Sabtu, April 19, 2025
No menu items!

CERPEN: Sepeda Tua dan Jalan Pulang

Must Read

PAGI itu masih berembun ketika Pak Huri mengayuh sepeda tuanya menyusuri jalan sempit dan berbatu yang menghubungkan desanya dengan kota Salatiga. Rantainya berderit seperti keluhan yang ditahan, namun langkahnya tak pernah surut. Sadel yang sudah dibalut kain lusuh menahan punggung rapuhnya, sementara dua bilah bambu menyangga dudukan itu seperti dua tangan doa yang tak lelah menopang harapan.

Ia berangkat seperti biasa: pukul 06.30, mengenakan kaus lusuh dan celana kerja penuh tambalan. Tak ada keluhan dari mulutnya, hanya gumam dzikir dan sesekali sapaan hangat kepada tetangga yang ia lewati.

Orang-orang memanggilnya “Pak Huri si Sepeda Tua.” Tak banyak yang tahu namanya, tapi hampir semua mengenalnya. Sosok renta yang tak pernah absen dari pekerjaan kuli bangunan di kota, meski harus menempuh perjalanan 10 kilometer dengan sepeda yang bahkan tak layak disebut kendaraan.

Di tempat kerja, tak ada yang menyaingi kerajinannya. Ia memang lambat, tapi teliti. Ia memang ringkih, tapi jujur. Mandor bangunan pun segan menegur—karena mereka tahu, Pak Huri bekerja bukan untuk kaya, tapi untuk tetap hidup. Satu-satunya kebahagiaannya adalah saat pulang bisa membawa seikat sayur dan sekantong beras untuk istrinya.

Setiap sore, setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia kembali mengayuh sepeda tua dengan tenaga sisa. Langit mulai mendung, jalanan licin, dan angin berembus lebih kencang dari biasanya. Ia sempat berhenti di warung kecil, membeli sebotol air mineral, lalu duduk di emperan sambil mengusap peluh. Seorang pemuda dengan motor besar melintas, menoleh, lalu berhenti.

“Pak… mau saya bonceng sampai desa?” tawarnya ramah.

Pak Huri tersenyum tipis. “Terima kasih, Nak. Tapi biar saya pelan-pelan saja. Sepeda ini sudah biasa diajak pulang.”

Pemuda itu mengangguk, lalu melaju kembali. Dalam hati, ia mengagumi kegigihan lelaki tua itu.

Namun malam itu, Pak Huri tak sampai rumah pada pukul 17.30 seperti biasa.

Istrinya gelisah. Tetangga mulai berdatangan, membantu mencari. Mereka menyisir sepanjang jalur Salatiga—desa, membawa senter dan doa. Hingga akhirnya, di tikungan menurun yang licin, mereka menemukan sepeda tua itu tergeletak. Rodanya bengkok. Rantainya putus.

Tak jauh dari situ, tubuh renta Pak Huri bersandar pada pohon jati, matanya terpejam, napasnya telah lama pergi.

Tak ada luka serius, hanya kelelahan yang memanggil ajal dengan lembut. Di saku bajunya, ada selembar kertas kecil bertuliskan tangan gemetar:

“Maafkan aku tak bisa lagi mengayuh pulang. Tapi jangan khawatir, aku sudah menitipkan beras dan sayur di warung Mak Uti. Untuk makan malam kita.”

Keesokan paginya, desa itu dikejutkan dengan kehadiran truk besar bertuliskan nama yayasan sosial. Beberapa relawan turun, membawa alat bangunan dan material. Di antara mereka, pemuda bermotor besar itu berdiri paling depan.

Ia berdiri di depan rumah Pak Huri, menyalami sang istri yang kini janda. “Bu, saya Fajar, relawan kemanusiaan. Kami di sini ingin membangun ulang rumah Ibu… atas nama beliau.”

“Beliau…?” tanya sang istri lirih.

“Pak Huri… ayah kandung saya.”

Semua terdiam.

Tak seorang pun tahu, ternyata sepeda tua yang selama ini membawa Pak Huri bekerja adalah saksi diam perjuangan seorang ayah yang tak ingin anaknya tahu bahwa ayahnya bekerja sebagai kuli bangunan demi menyekolahkan anaknya hingga sukses menjadi aktivis dan insinyur.

Pak Huri tak pernah mengabari Fajar. Ia ingin sang anak hidup tanpa beban masa lalu. Ia hanya menitipkan kebanggaannya pada sepeda tua yang saban hari ia kayuh… menuju takdir yang ia rahasiakan sampai akhir.

Fajar berdiri lama di depan sepeda tua itu yang kini diletakkan rapi di beranda rumah. Ia mengelus sadel yang diganjal bambu, menatap rantai berkarat yang dulu menjadi saksi ayahnya melawan batas usia dan tenaga.

“Kenapa Ayah tak pernah bilang?” bisiknya. Tak ada jawaban, hanya desir angin yang menggoyang daun jati, seakan menenangkan hatinya.

Hari itu, Fajar memutuskan untuk tak menjual sepeda tua itu. Ia membersihkannya, menyemir bagian logamnya, bahkan mengganti sadel bambu dengan yang lebih layak—tanpa mengubah bentuk aslinya. Sepeda itu akan tetap ada di sana. Bukan hanya sebagai kenangan, tapi sebagai monumen kecil perjuangan dan cinta yang tak pernah meminta balasan.

Dan sejak hari itu pula, setiap kali ia bertugas sebagai relawan kemanusiaan ke pelosok negeri, Fajar selalu membuka dengan satu kisah: “Saya anak dari seorang kuli bangunan yang mengayuh sepeda tua selama 20 tahun tanpa pernah mengeluh, demi satu hal: agar saya tak perlu mengayuh takdir seberat beliau.”

Dugaan Kekerasan terhadap Pemain Oriental Circus Indonesia, Kemenkumham Turun Tangan

JAKARTAMU.COM | Sejumlah mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkapkan pengalaman pahit mereka selama bekerja di sirkus tersebut, termasuk...
spot_img

More Articles Like This