Oleh: Dwi Taufan Hidayat | Penasihat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang
MALAM itu jalanan begitu lengang. Hanya suara mesin mobil Darma yang memecah keheningan di sebuah jalan sepi di pinggiran kota. Sebagai sopir taksi online, Darma sudah terbiasa bekerja hingga larut malam.
Di kursi depan duduk Rico, penumpang muda yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Sementara itu, di kursi belakang ada Hesti dan Ardi, pasangan yang tengah membicarakan rencana perjalanan mereka.
“Jalanannya sepi banget, ya,” kata Darma memulai obrolan, mencoba mencairkan suasana.
Rico mengangkat kepalanya. “Iya, tapi lumayan lah, jadi cepat sampai.”
Darma tersenyum sambil tetap memandang ke depan. “Kalian tahu nggak, kalau malam-malam begini sering ada modus kejahatan di jalanan sepi?”
Hesti yang duduk di belakang menyela, “Modus apa, Bang?”
“Pernah dengar cerita soal telur dilempar ke kaca mobil?” Darma menjawab dengan nada serius.
“Telur? Apa maksudnya?” tanya Hesti, penasaran.
Darma menjelaskan, “Jadi gini, para perampok punya trik melempar telur yang sudah dicampur zat tertentu ke kaca depan mobil. Kalau kena air atau wiper, kacanya jadi buram, kayak susu. Pengemudi biasanya panik, berhenti, dan di situlah mereka beraksi.”
Ardi tertawa kecil, terdengar meremehkan. “Ah, kayak cerita sinetron, Bang. Lebay.”
Darma menatapnya melalui kaca spion. “Mas, ini nyata. Saya pernah hampir kena. Kalau nggak hati-hati, kita bisa jadi korban.”
Rico mengangkat bahu. “Kalau saya sih, tinggal jalan terus. Jangan kasih mereka kesempatan.”
Darma tidak menanggapi, hanya menekan pedal gas sedikit lebih dalam. Mobil kembali hening.
Tiba-tiba terdengar suara keras menghantam kaca depan mobil. Darma refleks menginjak rem, tapi tidak berhenti sepenuhnya. Di kaca terlihat cairan putih kental yang menghalangi sebagian pandangan.
“Astaga, apa itu?” teriak Hesti.
“Telur!” sahut Rico, matanya membelalak.
“Bang, nyalain wiper dong!” pinta Ardi panik.
Darma menggeleng cepat. “Jangan! Kalau saya nyalain wiper, kita nggak bakal lihat apa-apa.”
“Tapi kita nggak bisa lihat jalan, Bang!” Rico mulai cemas.
Darma tetap tenang, meski tangannya mencengkeram setir lebih erat. “Dengar, kita nggak boleh berhenti. Saya bakal pelan-pelan cari jalan keluar.”
Hesti bersandar ke kursi, mencoba menenangkan diri. “Kita nggak berhenti di sini, kan? Ini gelap banget.”
“Tenang aja,” kata Darma, matanya fokus ke jalan.
Namun Ardi tampak semakin gelisah. “Bang, kok lambat banget sih? Kalau mereka ngejar gimana?”
Darma menoleh sedikit ke kaca spion. “Mas Ardi, percaya sama saya. Kalau saya ngebut, mereka malah curiga kita panik.”
Lampu dari motor tiba-tiba menyala di belakang mobil, semakin dekat. Suara mesin motor menderu-deru, membuat suasana semakin tegang.
“Mereka ngejar kita!” seru Rico.
Ardi langsung menggertak, “Kita lawan aja, Bang! Di bagasi ada kunci roda.”
Darma menjawab tegas, “Lawan gimana? Mereka di luar, kita di dalam. Ini bukan film aksi, Mas.”
Motor semakin mendekat. Hesti memejamkan mata sambil menggenggam erat tasnya. Rico terdiam, mencoba mencari solusi.
“Apa nggak sebaiknya kita berhenti aja?” tanya Hesti dengan suara bergetar.
“Berhenti sama dengan menyerah,” jawab Darma cepat. Ia membelokkan mobil ke jalan kecil yang gelap, mencoba menjauh dari motor yang mengejar.
Lampu motor perlahan menghilang dari pandangan. Darma menghela napas lega, namun tetap waspada. Ia menurunkan kecepatan dan menepi di dekat lampu jalan kecil.
“Mereka nggak ngejar lagi?” tanya Rico, masih terdengar gugup.
“Sepertinya nggak,” jawab Darma. “Mereka tahu kita nggak berhenti, jadi cari korban lain.”
Hesti mengusap wajahnya, matanya masih berkaca-kaca. “Tadi itu… benar-benar menakutkan.”
Ardi yang biasanya lantang kini terdiam. Ia hanya menatap ke luar jendela, seolah mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
Darma memecah keheningan. “Saya tahu cara saya tadi bikin kalian nggak nyaman, tapi percaya deh, itu yang paling aman. Kalau kita berhenti, ceritanya bisa lain.”
Rico mengangguk perlahan. “Mungkin abang benar. Tapi tetap aja, tadi rasanya kayak mimpi buruk.”
Darma tersenyum kecil, memutar mobil dan melanjutkan perjalanan. Malam itu, tak ada lagi suara di dalam mobil, hanya desau angin yang berhembus melalui jendela.
Setelah sampai di tempat yang lebih ramai, Darma berhenti sejenak di depan sebuah pos polisi kecil. Ia keluar untuk melapor, meninggalkan para penumpang yang masih terdiam, masing-masing merenungi kejadian malam itu.
Dalam hati mereka, tersisa pertanyaan yang menggantung: apakah yang barusan terjadi hanyalah kebetulan, atau memang mereka sudah menjadi incaran sejak awal?
Malam yang sepi itu menyimpan jawabannya sendiri, namun yang pasti, pengalaman tersebut akan selalu diingat oleh setiap orang di dalam mobil itu. (*)