Senin, Maret 10, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Mimpi yang Terkhianati

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Rodiyah memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk. Di dalam kabin pesawat yang membawanya pulang ke tanah air, ia menggenggam tiket dengan erat. Sudah delapan tahun ia bekerja di negeri orang, membanting tulang demi satu impian: membangun rumah impian di kampung halaman.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di negeri asing sebagai tenaga kerja wanita, Rodiyah menghadapi tantangan yang tak sedikit. Ia bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang pengusaha kaya. Setiap hari ia bangun sebelum fajar, membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan mengurus anak-anak majikannya. Tangannya kasar oleh deterjen, punggungnya sering nyeri akibat pekerjaan yang tiada henti. Namun, ia tak pernah mengeluh.

Di balik kerja kerasnya, ada harapan yang menguatkan. Setiap bulan, ia mengirim sebagian besar gajinya kepada suaminya, Jafar.

“Bangun rumah kita, Bang,” katanya suatu hari melalui telepon. “Agar saat aku pulang, kita tak lagi tinggal di gubuk bambu.”

Jafar meyakinkannya, berkata bahwa rumah mereka sudah mulai berdiri, bahkan ia sering mengirimkan foto-foto rumah besar dan megah.

“Ini rumah kita, Dyah,” ujarnya. “Kamu pasti bangga.”

Rodiyah menangis haru melihat foto-foto itu. Rumah besar dengan pagar kokoh, cat putih yang elegan, dan halaman luas yang asri. Itu lebih dari yang ia bayangkan.

Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang tak ia ketahui.

Kepulangan yang Menyayat Hati

Sesampainya di bandara, Rodiyah merasa dadanya penuh harap. Ia membayangkan dirinya berdiri di depan rumah baru, memeluk Jafar dan anak-anaknya dengan bangga. Mobil travel yang ia tumpangi menderu melewati jalanan desa yang tak banyak berubah sejak ia pergi.

Namun, sesampainya di depan rumahnya, Rodiyah membeku. Matanya membelalak tak percaya.

Di hadapannya, tak ada rumah megah seperti yang ada dalam foto. Yang berdiri di sana hanyalah gubuk reyot yang sudah lapuk dimakan usia. Atapnya masih dari anyaman daun kelapa yang sudah bocor di sana-sini. Dindingnya tetap dari bilik bambu yang menguning. Ini bukan rumah yang diimpikannya!

“Dyah… kamu sudah pulang?” Jafar keluar dari dalam gubuk dengan senyum lebar. Namun, Rodiyah mundur selangkah.

“Bang… di mana rumah kita?” suaranya bergetar.

Jafar tampak gugup. “Ini rumah kita, Dyah.”

“Jangan bohong!” serunya. “Lalu rumah dalam foto-foto yang kau kirim itu?!”

Jafar terdiam. Matanya menghindari tatapan Rodiyah.

“Jangan bilang… itu rumah orang lain?” Rodiyah mulai menangis. “Jangan bilang selama ini kau hanya membohongiku?”

Jafar terdiam. Namun, diamnya adalah jawaban.

Rodiyah merasa dunianya runtuh.

Pengkhianatan yang Terkuak

Beberapa hari setelah kepulangannya, Rodiyah mulai mendengar bisik-bisik tetangga. Dari mereka, ia mengetahui ke mana perginya uang yang ia kirimkan.

Jafar tak pernah membangun rumah. Sebaliknya, ia menggunakan uang itu untuk berfoya-foya. Ia membeli motor mahal, mabuk-mabukan di warung remang-remang, bahkan ia sering membawa perempuan lain ke hotel.

“Dyah… kau terlalu baik,” ujar salah satu tetangganya. “Jafar bukan lelaki yang pantas untukmu.”

Rodiyah menggigit bibirnya. Amarah membuncah di dadanya. Ia telah bekerja siang dan malam, mengorbankan waktu dan tenaga, hanya untuk dikhianati oleh lelaki yang seharusnya melindunginya.

Suatu malam, Rodiyah memberanikan diri menghadapi Jafar.

“Aku ingin kejelasan, Bang,” katanya tegas. “Aku ingin tahu ke mana semua uang yang aku kirimkan?”

Jafar tertawa sinis. “Kamu pikir membangun rumah semudah itu?” katanya. “Uang yang kamu kirimkan tak cukup.”

Rodiyah menatapnya dengan tatapan tajam. “Jangan bohong lagi, Bang! Aku sudah tahu semuanya! Kau habiskan uangku untuk bersenang-senang, untuk perempuan lain!”

Jafar mendengus. “Lalu apa maumu?”

“Aku mau keadilan!”

Jafar mendekatinya dengan sorot mata yang tajam. “Kamu pikir kamu bisa hidup tanpa aku?” suaranya penuh ejekan. “Tanpa aku, kamu bukan siapa-siapa!”

Rodiyah merasa dadanya sesak. Orang yang pernah ia cintai kini berubah menjadi monster yang tak berperasaan.

Harapan yang Tersisa

Beberapa bulan berlalu. Rodiyah memutuskan pergi dari rumah itu. Ia tak bisa lagi bertahan dengan Jafar yang tak berubah sedikit pun.

Namun, kepulangannya tak semanis yang ia bayangkan. Uang hasil jerih payahnya habis. Ia tak punya tabungan, tak punya rumah, tak punya suami yang bisa diandalkan.

Ia kembali bekerja di desa sebagai buruh tani. Setiap pagi ia bangun lebih awal, menanam padi di sawah, mencangkul tanah dengan tangan kasarnya. Setiap sore ia pulang dengan tubuh lelah, tetapi hatinya tetap tegar.

Di suatu siang yang panas, saat ia tengah mengikat padi yang sudah dipanen, seorang tetangga datang menghampirinya.

“Dyah… kau sudah dengar kabar tentang Jafar?”

Rodiyah menoleh, keringat bercucuran di dahinya. “Kabar apa?”

“Dia ditemukan di warung remang-remang tadi malam. Mabuk berat, dikeluarkan paksa oleh pemilik warung karena tak bisa bayar utang.”

Rodiyah terdiam. Ada sedikit rasa sakit di hatinya, tapi tidak lagi karena cinta. Hanya luka lama yang mengingatkan betapa ia pernah terkhianati.

Sore itu, ia duduk di depan gubuknya yang masih reyot. Hujan mulai turun, air bocor dari atapnya. Ia menatap langit dan menghela napas panjang.

“Mungkin inilah takdirku…” bisiknya.

Namun, di balik kepedihan itu, ia masih memiliki satu hal: harga dirinya.

Meski ia telah kehilangan segalanya, setidaknya ia masih memiliki kehormatan sebagai seorang wanita yang telah berjuang dengan kejujuran dan kerja keras.

Sementara itu, Jafar—lelaki yang mengkhianatinya—akan menua dalam kesia-siaan, tenggelam dalam kebiasaan buruknya sendiri.

Rodiyah bangkit dari tempat duduknya dan masuk ke dalam gubuknya yang sederhana.

Hidupnya memang hancur, tapi ia masih punya harapan.

spot_img

Kisah Kian Banyak Non-Muslim Ikut Puasa: Refleksi dan Spiritualitas

JAKARTAMU.COM | "Tidak seorang pun di keluarga saya tahu saya berpuasa pada hari itu," tutur Raveena Kumari, seorang wanita...

More Articles Like This