin pemimpin yang dekat dengan mereka, yang berbicara seperti rakyat biasa.”
Rafi membalas, “Bicara seperti rakyat biasa itu tidak harus kasar. Kita bisa tetap membumi tanpa menghilangkan kesopanan. Kalau seorang presiden saja tidak bisa menjaga lisan, bagaimana masyarakatnya?”
Pak Arman kemudian mengarahkan diskusi ke aspek lebih luas. “Baik, saya senang kalian bisa berpikir kritis. Sekarang, coba kita kaitkan dengan ajaran agama dan norma sosial. Dalam Islam, misalnya, ada perintah untuk menjaga lisan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: ‘Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.’ (QS. Al-Isra: 53).”
Beberapa siswa mengangguk, seakan menyadari bahwa ucapan memang memiliki dampak besar. Pak Arman melanjutkan, “Selain itu, dalam budaya kita, sejak kecil kita diajarkan untuk menghormati orang lain melalui tutur kata yang baik. Pemimpin harusnya memberi teladan yang lebih baik lagi. Kalau pemimpin kasar, bagaimana kita bisa berharap rakyat akan lebih santun?”
Rio mulai tampak berpikir lebih dalam. Dina juga tampak termenung. Namun, mereka masih mempertahankan pendapatnya. “Tapi, Pak, tetap saja, terkadang situasi memaksa seseorang untuk berbicara lebih keras.”
Pak Arman tersenyum. “Betul, situasi memang berpengaruh, tetapi kita tetap punya pilihan dalam berbahasa. Seorang pemimpin yang bijak pasti bisa menemukan cara untuk tegas tanpa harus kasar. Kalian semua boleh tetap dengan pendapat masing-masing, tapi ingat, sebagai warga negara yang baik, kita harus bisa mengkritik tanpa mencaci, dan mendukung tanpa membenarkan segala hal.”
Kelas pun menjadi hening. Semua merenungkan betapa pentingnya menjaga lisan, termasuk dalam mengkritik pemimpin. Sebab, pemimpin memang harus dihormati, tapi bukan berarti tak bisa diingatkan. Yang terpenting, kritik harus disampaikan dengan cara yang benar, tanpa harus menjadi bagian dari budaya caci-maki. (Dwi Taufan Hidayat)