Sabtu, Maret 1, 2025
No menu items!

CERPEN: Ruang yang Tak Bertuan

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

MALAM menempel erat di langit Karawang ketika Destria Wibowo membaringkan punggungnya di atas tikar lusuh yang terhampar di lantai ruang guru. Istrinya, Iis Isnayanti, duduk di pojokan, melipat pakaian anak mereka yang sebentar lagi akan masuk sekolah. Sesekali, suara tikus berlari di atas plafon terdengar jelas, namun Destria dan Iis sudah terbiasa.

“Besok aku beli tikar baru, Yah,” gumam Iis pelan.

Destria mengangguk tanpa suara. Gaji lima ratus ribu per bulan jelas tak cukup untuk membeli kasur yang layak. Tapi tikar? Mungkin masih bisa.

Di luar sana, sekolah sunyi. Bangunan itu telah menjadi rumah mereka selama 14 tahun. Setiap jam empat subuh, sebelum matahari benar-benar menyapa, mereka harus membereskan ruang guru ini. Meja-meja harus kembali ke posisi semula, bantal dan selimut dilipat, lalu semua barang pribadi mereka disimpan di warung kecil tempat Iis berjualan.

Namun, setiap malam, ruang ini kembali menjadi kamar tidur mereka.

Sementara itu, di gedung lain sekolah ini, seorang pria berusia 50-an duduk nyaman di kursi empuknya. Namanya Surya, kepala sekolah yang baru menjabat lima tahun terakhir. Tangannya memegang secangkir kopi, sementara tatapannya mengarah ke layar laptop.

“Kita tak bisa membiarkan mereka terus tinggal di ruang guru,” ucapnya pada bawahannya, seorang guru senior bernama Bu Wati.

“Tapi, Pak Surya,” Bu Wati berbisik, “mereka sudah tinggal di sini selama belasan tahun. Rumah penjaga sekolah memang ada, tapi rusak berat. Tidak adakah anggaran untuk merenovasinya?”

Surya mendecakkan lidah. “Anggaran sekolah bukan untuk itu. Lagipula, mereka seharusnya cari tempat tinggal lain.”

Bu Wati menghela napas. Ia tahu, Surya lebih peduli pada anggaran proyek pembangunan taman sekolah yang selama ini menjadi ajang “bagi hasil” dengan beberapa orang dinas pendidikan. Rumah untuk penjaga sekolah? Itu bukan prioritas.

Keesokan paginya, rutinitas yang sama berulang. Destria bangun sebelum azan Subuh, mengangkat tikar, menggeser meja-meja, memastikan ruang guru tampak seperti semula. Lalu ia membantu Iis membuka warung kecil di dekat kantin sekolah.

Pagi itu, seorang pegawai dinas pendidikan datang. Lelaki berjas abu-abu itu turun dari mobil dinas dan berbincang singkat dengan Surya. Tak lama, kepala sekolah itu memanggil Destria.

“Pak Destria,” ucap Surya dengan senyum tipis. “Mulai minggu depan, ruang guru ini tidak boleh lagi dipakai untuk tidur.”

Destria mengerjap. “Tapi, Pak…”

“Itu perintah dari dinas. Tidak baik kalau ruang guru jadi tempat tinggal. Kasihan guru-guru kita.”

Destria terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada kata yang keluar. Ia ingin bertanya di mana ia harus tinggal. Ia ingin bertanya apakah mereka peduli. Tapi ia tahu, semua pertanyaan itu tak akan mengubah keputusan Surya.

Iis, yang mendengar kabar itu, hanya bisa menggigit bibir. Malam itu, ia memeluk anak mereka erat.

“Kita mau tinggal di mana, Yah?” bisik Iis dengan suara gemetar.

Destria menatap langit-langit. Tikus-tikus di atas sana terus berlari, seakan menertawakan nasib mereka.

Rumah penjaga sekolah yang kosong itu sebenarnya bisa mereka tempati. Tapi kondisinya lebih mirip reruntuhan daripada rumah. Dindingnya penuh retakan, atapnya berlubang, dan lantainya dipenuhi lumut.

“Kalau saja ada uang untuk renovasi,” lirih Destria.

“Pak Surya bisa saja membantu,” sahut Iis.

Destria tersenyum pahit. Ia tahu, Surya lebih memilih menghabiskan anggaran untuk proyek-proyek lain.

Lalu, Destria mendapat ide. Ia mulai mengumpulkan botol plastik lebih giat dari biasanya. Setiap malam, ia berjalan menyusuri gang-gang sempit, memungut botol bekas yang dibuang sembarangan.

Sampai suatu hari, saat ia membawa pulang sekantong besar botol plastik, ia melihat beberapa pekerja bangunan sedang memperbaiki taman sekolah.

“Mereka bisa renovasi taman, tapi rumah untuk penjaga sekolah dibiarkan rusak,” gumamnya.

Ia menatap tukang-tukang itu dengan getir. Salah satu dari mereka mengenalnya dan berbisik, “Pak Destria, anggaran buat taman ini lumayan besar, loh. Katanya, ada yang dapat bagian…”

Destria hanya bisa menelan ludah.

Malam terakhir mereka di ruang guru terasa sunyi. Iis menangis diam-diam, sementara Destria duduk termenung.

Lalu, esok paginya, mereka berkemas. Anak mereka yang masih SMA ikut membantu. Ia tahu, tak ada yang bisa mereka lakukan.

Rumah penjaga sekolah yang rusak akhirnya mereka tempati. Mereka tidur di atas lantai tanpa kasur, atap bocor membuat tubuh mereka basah jika hujan datang.

Di ruang guru yang kini kosong dari kehidupan, Surya dan para guru mengadakan rapat seperti biasa. Mereka tak lagi perlu mengkhawatirkan ‘penghuni gelap’ di sana.

Namun, saat mata Surya melirik jendela, ia melihat Destria di kejauhan. Lelaki itu tengah memungut botol plastik di halaman sekolah, mencoba bertahan hidup dengan cara yang tak akan pernah dimengerti orang-orang sepertinya.

Di bawah langit Karawang yang muram, ironi itu terasa begitu tajam. ()

CERPEN: Cinta dalam Jebakan

Oleh: Dwi Taufan Hidayat Hujan turun deras, menghantam aspal dengan suara ritmis yang melankolis. Fajar duduk di dalam mobilnya,...

More Articles Like This