Oleh: Dwi Taufan Hidayat*
DI sebuah ruangan sederhana di sudut Tangerang, Nurhayati Subakat duduk di kursi kayu dengan secangkir teh hangat di tangannya. Udara pagi itu segar, ditemani suara burung yang bersahut-sahutan di luar jendela. Di hadapannya, ada seorang mahasiswi yang tampak gugup memegang buku catatan. Ia datang untuk wawancara tugas akhir, tetapi saat melihat Nurhayati langsung, kegugupannya semakin besar.
“Jangan tegang,” ujar Nurhayati sambil tersenyum hangat. “Santai saja. Anggap saya teman ngobrol.”
Mahasiswi itu—dengan nama Rani—berusaha menguasai diri. Ia mengangguk dan mulai bertanya tentang perjalanan hidup sosok perempuan inspiratif ini.
“Bu, bagaimana awalnya Ibu mendirikan Wardah? Apa yang memotivasi Ibu?”
Nurhayati menyesap teh sebelum menjawab, matanya menerawang seolah kembali ke masa lalu. “Awalnya, saya tidak pernah berpikir untuk membuat merek sebesar ini. Semuanya bermula dari keinginan sederhana: membuat sesuatu yang bermanfaat, sesuatu yang membawa keberkahan, bukan hanya untuk saya, tetapi untuk banyak orang.”
Ia menceritakan tentang masa-masa sulit di awal kariernya. Setelah meninggalkan pekerjaan di perusahaan kosmetik, ia memulai usaha kecil di rumahnya. Produk pertama yang ia buat adalah perawatan rambut bernama Putri, yang dijual ke salon-salon sekitar. Ketika bisnis itu mulai berkembang, musibah datang. Gudang kecilnya terbakar habis.
“Waktu itu saya sempat berpikir untuk menyerah,” ujarnya. “Tapi suami saya menguatkan saya. Ia bilang, ‘Kalau niatmu baik, jangan berhenti. Lanjutkan.’ Dan itu yang saya lakukan.”
Rani mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia mencatat setiap kata, tetapi yang paling ia rasakan adalah ketulusan dalam suara Nurhayati.
“Lalu, kenapa memilih kosmetik halal, Bu?” tanya Rani.
Nurhayati tersenyum lebar. “Itu panggilan hati. Saya sadar, sebagai muslimah, kita membutuhkan produk yang tidak hanya aman, tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai agama kita. Saat itu, belum ada kosmetik halal yang benar-benar terpercaya di Indonesia. Jadi, saya berpikir, kenapa tidak membuatnya sendiri?”
Ia melanjutkan cerita tentang bagaimana Wardah diluncurkan pada tahun 1995. Awalnya, pasar tidak mudah menerima ide kosmetik halal. Banyak yang meremehkan, menganggapnya hanya tren sesaat. Tapi Nurhayati percaya, jika ia konsisten dan terus berinovasi, produknya akan diterima.
“Tantangannya banyak sekali,” katanya. “Tapi kuncinya ada di lima hal: ketuhanan, kepedulian, kerendahan hati, ketangguhan, dan inovasi. Itu yang selalu saya pegang.”
Rani mengangguk, terinspirasi oleh kata-kata itu. Tapi ada satu hal yang mengusiknya. “Bu, dengan kesuksesan sebesar ini, kenapa Ibu tetap memilih hidup sederhana? Bukankah Ibu bisa membeli apa saja yang Ibu inginkan?”
Pertanyaan itu membuat Nurhayati tertawa kecil. “Apa yang sebenarnya kita butuhkan dalam hidup, Rani?” Ia balik bertanya. “Bagi saya, hidup sederhana itu bukan karena saya tidak mampu, tetapi karena saya tidak merasa perlu. Kebahagiaan tidak datang dari barang-barang mewah, tapi dari rasa syukur dan manfaat yang bisa kita beri kepada orang lain.”
Ia kemudian bercerita tentang program CSR perusahaannya, mulai dari donasi besar untuk riset di ITB hingga sumbangan selama pandemi COVID-19. Baginya, kekayaan adalah alat untuk kebaikan, bukan tujuan hidup.
“Bagi saya,” lanjutnya, “keberhasilan bukan diukur dari angka di rekening, tapi dari seberapa banyak orang yang bisa kita bantu. Itulah kekayaan yang sesungguhnya.”
Rani terdiam, merenungi kata-kata itu. Ia memandang Nurhayati dengan kekaguman yang semakin besar.
Wawancara itu berakhir dengan senyuman dan salam hangat. Saat Rani berpamitan, Nurhayati mengantarnya hingga ke pintu depan. Sebelum pergi, Rani berhenti sejenak.
“Bu, kalau boleh tahu, apa yang Ibu harapkan untuk generasi muda seperti saya?”
Nurhayati menatapnya dengan lembut. “Saya berharap kalian tidak hanya berpikir tentang apa yang bisa kalian dapatkan, tapi juga apa yang bisa kalian berikan. Jadilah generasi yang berkontribusi, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk masyarakat dan dunia.”
Rani mengangguk penuh semangat. “Terima kasih, Bu. Saya tidak akan melupakan nasihat ini.”
Setelah Rani pergi, Nurhayati kembali ke ruangannya. Ia duduk di kursinya yang sederhana, memandangi tumpukan dokumen di meja. Ia tahu, perjalanannya belum selesai. Masih banyak yang harus ia lakukan, masih banyak yang bisa ia bantu.
Di luar sana, dunia terus bergerak. Tetapi di rumah kecil itu, seorang perempuan dengan tekad besar tetap bekerja dengan tenang, menjadikan hidupnya sebagai ladang manfaat bagi banyak orang. Bukan kekayaan yang ia tinggalkan sebagai warisan, melainkan jejak kebaikan yang akan dikenang selamanya.
Dan begitulah, senyum Nurhayati Subakat—sederhana namun penuh makna—akan terus menginspirasi.
*Penasehat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang