Senin, Februari 24, 2025
No menu items!

CERPEN: Menanti dalam Gelap

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Hujan deras membasahi atap rumah tua di pinggir desa. Angin menampar-nampar jendela, membuatnya berderik seperti suara rintihan. Di dalam rumah itu, seorang wanita tua duduk di kursi goyang, mengelus-elus boneka bayi dengan penuh kasih sayang. Cahaya redup dari lampu minyak menerangi wajahnya yang mulai keriput, tetapi matanya tetap menyala dengan sesuatu yang sulit dijelaskan—seperti harapan yang tak pernah mati.

Namanya Bu Karmi. Orang-orang di desa sudah lama menganggapnya “kurang waras.” Dulu, dia adalah wanita yang ceria, penuh tawa dan kasih sayang. Ia hanya memiliki satu anak laki-laki bernama Danu, yang menjadi dunianya. Namun, takdir mempermainkannya dengan kejam.

Suatu sore, enam belas tahun lalu, Danu yang baru berusia enam tahun menghilang tanpa jejak. Hari itu, ia bermain di halaman rumah, berlarian dengan riang, mengenakan kaos merah favoritnya. Hanya beberapa menit Bu Karmi beranjak ke dapur untuk mengambil camilan buat Danu. Ketika ia kembali, anak itu sudah tidak ada.

Bu Karmi panik. Ia berlari ke halaman, memanggil nama anaknya berulang kali. Tidak ada jawaban. Tetangga yang mendengar teriakan histerisnya mulai berdatangan. Pencarian pun dilakukan. Mereka menyisir ladang, sungai, hingga ke hutan di pinggiran desa. Hasilnya nihil. Satu-satunya petunjuk hanyalah sandal kecil milik Danu yang ditemukan di tepi sungai.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Bu Karmi tak pernah menyerah. Ia mengetuk setiap pintu, menangis di balai desa, bahkan berjalan kaki ke kota dengan harapan seseorang melihat anaknya. Namun, Danu tetap hilang. Orang-orang mulai lelah, dan satu per satu mereka berhenti mencarinya. Namun, tidak dengan Bu Karmi.

Lambat laun, akal sehatnya terkikis. Ia mulai berbicara sendiri, menggendong boneka kecil yang ia panggil Danu, menyuapinya dengan nasi, dan menidurkannya dengan lagu nina bobo. Setiap malam, sebelum tidur, ia membisikkan, “Danu sudah tidur,” lalu tertawa kecil seperti seseorang yang baru saja mendengar lelucon aneh.

Warga desa, yang awalnya iba, lama-kelamaan mulai menjauhinya. Anak-anak dilarang mendekati rumahnya. Bisik-bisik di warung kopi semakin sering terdengar. Ada yang berkata ia terkena gangguan jiwa, ada pula yang percaya ia melakukan ritual tertentu untuk memanggil arwah Danu.

Suatu hari, seorang pemuda bernama Ardi, pendatang baru di desa itu, penasaran dengan cerita Bu Karmi.

“Mungkin dulu anaknya diculik,” katanya kepada Pak Lurah saat mereka berbincang di balai desa.

Pak Lurah menghela napas. “Entahlah. Beberapa orang bilang ada yang melihat sesosok pria berpakaian hitam di sekitar desa waktu itu. Tapi nggak ada bukti.”

Ardi semakin penasaran. Suatu malam, ia nekat mengunjungi rumah Bu Karmi. Lampu minyak di dalam masih menyala, menyorot siluet tubuh wanita tua itu. Ardi mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban.

Dari celah jendela, ia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang—Bu Karmi sedang berbicara dengan seseorang di sudut ruangan. Suaranya pelan, lirih, seolah sedang menenangkan bayi. Tapi tak ada siapa-siapa di sana.

Ardi menahan napas. Saat Bu Karmi menoleh ke arahnya, matanya kosong, tetapi bibirnya tersenyum lebar. “Danu sudah tidur,” katanya pelan.

Ardi mundur perlahan, lalu berlari meninggalkan rumah itu.

Beberapa hari kemudian, kabar mengejutkan datang. Seorang pria paruh baya dari kota mengaku sebagai Danu, anak yang hilang. Ia membawa bukti berupa gelang kayu yang katanya selalu dipakai sejak kecil. Desa pun gempar.

Pak Lurah membawa pria itu ke rumah Bu Karmi. Saat melihatnya, wanita tua itu membeku. Matanya menatap tajam, seolah menelusuri setiap inci wajah pria itu.

“Kau… bukan Danu,” bisiknya. Tiba-tiba, ia tertawa. Tawanya semakin keras, menggema di seluruh rumah. “Danu tidak akan pernah kembali. Dia sudah di sini.” Tangannya mengelus boneka bayi di pangkuannya.

Pria itu pucat. “Bu… saya Danu. Saya diculik waktu kecil. Saya kembali…”

Bu Karmi bangkit. Tatapannya liar. “Danu sudah tidur. Kau bukan anakku.”

Warga menatap pria itu dengan curiga. Pak Lurah pun bertanya, “Kalau kamu memang Danu, apa nama kucing yang dulu kamu pelihara?”

Pria itu terdiam. Tangannya berkeringat.

Bu Karmi tersenyum sinis. “Lihat? Dia bukan Danu.”

Orang-orang mulai meragukan klaim pria itu. Beberapa hari kemudian, ia menghilang tanpa jejak, seperti datangnya yang tiba-tiba. Warga pun semakin yakin, ia hanya penipu.

Bu Karmi tetap di rumah tuanya, bersama boneka yang ia sebut Danu. Hingga suatu malam, hujan deras turun. Seorang tetangga yang khawatir karena tak melihat lampu rumah Bu Karmi menyala sejak sore, mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban.

Mereka mendobrak pintu.

Bu Karmi duduk di kursi goyangnya. Matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Tangannya memeluk boneka lusuh itu erat-erat. Tubuhnya kaku. Dingin.

Di wajahnya, ada senyum tipis.

Tak ada yang tahu kapan ia pergi. Mungkin, ia sudah terlalu lama menunggu. Mungkin, akhirnya ia benar-benar bersama Danu.

Ancaman Kekeringan Global 2025: Realitas, Prediksi, dan Langkah Antisipasi

JAKARTAMU.COM | Kekeringan adalah salah satu ancaman global yang semakin meningkat akibat perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang...

More Articles Like This