Rabu, Maret 26, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Senja di Ujung Harapan

spot_img
Must Read

Oleh | Dwi Taufan Hidayat

Hujan yang mengguyur sejak sore masih menyisakan gerimis tipis. Mbah Niti duduk di ambang pintu rumahnya yang reyot, menatap jalan setapak yang kini basah oleh genangan air. Lampu jalan yang redup memantulkan cahaya suram di atas permukaan air. Sejenak, ia merasa seperti melihat bayangan suaminya di sana—sosok yang telah lama pergi, meninggal annya sendiri dalam perjalanan panjang yang kian melelahkan.

Di pangkuannya, ia menggenggam plastik berisi beberapa keping kerupuk yang tersisa. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena rasa lelah yang merayap semakin dalam. Pikirannya melayang pada anak-anaknya—tiga orang yang pernah ia lahirkan dengan penuh kasih sayang, namun kini entah di mana. Sudah berapa tahun mereka tak menjenguknya?

“Bukan salah mereka…” gumamnya lirih.

Ia tahu, hidup semakin sulit. Anak-anaknya punya keluarga masing-masing, punya beban yang harus mereka pikul. Ia tak ingin menjadi beban tambahan. Namun, tetap saja, hati seorang ibu tak bisa menghapus kerinduan. Setiap malam, dalam doa-doanya, ia masih menyebut nama mereka satu per satu, berharap suatu hari nanti pintu rumah ini diketuk oleh seseorang yang membawa kabar gembira.

Tapi hari-hari berlalu, dan pintu itu tetap sunyi.

Pagi berikutnya, matahari muncul malu-malu dari balik awan. Embun masih menggantung di ujung daun, dan udara pagi terasa menusuk tulang. Mbah Niti menyiapkan dagangannya dengan langkah perlahan. Tangan tuanya membungkus kerupuk dengan plastik seadanya, sementara matanya yang buram sesekali memicing untuk memastikan semua tertata rapi di dalam keranjang kecilnya.

Saat keluar dari rumah, ia terhenti sejenak. Di depan pintu, seekor kucing kurus duduk menatapnya dengan mata kelaparan. Bulu kucing itu basah oleh embun, tubuhnya gemetar kecil.

Mbah Niti tersenyum lemah. “Kamu lapar juga ya, Nak?”

Ia merogoh sakunya, mengambil sepotong kecil kerupuk, lalu meletakkannya di depan kucing itu. Kucing itu langsung melahapnya dengan lahap, seolah itu adalah makanan terbaik yang pernah ia temukan.

Mbah Niti menghela napas. “Setidaknya ada yang bisa kenyang hari ini…”

Ia melanjutkan langkahnya, berjalan pelan menyusuri gang kecil yang mulai ramai oleh orang-orang yang bergegas berangkat kerja. Beberapa orang hanya menoleh sekilas, lalu kembali sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Di ujung gang, seorang ibu muda tengah menyapu halaman rumahnya. Saat melihat Mbah Niti, ia tersenyum tipis.

“Mbah, pagi-pagi sudah jualan lagi?” tanyanya.

Mbah Niti mengangguk. “Iya, Nak. Kalau nggak jualan, Mbah nggak makan…”

Ibu muda itu menghela napas. Ia lalu masuk ke dalam rumah, dan tak lama kemudian keluar dengan sebungkus nasi hangat. “Ini, Mbah. Sarapan dulu, biar ada tenaga.”

Mbah Niti menatap bungkusan itu lama. Matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Nak. Semoga Allah membalas kebaikanmu…”

Ia mengambil bungkusan itu dengan hati-hati, seolah memegang sesuatu yang sangat berharga. Namun, seperti sebelumnya, ia tak langsung memakannya. Ia menyimpannya di dalam kain kecil yang ia bawa.

“Nanti, kalau benar-benar lapar…” gumamnya pelan.

Siang bergulir dengan lambat. Langkah Mbah Niti semakin berat, tetapi ia tetap berjalan, menawarkan dagangannya dari satu rumah ke rumah lain. Beberapa orang membeli satu-dua bungkus, tetapi lebih banyak yang menolak dengan alasan sudah punya makanan di rumah.

Saat melintasi sebuah perempatan, langkahnya terhenti. Di sisi jalan, seorang bocah kecil duduk sendirian, menatap orang-orang yang berlalu lalang dengan mata kosong. Pakaiannya lusuh, wajahnya pucat.

Mbah Niti mendekat, menunduk sedikit. “Nak, kenapa duduk di sini sendirian?”

Bocah itu menoleh perlahan, ragu-ragu. “Ibu belum pulang kerja… Saya lapar, Mbah…”

Hati Mbah Niti mencelos. Ia meraba kantong kainnya, merasakan bungkusan nasi yang tadi ia dapatkan. Ia menghela napas panjang.

“Nih, Nak. Makan dulu, ya…” katanya sambil menyerahkan bungkusan nasi itu.

Bocah itu menatapnya dengan mata berbinar. “Buat saya, Mbah?”

Mbah Niti mengangguk. “Iya, Nak. Kamu butuh lebih dari Mbah…”

Bocah itu membuka bungkusan nasi itu dengan tangan gemetar, lalu menyuapinya dengan lahap. Mbah Niti hanya tersenyum, meski perutnya sendiri sudah keroncongan.

Langit mulai menggelap ketika ia akhirnya pulang. Rumah kecilnya masih sunyi, hanya suara angin yang berbisik di sela-sela dinding kayu yang mulai lapuk.

Ia duduk di dipannya, meraba kantongnya yang hampir kosong. Hanya ada beberapa lembar uang receh yang tak cukup untuk membeli makanan besok.

Di luar, suara adzan Maghrib berkumandang. Ia menutup matanya sejenak, membiarkan suaranya meresap dalam hatinya.

Lalu, dengan sisa tenaga yang ada, ia bangkit perlahan.

Besok, jika Allah masih memberinya kesempatan, ia akan kembali melangkah.

Mencoba lagi.

Seperti yang selalu ia lakukan.

spot_img

Timnas Indonesia Menang Tipis 1-0 atas Bahrain, Romeny Jadi Penentu

JAKARTAMU.COM | Timnas Indonesia mencatatkan kemenangan penting di matchday kedelapan Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia dengan skor tipis...

More Articles Like This