Kamis, April 24, 2025
No menu items!

CERPEN: Kunci di Tangan Iblis

Must Read

LESTARI duduk membatu di sudut ruang tahanan perempuan, tempat yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi saksi luka terdalamnya. Tiga malam yang seharusnya ia lewati dengan menghitung hari menuju sidang justru menjadi neraka. Seorang polisi berpangkat, yang memegang kunci sel, datang dan pergi sesuka hati, mengobrak-abrik kehormatannya seolah tubuhnya adalah bagian dari inventaris tahanan.

Namanya Eko, anggota yang kerap dipuji sebagai teladan di lingkungan Polres. Ia datang tak berseragam, hanya mengenakan kemeja polos dan wajah tanpa rasa bersalah. Lestari tak bisa lari, tak bisa menjerit, hanya bisa diam mematung dengan tubuh gemetar, jiwanya mencair bersama lampu redup ruang besi yang pengap.

Hari pertama, tubuhnya menolak, pikirannya menolak. Tapi pada malam ketiga, yang ia rasa hanyalah kehampaan. Ia bahkan tak menangis lagi. Air matanya habis, dan yang tersisa hanyalah dendam.

Setelah kasusnya viral, banyak yang bersuara. Tapi suara-suara itu hanya berlangsung sebentar. Seperti arus komentar di media sosial, yang menggelegak sebentar lalu lenyap ditelan isu-isu baru. Eko hanya dicopot dari posisi sementara. Proses hukum? Menguap entah ke mana.

Lestari keluar dari sel dengan tubuh bebas tapi jiwa terpasung. Di rumah, ia tak sanggup menjawab pertanyaan adiknya tentang kenapa ia lebih banyak diam, kenapa ia tak menyentuh makanan, dan kenapa ia menjerit setiap malam. Trauma menyatu dengan tulang, meresap ke dalam urat.

Ia mencoba bercerita kepada penyidik perempuan. Tapi yang ia terima hanyalah nasihat klise, “Sabar, nanti diproses.” Ia tahu, itu hanya basa-basi. Di ruangan sebelah, ia mendengar tawa Eko. Tawa bebas dari balik meja, tawa penuh kepastian bahwa sistem akan melindunginya.

Hari demi hari, Lestari menulis. Ia menuliskan segalanya dalam catatan panjang, seperti ingin memahat kebenaran sebelum dilupakan. Ia unggah kisahnya ke media alternatif. Tak butuh waktu lama, publik bersuara. Tapi yang datang bukan hanya dukungan. Fitnah pun menyusul. Ada yang menyebutnya sengaja mencari sensasi. Ada yang menuduhnya murahan.

Namun Lestari tahu, inilah harga dari kejujuran di negeri yang terlalu sering menyimpan borok di bawah permadani. Ia mengunjungi LSM-LSM perempuan, menceritakan semuanya. Beberapa aktivis menolong, menawarkan pengacara, ruang aman, hingga terapi.

Namun luka Lestari bukan sekadar trauma pribadi—ia adalah refleksi luka kolektif, noda pada institusi yang seharusnya menjadi pelindung.

Setiap kali Lestari bertemu perempuan yang pernah mengalami hal serupa, ia melihat cermin dirinya. Ada yang diperkosa aparat saat operasi razia, ada yang dipaksa melayani komandan karena tak mampu membayar denda tilang yang tak pernah dicatat di buku resmi.

Semua punya pola sama: seragam, kuasa, dan diamnya sistem.

“Kalau kau tak punya kuasa atas tubuhmu sendiri, lalu apa yang tersisa dari kemanusiaanmu?” Lestari kerap mengulang kalimat itu saat memberi pelatihan kepada relawan muda.

Media yang dulu mengangkat kisahnya, kini sering mengundangnya sebagai narasumber. Tapi tak semua suka. Ada surat kaleng yang datang ke rumah aman. Ada yang mencoba merusak pagar, ada pula yang menyebar fitnah bahwa ia mencari sensasi.

Namun Lestari tak goyah.

“Saya bukan korban lagi,” ujarnya pada sebuah siaran langsung. “Saya saksi dari bobroknya sistem. Dan saya akan terus bicara, meski harus saya bayar dengan hidup saya.”

Sementara itu, Eko bebas. Ya, bebas. Karena bukti tak cukup kuat, dan karena seorang saksi kunci tiba-tiba mencabut keterangannya. Uang, ternyata, bisa membeli keheningan. Dan sistem, dengan semua jalurnya yang berliku, bisa disusupi dengan kenalan dan pangkat.

Lestari hanya tersenyum getir saat mendengar kabar itu.

“Yang kita lawan bukan cuma Eko,” katanya pada para pendukungnya, “tapi sistem yang membesarkan dia. Yang mengajarinya bahwa seragam adalah tameng, bukan tanggung jawab.”

Di balik layar, ia mulai membangun jaringan advokasi. Ia temui akademisi, jaksa muda, bahkan beberapa anggota dewan yang masih punya nurani. Perlahan, kasus-kasus serupa dikumpulkan, diarsipkan, dan disusun jadi laporan nasional.

Tahun ketiga sejak tragedi itu, Lestari berdiri di hadapan sidang Komnas Perempuan. Ia bacakan satu per satu nama tahanan wanita yang menjadi korban kekerasan aparat. Beberapa menangis, sebagian menunduk, dan seorang komisaris besar memilih keluar ruangan sebelum sidang selesai.

Tapi suara Lestari tetap terdengar:

“Jika hukum tak bisa melindungi yang lemah, lalu apa arti hukum itu sendiri?”

Dan sejak hari itu, ia tak lagi dipanggil “korban”.

Orang-orang memanggilnya: Ibu Kunci.

Karena dialah yang mengubah trauma menjadi gerakan. Yang mengambil kembali kendali atas hidupnya. Yang memecahkan keheningan, dan membuat jeruji tak lagi mutlak membungkam.

Koperasi Jadi Pilar Ekonomi Baru di Kawasan Transmigrasi

JAKARTAMU.COM | Program transmigrasi tidak hanya memindahkan penduduk, tetapi juga menumbuhkan embrio kekuatan ekonomi baru melalui pembentukan koperasi. Wakil...
spot_img

More Articles Like This