Oleh: Sugiyati, S.Pd | Guru SMA Negeri 1 Ambarawa Kabupaten Semarang
PAGI itu, mentari bersinar malu-malu di balik gumpalan awan kelabu. Jalanan sepi, hanya suara burung gereja sesekali terdengar dari kabel listrik di tepi jalan.
Arman mengayuh sepeda tuanya pelan, melintasi deretan rumah yang masih terlelap dalam dinginnya udara pagi. Di keranjang depan sepedanya, gulungan koran berisi kabar dunia menanti untuk disampaikan.
Saat melewati sebuah rumah tua di ujung jalan, Arman menghela napas panjang. Rumah itu selalu terasa berbeda. Bukannya menyerahkan koran lewat lubang kotak surat, ia harus mengetuk pintu atau membunyikan bel. Sebuah permintaan yang awalnya terasa merepotkan, namun kini menjadi rutinitas yang mulai ia terima.
Ia turun dari sepeda, merapikan jaketnya, lalu melangkah menuju pintu kayu yang terlihat mulai usang. Ia mengetuk pelan. “Pak Hasan, ini saya, korannya sudah datang!” katanya dengan suara yang cukup keras.
Butuh beberapa detik sebelum terdengar suara langkah pelan dari dalam. Bunyi seretan sandal menyertai gerak langkah itu. Pintu terbuka, menampilkan wajah Pak Hasan, lelaki tua dengan rambut memutih yang tampak lusuh namun selalu ramah. Senyumnya muncul samar, seperti sinar matahari yang berusaha menembus kabut.
“Selamat pagi, Nak Arman,” sapanya dengan suara parau.
“Selamat pagi, Pak Hasan,” jawab Arman sambil menyerahkan koran. “Pak, kenapa lubang kotak suratnya masih ditutup? Bukankah lebih praktis kalau saya langsung memasukkan korannya ke sana?”
Pak Hasan mengusap tengkuknya, ragu sejenak sebelum menjawab, “Saya sengaja menutupnya, Nak.”
Arman memiringkan kepala, bingung. “Kenapa, Pak?”
Pak Hasan menatapnya sejenak, lalu berkata dengan pelan, “Nak, saya ingin mendengar ketukan pintu. Kalau kamu datang, ketuklah atau bunyikan bel. Saya ingin tahu bahwa ada seseorang yang mengetuk pintu saya.”
Arman mengerutkan kening. “Tapi, Pak, itu akan memakan waktu saya lebih lama untuk mengantarkan koran ke pelanggan lain.”
Pak Hasan tersenyum kecil, meski jelas ada kesedihan di baliknya. “Tidak apa-apa. Saya di rumah setiap hari. Kalau perlu, saya tambahkan lima ratus ribu untuk penggantinya. Tapi, tolong, Nak, kalau suatu hari kamu mengetuk pintu ini dan tidak ada jawaban, hubungi tetangga. Atau hubungi anak saya. Ini nomor teleponnya.”
Arman memandanginya dengan campuran bingung dan terharu. “Kenapa, Pak?”
Pak Hasan menghela napas, menatap kosong ke arah jalanan yang sepi. Suaranya mulai bergetar. “Istri saya sudah tiada. Anak saya jauh di kota lain. Saya tinggal sendirian di sini, Nak. Saya tidak tahu kapan waktu saya akan tiba.”
Kalimat itu membuat dada Arman terasa sesak. Ia melihat mata Pak Hasan mulai berkaca-kaca, bibirnya gemetar menahan tangis yang hampir tumpah. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar menyadari betapa sunyinya kehidupan lelaki tua itu.
“Bapak berlangganan koran ini untuk dibaca setiap hari?” tanya Arman, mencoba mencari celah untuk meringankan suasana.
Pak Hasan tersenyum pahit. “Tidak, Nak. Saya tidak pernah membaca koran.”
Arman mengerutkan kening, semakin bingung. “Lalu kenapa, Pak?”
Pak Hasan menatapnya dengan mata yang mulai basah. “Saya berlangganan suara ketukan.”
Jawaban itu membuat Arman terpaku. Seakan angin pagi yang dingin tadi berubah menjadi hantaman dingin di hatinya. Ketukan pintu yang ia anggap sepele ternyata menjadi bagian penting dari kehidupan seseorang.
Dengan suara pelan dan tangan yang gemetar, Pak Hasan menyerahkan sebuah kertas kecil. “Ini nomor anak saya, Nak. Tolong jaga pesan saya ini. Jika suatu hari kamu mengetuk pintu saya dan tidak ada jawaban, hubungi dia. Jangan biarkan saya sendirian terlalu lama.”
Hari itu, Arman meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang berat. Kata-kata Pak Hasan terus terngiang di benaknya. Ia tak pernah menyangka bahwa suara ketukan pintu, yang selama ini ia anggap remeh, bisa menjadi tanda kehidupan bagi seseorang.
Minggu demi minggu berlalu, Arman tetap menjalankan rutinitasnya. Setiap pagi ia mengetuk pintu Pak Hasan, menyerahkan koran sambil menyempatkan berbicara meski hanya sejenak. Namun, di balik percakapan singkat itu, ia tahu momen itu adalah nyala kecil di tengah sunyinya dunia Pak Hasan.
Hingga suatu pagi, saat ia mengetuk pintu seperti biasa, tidak ada jawaban. Arman mencoba lagi, lebih keras, tapi tetap sunyi. Hatinya mulai diliputi kecemasan. Ia segera mengingat pesan Pak Hasan dan mengetuk pintu tetangga terdekat. Bersama-sama, mereka masuk ke dalam rumah itu.
Di ruang tamu, Pak Hasan terbaring di sofa dengan wajah tenang. Matanya terpejam, seperti seseorang yang tengah menikmati tidur nyenyaknya. Namun keheningan yang menyelimuti ruangan itu berkata lain.
Tetangga segera menghubungi anak Pak Hasan. Sementara itu, Arman duduk diam di sudut ruangan, memandangi koran yang masih tergulung di tangannya. Hari itu, ia kehilangan sesuatu yang tak pernah ia sadari begitu berarti.
Beberapa hari kemudian, anak Pak Hasan datang menghampiri Arman. Ia menyerahkan sebuah surat kecil. “Ini pesan terakhir dari ayah saya untukmu,” katanya.
Arman membuka surat itu dengan hati-hati. Tulisan tangan Pak Hasan yang rapuh menyapa matanya.
“Nak Arman, terima kasih telah mengetuk pintu saya setiap pagi. Suara itu adalah pengingat bahwa saya tidak sendirian di dunia ini. Saya berdoa agar hidupmu selalu penuh berkah. Jangan pernah anggap remeh suara ketukan kecil, karena bisa jadi itu adalah tanda kehidupan bagi seseorang.”
Air mata Arman jatuh perlahan. Ia tak pernah menyangka ketukan pintu sederhana yang ia lakukan selama ini memiliki arti yang begitu mendalam.
Sejak saat itu, Arman selalu mengingat pesan Pak Hasan. Ketukan pintu, ucapan selamat pagi, atau sekadar pesan singkat bukanlah hal kecil. Itu adalah jembatan kecil yang menjaga manusia tetap terhubung, menghapus kesunyian yang kerap menghantui hidup mereka. (*)