Jumat, Maret 14, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Mumpung Belum Kaya, Sedekahlah

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Suara gemerincing koin jatuh di atas kotak amal kayu bergema di dalam masjid kecil itu. Zain menarik napas lega, lalu melangkah keluar sambil menatap langit sore yang mulai meredup. Dia tak pernah lupa untuk bersedekah, walaupun hanya seribu-dua ribu rupiah dari sisa dagangannya di pasar.

Tapi sore itu, sesuatu membuatnya termenung. Seorang pria tua duduk di bawah pohon besar, menatap kosong ke kejauhan. Pak Amir, begitu orang-orang memanggilnya. Dahulu, ia seorang saudagar kaya, punya peternakan luas dan toko emas di pusat kota. Kini, ia hanya lelaki renta yang hidup dari belas kasihan orang-orang.

Zain menghampiri dan duduk di sebelahnya. “Pak Amir, boleh saya duduk di sini?”

Pak Amir hanya tersenyum tipis, mengangguk pelan. Wajahnya penuh keriput, matanya menyimpan penyesalan yang dalam.

Dua puluh tahun lalu, Pak Amir adalah pria yang sibuk. Dari pagi hingga malam, ia menghitung keuntungan, membeli tanah, menambah jumlah ternak, dan memastikan tokonya selalu ramai. Sedekah? Ah, itu hanya urusan kecil yang bisa ditunda.

Namun, semua berubah ketika seorang lelaki tua datang ke tokonya suatu siang. Lelaki itu tampak lusuh, matanya memohon.

“Pak, saya butuh sedikit bantuan. Anak saya sakit, saya tidak punya cukup uang untuk berobat.”

Pak Amir menatapnya dengan ragu. Di dalam laci mejanya, ada segepok uang hasil penjualan emas hari itu. Tidak seberapa dibanding seluruh kekayaannya. Tapi entah kenapa, hatinya enggan memberi.

“Saya tidak ada uang lebih, Pak,” jawabnya singkat.

Lelaki tua itu menunduk, mengucapkan terima kasih, lalu pergi. Pak Amir kembali ke pembukuannya, melupakan kejadian itu begitu saja.

Tahun demi tahun berlalu. Kekayaannya terus bertambah, tetapi begitu juga kekikirannya. Dahulu, saat hanya memiliki beberapa ekor ayam, ia dengan mudah memberikan satu kepada tetangganya yang kelaparan. Namun ketika ternaknya sudah ratusan, sedekah satu ekor pun terasa berat.

Sampai akhirnya, musibah datang.

Pertama, ladangnya terserang hama. Panen gagal total. Kemudian, penyakit mewabah di peternakan. Sapi-sapinya mati satu per satu. Tak lama setelah itu, toko emasnya dirampok. Dalam sekejap, hartanya habis.

Pak Amir mencoba bangkit, tapi semuanya seperti telah digariskan. Hutang menumpuk, usahanya bangkrut, dan satu per satu orang-orang yang dulu mengelilinginya menghilang.

Kini, di bawah pohon besar itu, ia hanya bisa menatap ke langit, mengingat bagaimana ia dulu menolak memberi, meski hanya sedikit.

Zain menatap Pak Amir lama. Ia sudah sering mendengar kisahnya dari orang-orang. Kisah tentang seorang kaya yang jatuh miskin, bukan karena nasib, tetapi karena hatinya yang semakin berat memberi seiring bertambahnya harta.

“Pak Amir, apa Bapak menyesal?”

Pak Amir menoleh, matanya mulai basah. Ia tersenyum, getir. “Nak, tahukah kau? Saat aku masih miskin dulu, bersedekah itu mudah. Tapi saat aku kaya, aku mulai merasa setiap keping uang terlalu berharga untuk diberikan. Aku selalu menunda-nunda, selalu merasa belum cukup kaya.”

Zain mengangguk pelan. Ia teringat cerita lama tentang seorang lelaki bernama Tsa’labah, yang dahulu rajin beribadah saat miskin, tetapi mulai lalai setelah menjadi kaya. Harta yang terus bertambah ternyata tidak membuat manusia semakin ringan memberi, justru semakin berat.

“Tapi kini, aku sudah tidak punya apa-apa lagi, Nak,” lanjut Pak Amir, “dan aku baru sadar… Aku tak pernah benar-benar memiliki semua itu.”

Angin sore bertiup lembut. Zain merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu meletakkannya di pangkuan Pak Amir.

“Pak, ini sedikit dari saya. Semoga bisa membantu.”

Pak Amir menatap uang itu lama, lalu menggeleng. “Terima kasih, Nak. Tapi simpanlah untuk orang lain yang lebih membutuhkan. Aku sudah cukup belajar dari semua ini.”

Zain terdiam. Lalu, ia tersenyum dan bangkit. “Baik, Pak Amir. Kalau begitu, izinkan saya belajar dari kisah Bapak. Mumpung saya belum kaya, saya akan tetap bersedekah. Agar nanti, kalau Allah memberi saya rezeki lebih, saya tidak lupa untuk memberi.”

Pak Amir menatap Zain lama, sebelum akhirnya menunduk. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia menangis.

spot_img

Jemblung, Dendang Kerupuk, dan Nostalgia yang Tak Terlupakan

JAKARTAMU.COM | Di suatu masa ketika plastik belum mendominasi, sebelum suara klakson ojek online dan dering notifikasi e-commerce memenuhi...

More Articles Like This