Senin, Maret 24, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Sebungkus Kerang dan Doa di Ujung Senja

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Angin sore menggugurkan debu jalanan, menyapu helai rambut kusut seorang bocah yang duduk di trotoar. Di pangkuannya, seorang pria terbaring lemah, napasnya berat, keringat dingin menempel di pelipisnya. Jemari kecil bocah itu menyibak rambut pria itu dengan hati-hati, seolah ingin menyalurkan kekuatan yang tak ia punya. Sebuah papan kardus di sampingnya bertuliskan:

“JUAL KERANG 1 KILO 10.000”

Matanya menatap kosong ke jalanan, menunggu sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu apa. Orang-orang berlalu lalang, beberapa melirik sebentar, lalu pergi tanpa sepatah kata. Ia menghela napas, mengingat kembali bagaimana semua ini dimulai.

Lima bulan sebelumnya, dini hari di bibir pantai, seorang pria paruh baya menurunkan jaring dengan hati-hati. Air laut merayapi betisnya, dingin menusuk hingga tulang. Bocah kecil di belakangnya membawa ember plastik, matanya berbinar melihat kilatan kerang yang tersangkut di jaring.

“Ayah, dapat banyak?” tanyanya polos.

Sang ayah mengangguk, menggoyangkan jaring, membuat kerang-kerang jatuh berjatuhan ke dalam ember. “Cukup buat makan dan dijual,” sahutnya.

Mereka menghabiskan waktu di sana hingga langit mulai terang. Tubuh mereka basah, tetapi senyum tak lepas dari wajah bocah itu.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Harga kerang di pasar semakin anjlok. Pembeli pun mulai berkurang. Beberapa pedagang besar lebih memilih menjual hasil laut impor, lebih murah dan lebih menguntungkan. Ayahnya tetap berusaha, meskipun dagangannya semakin sulit laku.

Tiga bulan sebelumnya, hujan turun deras. Mereka berteduh di bawah emperan toko yang telah tutup. Perut sang bocah berbunyi pelan, tetapi ia tak mengeluh.

“Ayah, kita makan apa nanti?” tanyanya dengan suara lemah.

Sang ayah mengelus kepala putranya. “Kita masih punya sedikit nasi dan ikan asin di rumah. Pulang, ya?”

Mereka berjalan menyusuri gang sempit menuju rumah mereka yang tak lebih dari gubuk kecil di pinggir sungai. Air merembes dari atap yang bocor. Tapi setidaknya mereka masih bisa beristirahat.

Sebulan sebelumnya, sang ayah mulai sering batuk. Awalnya hanya batuk kecil, lalu semakin parah. Namun, ia tetap memaksakan diri turun ke pantai setiap pagi, meskipun tubuhnya semakin lemah.

“Jangan pergi dulu, Yah,” pinta bocah itu suatu pagi. “Biar aku saja yang jualan hari ini.”

Namun sang ayah menggeleng. “Aku masih kuat. Kau jaga rumah saja.”

Tapi kenyataannya, tubuhnya tak lagi sanggup. Suatu siang, saat sedang menjajakan dagangan di pinggir jalan, ia tiba-tiba terhuyung dan jatuh. Orang-orang hanya menoleh sekilas, sebelum kembali sibuk dengan urusan masing-masing.

Putranya datang tergesa-gesa, mengguncang tubuh ayahnya. “Ayah! Bangun!”

Napas pria itu tersengal. “Maaf… Ayah tak bisa memberimu banyak…”

Anak itu menangis, memeluk ayahnya yang semakin melemah.

Hari mulai gelap. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menciptakan bayangan panjang di aspal yang dingin. Bocah itu masih memangku tubuh ayahnya, berharap keajaiban datang.

Namun, manusia lebih sering sibuk dengan dunianya sendiri.

Seorang wanita berkerudung melintas. Ia berhenti sejenak, menatap bocah itu dengan ragu. Ada sesuatu dalam tatapan anak itu yang menusuk hatinya.

“Adik, Ayahmu kenapa?” tanyanya lembut.

Bocah itu menoleh perlahan. Bibirnya kering, matanya sembab. “Ayah tidur…” katanya lirih.

Wanita itu berjongkok, menatap pria yang terbaring lemah. Ia melihat napasnya yang tersengal, wajahnya yang pucat. Tanpa ragu, ia merogoh ponselnya.

“Ini darurat. Kita harus segera membawa Ayahmu ke rumah sakit,” katanya tegas.

Bocah itu menggenggam tangan ayahnya lebih erat, seolah takut kehilangan.

“Tapi… kami tidak punya uang…” bisiknya.

Wanita itu tersenyum, lalu mengusap kepala bocah itu. “Jangan khawatir. Allah akan menolong kita.”

Tak lama kemudian, ambulans datang. Sirenenya menggema di jalanan yang mulai lengang. Beberapa orang mulai memperhatikan. Ada yang berbisik-bisik, ada yang menggeleng pelan.

Bocah itu berjalan mengikuti para petugas yang mengangkat tubuh ayahnya ke dalam ambulans. Ia menggenggam papan kardus itu erat-erat.

“Jual kerang 1 kilo 10.000.”

Tulisan itu buram oleh air matanya.

Di dalam ambulans, ia duduk di samping ayahnya, menggenggam tangannya yang mulai dingin.

“Yah… kita pulang, ya?” bisiknya.

Angin malam menyelusup ke celah kaca.

Di luar sana, kehidupan terus berjalan.

Tapi bagi bocah itu, dunia seakan berhenti.

spot_img

CERPEN: Senja di Ujung Harapan

Oleh | Dwi Taufan Hidayat Hujan yang mengguyur sejak sore masih menyisakan gerimis tipis. Mbah Niti duduk di ambang pintu...

More Articles Like This