Kamis, Maret 13, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Langkah di Jalan Tanpa Akhir

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Udara pagi masih menggigit ketika Vinsensia Ervina Talluma merapatkan jaket tipisnya. Di langit, semburat jingga mulai menyingkap sisa-sisa kegelapan. Ia melangkah dengan pasti, melewati jalan berbatu yang sudah begitu akrab di telapak kakinya.

Enam kilometer.
Bukan sekadar angka, tapi perjalanan yang setiap hari ia tempuh dengan tekad. Dari rumah kecilnya di lereng bukit hingga sekolah sederhana di ujung desa.

Sepatu kanvasnya yang mulai berlubang merayap di atas tanah kering. Sesekali, debu beterbangan, menempel di ujung rok panjangnya. Namun, ia tak mengeluh. Di setiap langkahnya, ada harapan yang ia bawa, ada ilmu yang ingin ia tanamkan di kepala anak-anak yang menunggu di sekolah.

Dari kejauhan, suara langkah kaki kecil berlari menghampirinya.

“Bu Guru!” seru seorang bocah.

Vinsensia menoleh dan tersenyum. Riko, murid kelas tiga, datang dengan napas tersengal, membawa seikat jagung di tangannya.

“Ibu lapar? Ini jagung dari kebun Bapak,” katanya polos.

Vinsensia menerima pemberian itu dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Riko. Kamu sudah sarapan?”

Riko mengangguk. “Ibu bilang, kalau belajar itu penting. Supaya nanti aku bisa jadi dokter.”

Vinsensia mengusap kepala bocah itu. Semangat Riko adalah alasan mengapa ia tetap mengajar meskipun gajinya hanya tiga ratus ribu rupiah per bulan—angka yang bahkan lebih kecil dari harga sepasang sepatu baru.

Saat mereka tiba di sekolah, suasana tampak sedikit berbeda. Di depan kantor kepala sekolah, seorang pria berbadan tegap berdiri dengan wajah penuh amarah.

Pak Raymond.
Orang tua dari Tania, murid kelas enam.

“Saya ingin bicara dengan kepala sekolah!” suaranya lantang, menyita perhatian.

Pak Andreas, kepala sekolah, keluar dari ruangan dengan ekspresi lelah. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Raymond?”

“Anak saya mengeluh pelajaran terlalu sulit. Guru di sini harus lebih memperhatikan metode mengajarnya!” suaranya menggelegar.

Vinsensia menelan ludah. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar keluhan dari Raymond. Beberapa bulan lalu, pria itu menuntut agar sekolah menyediakan fasilitas lebih baik, meskipun ia tak pernah datang saat rapat komite untuk membahasnya.

Pak Andreas mencoba tetap tenang. “Kami memahami kekhawatiran Bapak. Tapi, dengan keterbatasan yang ada, kami berusaha semaksimal mungkin.”

Raymond menghela napas kasar. “Kalau begitu, cari guru yang lebih kompeten!”

Kata-kata itu menancap di hati Vinsensia seperti duri. Ia ingin menjelaskan bahwa ia telah berusaha, bahwa ia berjalan enam kilometer setiap hari untuk mengajar, bahwa ia mengorbankan banyak hal demi anak-anak di sekolah ini. Tapi ia memilih diam.

Tiba-tiba, suara lain menyela.

“Pak Raymond, saya rasa kita perlu bersyukur ada yang mau mengajar anak-anak kita di sini.”

Semua menoleh. Bu Maria, ibu dari Riko, berdiri dengan tangan terlipat di dada. “Bu Guru Vinsensia ini berjalan kaki setiap hari untuk sampai ke sini. Dengan gaji yang jauh dari layak, ia tetap datang. Kalau kita hanya bisa menuntut tanpa berbuat, apa itu adil?”

Raymond membuka mulutnya, tapi tak ada kata yang keluar.

“Kalau Bapak ingin anak-anak belajar lebih baik, kita semua harus turun tangan. Membantu sekolah, bukan hanya menuntut. Kalau bukan kita, siapa lagi?” lanjut Bu Maria.

Sunyi. Hanya suara dedaunan yang berbisik ditiup angin.

Hari itu, Vinsensia mengajar seperti biasa. Ia mengajak anak-anak bernyanyi, bercerita tentang dunia yang lebih luas di luar sana, memberi mereka harapan. Tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang mengganjal. Sampai kapan ia akan berjalan di jalan berbatu ini?

Saat matahari mulai tenggelam, ia melangkah pulang. Langit jingga membentang luas, seolah memberinya harapan.

Tapi di tengah perjalanan, sebuah pikiran melintas di benaknya.

“Apa aku bisa terus seperti ini?”

Vinsensia berhenti sejenak, menatap ujung jalan yang terasa tak bertepi.

Ia mencintai anak-anak di sekolah itu. Ia mencintai dunia mengajar. Tapi hidup pun menuntutnya untuk bertahan.

Lima tahun sudah ia jalani dengan penuh pengorbanan. Berjalan di jalan berbatu, mengajar dengan fasilitas seadanya, mendengar keluhan tanpa solusi. Sementara di luar sana, orang-orang berdebat tentang pendidikan tanpa pernah melihat langsung bagaimana ia dan guru-guru honorer lainnya bertahan dengan segala keterbatasan.

Di kejauhan, suara anak-anak masih menggema, penuh tawa, penuh semangat.

Mungkin, untuk saat ini, ia akan tetap melangkah.

Tapi sampai kapan?

Di batas cakrawala, matahari meredup, menyisakan cahaya terakhirnya.

Vinsensia tahu, esok pagi, ia akan kembali berjalan. Namun, untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya…

Sampai kapan langkah ini harus terus menapaki jalan tanpa akhir?

spot_img

Unsur Hati dan Keinginan dalam Tobat: Penyesalan Adalah Tobat

JAKARTAMU.COM | Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan hakikat tobat yang diperintahkan Allah SWT bagi seluruh kaum mukminin agar mereka beruntung,...

More Articles Like This