Langit malam itu memayungi masjid kecil di ujung gang dengan sinar rembulan yang setengah malu. Haris, lelaki separuh umur dengan sisa tatapan tajam di matanya, terduduk di pojok masjid. Sujudnya terasa lama, seolah-olah ingin menambal setiap lubang di hatinya yang pernah bolong karena dosa. Tangannya gemetar saat meraih sajadah. Ia bukan orang alim, bukan pula ahli ibadah. Ia hanya seorang pendosa yang baru saja menemukan pintu yang tak pernah benar-benar tertutup.
Di matanya yang sembab, ia mengulang-ulang satu kalimat dalam hati: “Ya Allah… aku pulang.”
Malam itu, Haris duduk lebih lama di saf belakang. Lampu masjid sudah diredupkan. Tak ada lagi orang lain, hanya dirinya dan suara hujan yang menetes di luar. Ia membuka mushaf kecil yang ia temukan di rak kayu, lembarannya sudah menguning. Jari-jarinya gemetar saat membolak-balik halaman, hingga pandangannya tertumbuk pada ayat yang seolah-olah ditulis untuknya:
“وَمَن يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَّحِيمًا”
“Dan barang siapa mengerjakan kejahatan atau menzalimi dirinya, kemudian memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapati Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 110)
Ia mengecup halaman mushaf itu dengan bibir bergetar. Dulu, tangan ini memukul, mencuri, dan mendorong tubuh ibunya dalam amarah. Kini, tangan ini menggenggam Al-Qur’an, dan tak ingin melepaskannya.
Pagi harinya, Haris menyapu halaman masjid tanpa diminta. Seorang marbot tua mendekat, hendak melarang karena tak kenal siapa dia. Tapi saat menatap wajah Haris yang menunduk khusyuk, marbot itu hanya tersenyum dan melangkah mundur. Di wajah Haris, ia membaca lembaran kisah yang belum usai. Kisah luka yang tengah disembuhkan oleh cahaya taubat.
Tak semua orang menerima Haris dengan tangan terbuka. Ada yang mencibir, mengingat masa lalunya yang kelam, menyebutnya “penipu tobat”. Tapi Haris tak membalas. Ia tahu, taubat bukan untuk dilihat manusia. Taubat adalah urusan hati dan langit. Yang penting, ia tak kembali. Yang penting, ia tetap melangkah. Meskipun perlahan. Meskipun tertatih.
“إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ”
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dan cinta dari Tuhan itulah yang ia kejar.
Suatu sore, anak-anak kecil berlari-larian di depan masjid. Salah satu dari mereka menjatuhkan buku iqra’ di genangan air. Haris segera mengambil dan membersihkannya. Bocah itu menatap Haris dengan rasa bersalah.
“Maaf, Bang…”
“Tak apa,” ujar Haris, tersenyum, “Buku ini lebih mulia dari masa laluku.”
Bocah itu tidak mengerti, tapi ia ikut tersenyum. Dan di senyuman itu, Haris tahu, ia tidak hidup sia-sia.
Kini, Haris tak pernah bertanya apakah Allah telah mengampuni semua dosanya. Ia hanya berusaha terus menjadi jawaban dari doanya sendiri. Ia tidak mencari penghargaan. Ia hanya ingin diterima. Seperti tanah yang tak lagi menolak hujan, seperti malam yang tak lagi membenci fajar.
Dan di suatu malam lain, Haris memandangi langit. Bintang-bintang bertaburan seperti doa yang belum sempat ia ucapkan. Ia menarik napas, memeluk dirinya sendiri, lalu berbisik:
“Kalau hari ini adalah akhir… semoga Engkau menjemputku saat aku sedang dalam perjalanan pulang kepada-Mu.”