Sabtu, April 12, 2025
No menu items!

CERPEN: Manusia Perak dan Anak Kecil dari Cahaya

Must Read

NENEK Mumun berdiri mematung di perempatan jalan, tubuhnya mengilat perak di bawah sengatan matahari siang. Cat murahan seharga tiga puluh lima ribu rupiah telah menutupi keriput dan kulit cokelat kehitamannya. Ia tidak lagi tampak sebagai perempuan tua biasa, melainkan sesosok patung hidup, diam membisu, namun memancarkan kisah yang tak terbaca oleh siapa pun yang sekadar lewat.

Di sampingnya, Reihan, bocah berusia dua tahun, duduk bersandar pada kaki neneknya. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu, menatap kendaraan yang berlalu-lalang, dan kadang menoleh ke arah kotak kardus di tangan sang nenek—tempat jatuhnya receh-receh yang kelak menjadi harapan untuk sesuap nasi dan seteguk susu.

Sejak orang tua Reihan bercerai dan menghilang tanpa jejak, Mumun mengasuh cucunya seorang diri. Ia tak memiliki apa-apa selain cinta dan tenaga yang kian menipis. Dahulu ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Tangerang. Namun setelah ditinggali bayi oleh anak kandungnya yang kabur entah ke mana, ia harus memilih: tetap bertahan dengan upah seadanya, atau turun ke jalan.

Ia memilih jalan.

Setiap pagi, Mumun mengoleskan cat perak ke seluruh tubuhnya. Setelah mengamen, ia membersihkannya dengan cairan pencuci piring. Tidak peduli kulitnya iritasi, tidak peduli orang memandang dengan jijik atau iba—yang penting Reihan bisa minum susu, dan mereka bisa makan. Sehari ia bisa mendapatkan lima puluh hingga seratus ribu rupiah. Jumlah itu tak cukup untuk impian, tapi cukup untuk bertahan.

Kadang, ketika sore merambat turun, Reihan menangis. Tangannya kecilnya meraih baju neneknya yang lengket dan berbau logam. Mumun hanya memeluknya, lalu menghibur dengan dongeng-dongeng yang ia karang sendiri: tentang manusia perak yang datang dari langit untuk menyelamatkan pangeran kecil dari dunia yang kejam. Dalam dongeng itu, manusia perak memiliki sayap—berbeda dari dirinya yang hanya punya sendal jepit aus dan topi lusuh.

Namun, hidup tak selalu tega untuk terus kejam.

Suatu hari, ketika Mumun tengah beristirahat di bawah rimbun pohon dekat taman kota, seorang relawan muda dari yayasan sosial menghampirinya. Ia melihat Reihan duduk lemas di pangkuan sang nenek. Setelah berbincang dan mendengar kisahnya, sang relawan menangis, lalu merekam video pendek dan mengunggahnya ke media sosial.

Video itu meledak. Dalam tiga hari, jutaan orang menonton. Komentar dan donasi mengalir deras. Beberapa wartawan datang, meliput kisah Mumun dan Reihan. Mereka menyebutnya “Manusia Perak Penjaga Cahaya”.

Akhirnya, pihak yayasan menawarkan bantuan: tempat tinggal di rumah singgah, perawatan medis untuk Mumun, dan akses pendidikan dini bagi Reihan. Setelah banyak bujukan, Mumun setuju. Ia masih merasa risih meninggalkan jalanan yang selama ini memberinya makan, tapi demi Reihan, ia siap belajar untuk hidup baru.

Di rumah singgah, Mumun belajar menulis namanya lagi. Ia tak menulis sejak remaja. Ia juga belajar membacakan buku cerita untuk Reihan. Anak kecil itu mulai tumbuh ceria. Tak lagi duduk di trotoar, kini ia berlari di taman, menyapa bunga-bunga, dan memeluk neneknya setiap pagi dengan pelukan yang menghapus lelah bertahun-tahun.

Namun, kebahagiaan baru itu mendadak diuji ketika sepucuk surat tiba melalui pos.

Tulisan tangan di amplop tampak bergetar. Surat itu berasal dari seorang perempuan yang mengaku sebagai ibu kandung Reihan. Ia menulis dengan getir: “Saya ingin menemuinya. Saya ingin meminta maaf. Saya tahu saya bukan ibu yang baik. Tapi saya tetap ibunya.”

Mumun terdiam berjam-jam. Ia tahu, tak ada yang bisa menghapus kenyataan bahwa perempuan itu melahirkan Reihan. Tapi selama dua tahun, bukan dia yang memandikan, menyuapi, menenangkan saat demam, atau menyanyi di malam hari saat petir mengguncang atap seng.

Pihak yayasan mengatur pertemuan. Perempuan itu datang dengan wajah letih dan mata penuh penyesalan. Di hadapannya, Mumun duduk tenang, menggenggam tangan Reihan yang belum mengerti apa-apa. Mereka saling tatap, lama dan berat.

“Maafkan saya,” kata sang ibu. “Saya tak ingin merebutnya. Saya hanya ingin melihat matanya sekali.”

Mumun mengangguk. Air matanya jatuh, bukan karena takut kehilangan, tapi karena tahu bahwa cinta, sebesar apa pun, tak bisa memenjarakan masa lalu.

Setelah pertemuan itu, sang ibu pergi. Tak lama kemudian, ia menghilang lagi, hanya meninggalkan selembar surat untuk Reihan yang baru boleh dibuka saat dewasa.

Hidup kembali berjalan. Tapi kini Mumun tak lagi berdiri di perempatan jalan. Ia tak lagi mengoleskan cat perak di tubuhnya. Tapi ia masih manusia perak, dalam makna yang lebih abadi—seseorang yang telah mengkilap bukan karena cat, tapi karena cinta, luka, dan keteguhan yang diuji oleh waktu.

Setiap malam, ketika Reihan tidur di dekapannya, ia masih menceritakan dongeng tentang manusia perak dan pangeran kecil. Tapi kini akhir dongengnya berbeda.

“Dan akhirnya,” bisik Mumun, “manusia perak itu menemukan rumah. Bukan dari emas, tapi dari tawa kecil dan tangan mungil yang selalu menggenggam erat.”

Dan langit di atas rumah singgah tampak lebih terang malam itu.

Tragedi Jalan Rusak di Desa Sana Laok: Nyawa Melayang karena Infrastruktur Buruk

JAKARTAMU.COM -- Desa Sana Laok, Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan, tengah diliputi kesedihan mendalam setelah seorang warga meninggal tragis di...
spot_img

More Articles Like This