Senin, Februari 24, 2025
No menu items!

Cerpen: Puputan di Tanah Madura

Must Read


Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Malam itu, angin laut Madura berembus kencang, menyapu debu pertempuran yang masih mengambang di udara. Api unggun berkobar di antara barisan tenda pasukan Mataram yang baru saja menjejakkan kaki di tanah Madura. Adipati Sujanapura duduk di tengah kemahnya, wajahnya menegang setelah pertempuran siang tadi.

Di kejauhan, di sebuah dataran tinggi yang menghadap pantai, Pangeran Ronggosukowati menatap perkemahan Mataram dengan bara di matanya. Di sampingnya, Pangeran Jimat dan Pangeran Purbaya menunggu instruksi. Malam itu mereka sudah bertekad—perang ini bukan sekadar mempertahankan wilayah, tetapi juga harga diri.

“Aku tak sudi mati tanpa melawan,” kata Ronggosukowati, menggenggam keris warisan leluhurnya. “Carok ini adalah carok terakhir kita. Jika esok fajar menyingsing dan kita sudah tidak bernapas lagi, maka kita mati sebagai lelaki terhormat.”

Ratusan prajurit pilihan Madura berdiri dalam diam. Mereka bukan sekadar prajurit, melainkan para petarung yang menganggap perang sebagai bagian dari kehormatan. Lalu, dari antara mereka, seorang perempuan bersenjata clurit melangkah maju. Dia adalah Nyai Kencana, istri Pangeran Purbaya.

“Jika kau gugur esok,” katanya dengan suara tegas, “kau tidak perlu kembali. Tapi jika kau memilih menyerah, jangan harap aku menerimamu kembali sebagai suami.”

Pangeran Purbaya menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Kita akan bertemu di surga, Nyai.”

Tanpa ragu, 400 orang pasukan pilihan itu bergerak diam-diam ke arah perkemahan Mataram. Mereka mengendap di kegelapan, hanya mengandalkan bintang sebagai petunjuk. Ketika mereka sampai di sekitar kemah musuh, seorang prajurit muda menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Pangeran Ronggosukowati.

“Aku ingin mati dengan namaku tetap diingat,” katanya.

Ronggosukowati mengangguk. “Maka berperanglah dengan segenap jiwamu.”

Dan pada saat itulah mereka menerjang ke dalam perkemahan.

Mata Adipati Sujanapura melebar ketika suara jeritan bangkit dari arah perkemahan. Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, seorang prajuritnya roboh di sampingnya dengan clurit tertancap di dadanya.

“Serangan!” teriak seorang prajurit Mataram.

Namun, sebelum mereka bisa merespons, pasukan Madura sudah masuk lebih dalam ke perkemahan. Tubuh-tubuh bertumbangan. Darah membasahi pasir. Para prajurit Mataram berusaha melawan, tetapi mereka tidak terbiasa dengan pertempuran satu lawan satu yang brutal seperti ini.

Di tengah kekacauan, Adipati Pamekasan muncul, menantang Adipati Sujanapura dalam duel yang tak terhindarkan.

“Hanya ada satu cara menyelesaikan perang ini, Adipati,” katanya, mencabut kerisnya. “Bertarunglah denganku, satu lawan satu, seperti lelaki sejati.”

Adipati Sujanapura menatapnya, lalu mencabut pedangnya. Ia tahu, ini bukan pertempuran biasa. Ini adalah carok, pertarungan sampai mati.

Mereka berdua bertarung dengan ganas, tak peduli luka-luka yang menganga di tubuh mereka. Sujanapura berhasil menggoreskan pedangnya ke lengan Adipati Pamekasan, tapi sesaat kemudian, clurit lawannya menancap di bahunya.

Mereka terus bertarung sampai akhirnya, dalam satu hentakan terakhir, keduanya roboh bersamaan.

Duel mereka berakhir tanpa pemenang.

Malam semakin larut, tetapi api perlawanan di hati orang-orang Madura tidak pernah padam. Di atas bukit yang menghadap ke medan pertempuran, seorang lelaki tua bertongkat berdiri dalam keheningan. Dia adalah Ki Renggolo, salah satu sesepuh Madura yang masih hidup dan menyaksikan sejarah berulang.

“Darah akan kembali mengalir, seperti air pasang yang tak bisa dihentikan,” gumamnya.

Di sekelilingnya, para pemuda mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu, perang ini bukan sekadar pertarungan antara dua kekuatan, tetapi tentang harga diri yang tidak bisa dibeli.

“Dengar, anak-anak muda,” lanjut Ki Renggolo, suaranya berat namun penuh ketegasan. “Kalian bukan hanya bertarung untuk hari ini. Kalian bertarung untuk anak-anak yang belum lahir, untuk tanah yang kelak kalian tinggalkan. Jangan pernah gentar!”

Sementara itu, di perkemahan Mataram, Tumenggung Wiraguna yang baru tiba bersama pasukannya mendengarkan laporan mengenai kekalahan pasukan Sujanapura. Matanya menyipit, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi tangannya mengepal kuat di gagang pedang.

“Kita tidak akan membiarkan mereka menang,” katanya kepada para panglimanya. “Kirim pasukan tambahan. Siapkan prajurit yang tidak takut mati.”

Malam itu, langit Madura diterangi cahaya bintang, tetapi tanahnya telah menjadi ladang kematian.

Saat fajar menyingsing, genderang perang kembali ditabuh. Tumenggung Wiraguna memimpin serangan besar-besaran ke jantung pertahanan Madura. Kali ini, pasukan Mataram lebih siap, lebih terlatih, dan lebih banyak jumlahnya.

Pangeran Ronggosukowati melihat barisan musuh yang terus merangsek maju. Tubuhnya lelah, tapi semangatnya tetap menyala.

“Kita hadapi mereka!” serunya.

Lalu pertempuran pun pecah kembali.

Darah bercampur dengan pasir. Jeritan memenuhi udara. Tubuh-tubuh bergelimpangan di antara tombak dan pedang. Perempuan-perempuan Madura tidak tinggal diam—mereka ikut bertarung, mencabut clurit, dan mengayunkannya tanpa ragu.

Namun, sekuat apa pun perlawanan mereka, jumlah Mataram terlalu banyak. Satu per satu, pertahanan Madura mulai runtuh. Pangeran Purbaya terdesak, Pangeran Jimat jatuh dengan luka di dadanya, dan akhirnya, Pangeran Ronggosukowati pun roboh dengan mata menatap langit.

Saat matahari mencapai puncaknya, perang telah selesai. Madura jatuh ke tangan Mataram.

Beberapa hari setelahnya, ribuan tawanan diangkut ke Mataram. Di antara mereka ada seorang anak kecil yang menatap sekelilingnya dengan kebencian yang mendalam. Namanya Raden Prasena, putra penguasa Madura Barat.

Sultan Agung melihat bocah itu, lalu tersenyum kecil.

“Kau akan besar di sini, di Mataram,” katanya. “Kelak, kau akan menjadi penguasa Madura, tetapi bukan sebagai musuh, melainkan sebagai bagian dari Mataram.”

Anak itu tidak menjawab. Tetapi di matanya, api perlawanan tidak pernah padam.

Di sebuah sudut desa yang sunyi, seorang perempuan tua duduk bersimpuh di atas tanah. Matanya kosong, memandang hamparan lautan yang bergemuruh.

“Apakah kau mendengar, Nak?” bisiknya. “Tanah ini menangis untukmu.”

Di balik bayang-bayang kekalahan ini, sekelompok orang diam-diam menyusun rencana. Perlawanan mungkin telah kalah di medan perang, tetapi di hati rakyat Madura, api itu belum padam.

Pramono Anung dan 17 Kepala Daerah PDIP Ikut Retreat, Melawan Megawati?

JAKARTAMU.COM | Gubernur Jakarta Pramono Anung akhirnya memutuskan mengikuti acara pembekalan (retreat) di Akademi Militer (Akmil) Magelang. Dia bergabung...

More Articles Like This