Senin, Februari 24, 2025
No menu items!

CERPEN: Satu Detik Terlambat

Must Read

LANGKAH kakinya gemetar saat memasuki masjid tua di sudut kota. Cahaya lampu temaram berpendar redup, membentuk bayang-bayang di dinding. Udara malam yang dingin seolah menelusup ke tulangnya, menambah gelisah yang sudah mencekam di dadanya.

Ahmad berdiri di barisan belakang, memperhatikan jamaah yang sedang menunaikan shalat. Suara imam melantunkan ayat-ayat suci dengan begitu khusyuk, menggema di setiap sudut ruangan. Ia menelan ludah. Hatinya bergetar. Sudah berapa lama ia tidak merasakan ketenangan seperti ini?

Tiba-tiba, ingatannya berkelana ke masa lalu.

Sepuluh tahun lalu, Ahmad adalah seorang pebisnis muda yang sukses. Keuntungannya berlipat, jaringan usahanya luas, dan ia dihormati di kalangan pengusaha. Namun, kesuksesan itu membuatnya tenggelam dalam gemerlap dunia.

“Apa gunanya sibuk ke masjid kalau uang kita bisa membantu lebih banyak orang?” kata Amir, sahabat sekaligus mitra bisnisnya, saat mereka menikmati makan malam mewah di sebuah restoran bintang lima.

Ahmad mengangguk setuju. Baginya, sedekah dalam jumlah besar sudah cukup untuk menebus ketidakhadirannya dalam ibadah. Ia berpikir, Allah pasti lebih menghargai mereka yang membantu banyak orang dibanding mereka yang hanya sibuk dengan sajadahnya.

Hingga suatu malam, ia bertemu dengan seorang lelaki tua di pasar. Lelaki itu berpakaian lusuh, dengan wajah penuh keriput yang mencerminkan perjalanan hidup yang panjang. Ahmad tengah berjalan menuju mobil mewahnya ketika lelaki itu menyapanya dengan suara parau.

“Anak muda, apakah kau sudah siap jika Allah memanggilmu sedetik lagi?”

Ahmad tersentak. Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinganya, mengusik hatinya yang telah lama beku.

Namun, ia hanya tersenyum tipis, menganggap lelaki itu sekadar orang tua yang suka memberi nasihat tanpa diminta.

Waktu berlalu, dan Ahmad semakin larut dalam urusan dunia.

Suatu hari, ia melihat Amir tengah berdiri di depan kantornya, wajahnya lebih tenang dari biasanya.

“Aku akan berangkat haji tahun ini,” kata Amir.

Ahmad mengerutkan kening. “Sejak kapan kau jadi religius?”

Amir tersenyum. “Aku hanya takut terlambat, Ahmad.”

Ucapan itu menusuk hatinya.

Ahmad kembali menatap para jamaah di masjid. Mereka terlihat begitu damai, sementara hatinya terasa begitu gelisah.

Ia teringat bagaimana ia selalu menunda-nunda ibadah. Menunda shalat, menunda mengaji, menunda bertobat.

Dan sekarang…

Saat ia memutuskan ingin berubah, saat ia ingin mengejar ketertinggalannya—waktu telah hampir habis.

Dadanya tiba-tiba sesak. Kakinya lemas.

Jatuh.

Orang-orang di sekitarnya berlarian. Suara-suara panik terdengar samar di telinganya. Namun, yang lebih jelas adalah suara adzan yang berkumandang dari menara masjid.

Ahmad berusaha menarik napas, tetapi dadanya terasa semakin berat.

Lalu, dalam hitungan detik, semuanya menjadi gelap.

Pagi itu, kota berduka atas kepergian seorang pengusaha ternama.

Di sudut masjid, seorang lelaki tua duduk termenung, menatap tempat di mana Ahmad terjatuh semalam.

“Sedetik lebih cepat, kau mungkin sempat bertobat…” bisiknya lirih. (Dwi Taufan Hidayat, Penasihat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang)

Jadwal Imsakiyah Ramadan 1446 H Wilayah Gorontalo dan Sekitarnya Menurut Muhammadiyah

JAKARTAMU.COM | Berikut ini adalah jadwal imsakiyah Ramadan 1446 H untuk wilayah Gorontalo dan sekitarnya yang dihisab oleh Oman Fathurohman...

More Articles Like This