Jumat, Maret 14, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Senyum Pak Tarman

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Di bawah cahaya mentari pagi, Pak Tarman melangkah dengan tenang di sepanjang trotoar kota. Seragam oranye lusuhnya berkibar tertiup angin, sementara tangannya menggenggam sapu lidi yang selalu setia menemani. Setiap hari, sejak fajar menyingsing, ia menyusuri jalanan, membersihkan sampah dan dedaunan yang berserakan.

Sebagian orang melewatinya tanpa menoleh, beberapa hanya sekilas memandang, dan ada juga yang mencibir, menganggap pekerjaannya sepele. Namun, Pak Tarman tidak pernah ambil hati. Ia tetap tersenyum, menyapa setiap orang yang melintas dengan ramah, seolah-olah dunia ini adalah tempat yang penuh kehangatan dan kebaikan.

Pak Tarman sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja sebagai penyapu jalan. Dahulu, ia memiliki warung kecil di pinggir jalan, menjual gorengan dan kopi untuk para pekerja yang berangkat pagi. Namun, satu per satu pelanggan mulai berkurang ketika warung-warung modern bermunculan. Hingga akhirnya, ia menutup warung itu dan memilih pekerjaan sebagai penyapu jalan—sebuah profesi yang sederhana, namun tetap ia jalani dengan penuh keikhlasan.

Meski penghasilannya pas-pasan, Pak Tarman tidak pernah mengeluh. Ia percaya bahwa kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak harta yang dimiliki, melainkan tentang seberapa besar manfaat yang bisa diberikan kepada orang lain.

Membantu Tanpa Pamrih

Suatu hari, ketika tengah menyapu di dekat halte bus, Pak Tarman melihat seorang ibu tua kesulitan membawa kantong belanjaannya yang berat. Tanpa ragu, ia segera menghampiri dan menawarkan bantuan.

“Ibu, biar saya bantu bawakan,” katanya dengan ramah.

Ibu itu awalnya ragu, tetapi melihat ketulusan di wajah Pak Tarman, ia mengangguk. Dengan langkah perlahan, mereka berjalan menuju rumah si ibu yang ternyata hanya beberapa blok dari halte. Setibanya di rumah, ibu itu mengucapkan terima kasih berkali-kali.

“Semoga rezeki Bapak dilipatgandakan,” ujar ibu itu dengan mata berkaca-kaca.

Pak Tarman hanya tersenyum. Ia tak mengharapkan imbalan. Baginya, melihat orang lain terbantu sudah cukup menjadi kebahagiaan.

Di lain hari, saat menyapu trotoar dekat sekolah dasar, ia melihat seorang bocah menangis karena mainannya jatuh ke dalam selokan. Orang-orang hanya lewat tanpa peduli. Tanpa pikir panjang, Pak Tarman mendekat dan menepuk bahu si bocah.

“Jangan menangis, Nak. Biar Bapak bantu ambilkan,” katanya lembut.

Dengan tongkat kecil yang ia temukan di sekitar, Pak Tarman berusaha mengait mainan itu hingga akhirnya berhasil. Mata si bocah yang semula basah kini berbinar penuh kegembiraan.

“Terima kasih, Pak!” seru bocah itu sambil tersenyum lebar.

Bagi Pak Tarman, kebahagiaan sederhana seperti ini lebih berharga daripada materi.

Kejujuran yang Mengubah Hidup

Suatu pagi, saat menyapu di dekat taman kota, Pak Tarman menemukan sebuah dompet tebal tergeletak di tepi jalan. Saat membukanya, ia menemukan kartu identitas dan sejumlah uang yang cukup banyak. Ia bisa saja menyimpannya diam-diam, tetapi hatinya menolak.

Dengan niat baik, Pak Tarman mencari alamat yang tertera pada kartu identitas di dalam dompet itu. Ia berjalan jauh, menyusuri gang-gang sempit hingga akhirnya tiba di sebuah rumah besar di kawasan perumahan elit.

Seorang pria muda membukakan pintu. Wajahnya terlihat lelah, seolah sedang dirundung masalah.

“Maaf, apakah ini dompet Anda?” Pak Tarman bertanya sambil menyerahkan dompet itu.

Pria itu terkejut. Tangannya gemetar saat menerima dompetnya kembali.

“Pak… saya pikir dompet ini sudah hilang selamanya,” katanya terharu. “Saya sangat membutuhkan uang di dalamnya untuk biaya rumah sakit anak saya.”

Pak Tarman hanya tersenyum. “Syukurlah kalau bisa kembali ke tangan yang berhak.”

Pria itu mengundang Pak Tarman masuk dan mengajaknya berbincang. Dari percakapan mereka, pria itu ternyata seorang pengusaha muda yang baru saja merintis bisnisnya. Ia terkesan dengan kejujuran dan ketulusan Pak Tarman.

Beberapa hari kemudian, pria itu datang menemui Pak Tarman di tempat kerjanya.

“Pak Tarman, saya ingin menawarkan pekerjaan di kantor saya,” ujarnya. “Kami membutuhkan petugas kebersihan, dan saya yakin Bapak adalah orang yang tepat.”

Pak Tarman terkejut. Tawaran itu jauh lebih baik daripada pekerjaannya sekarang—gaji lebih besar, jam kerja lebih ringan, dan lingkungan yang lebih nyaman. Namun, ia tetap ragu.

“Tapi saya sudah lama di jalanan, Pak… Saya tidak terbiasa dengan pekerjaan di kantor.”

Pria itu tersenyum. “Bapak sudah memberi contoh bahwa kebaikan itu berharga. Saya ingin memberi kesempatan kepada Bapak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.”

Setelah berpikir beberapa saat, Pak Tarman akhirnya menerima tawaran itu.

Kehidupan Baru yang Lebih Baik

Hari pertama bekerja di kantor, Pak Tarman merasa canggung. Ia terbiasa menyapu jalan, bukan mengurus kebersihan dalam ruangan ber-AC. Namun, ia tetap menjalankan tugasnya dengan tekun.

Para karyawan di sana awalnya memandangnya dengan sebelah mata. Namun, lambat laun mereka mulai menghormatinya. Ia selalu datang lebih awal, menyapa semua orang dengan senyum hangat, dan bekerja dengan hati.

Setiap kali ada yang kesulitan, Pak Tarman selalu siap membantu. Jika ada karyawan yang menjatuhkan barang, ia segera membantu mengambil. Jika ada yang terlihat murung, ia menawarkan teh hangat.

“Pak Tarman bukan sekadar petugas kebersihan, dia seperti penghibur di kantor ini,” ujar seorang karyawan suatu hari.

Dan memang, kebaikan Pak Tarman tidak hanya terasa dalam perbuatannya, tetapi juga dalam sikap dan ucapannya.

Beberapa bulan berlalu, dan kehidupan Pak Tarman berubah. Dengan gaji yang lebih baik, ia bisa memperbaiki rumah kecilnya yang dulu bocor saat hujan. Ia bisa membelikan pakaian baru untuk cucunya. Bahkan, ia mulai menyisihkan sebagian penghasilannya untuk berbagi kepada tetangga yang lebih membutuhkan.

Tapi satu hal yang tidak berubah—senyumnya. Senyum yang tetap hangat, tetap tulus, dan tetap menjadi sumber kebahagiaan bagi banyak orang.

Karena bagi Pak Tarman, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.

spot_img

Rumah, Tempat di Mana Hati Selalu Pulang

JAKARTAMU.COM | Dalam kehidupan yang penuh kesibukan, rumah adalah tempat terbaik untuk kembali. Bukan sekadar bangunan dengan dinding dan...

More Articles Like This