Jumat, Januari 24, 2025
No menu items!

Cerpen: Subuh di Kauman

Must Read

FAJAR baru saja merekah di langit Kauman, sebuah kampung yang menjadi denyut nadi kehidupan religius masyarakat kota itu. Masjid Jamik berdiri kokoh di tengah komunitas ini, menyatukan tradisi dan modernitas yang berjalan seiringan.

Suara adzan subuh menggema melalui speaker canggih yang terhubung dengan sistem internet masjid, mengingatkan warga untuk segera beribadah.

Kauman adalah kampung yang unik. Di satu sisi, kehidupan religiusnya sangat kental: masjid penuh dengan jamaah, tadarus menggema setiap malam, dan kajian agama menjadi acara rutin. Di sisi lain, teknologi modern telah merasuk dalam keseharian mereka.

Hampir semua rumah memiliki perangkat canggih, dari smart home hingga sistem keamanan berbasis internet. Warga bahkan memiliki grup WhatsApp “Kauman Bersatu” untuk saling berbagi informasi.

Pagi itu, Pak Rahmat, tokoh masyarakat yang dituakan, berdiri di serambi masjid. Usianya sudah lebih dari 60 tahun, tapi pikirannya masih tajam. Ia selalu menyapa jamaah yang datang, memberikan senyuman hangat yang menguatkan. Namun, pagi ini ia terlihat murung. Ada isu yang sedang memanas di Kauman.

Beberapa minggu terakhir, warga terpecah karena keputusan tentang pemasangan layar digital raksasa di pelataran Masjid Jamik. Layar itu dimaksudkan untuk menampilkan jadwal shalat, pengumuman kegiatan, dan kutipan ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, tidak semua setuju.

Kelompok Pak Rahmat mendukung ide ini. Mereka percaya bahwa layar digital akan menarik minat generasi muda untuk lebih sering datang ke masjid. Tapi, kelompok Bu Nisa, yang dikenal sebagai penggerak majelis taklim perempuan, merasa pemasangan layar itu tidak sesuai dengan tradisi kampung yang sederhana.

“Masjid itu tempat ibadah, bukan tempat pamer teknologi,” tegas Bu Nisa dalam pertemuan warga.

Konflik ini membuat suasana di Kauman menjadi tegang. Grup WhatsApp “Kauman Bersatu” yang biasanya ramai dengan obrolan ringan kini penuh dengan perdebatan sengit. Bahkan, Pak Rahmat dan Bu Nisa, yang selama ini dikenal akrab, terlihat saling menghindar.

Di tengah suasana panas, seorang pemuda bernama Ilham mencoba menengahi. Ilham adalah anak muda yang tumbuh di Kauman dan kini bekerja sebagai pengembang aplikasi religi. “Kenapa kita tidak memanfaatkan teknologi ini untuk memperkuat ibadah kita?” kata Ilham saat rapat warga yang diadakan di aula masjid.

Ia mengusulkan agar layar digital tersebut tidak hanya menampilkan informasi, tetapi juga mengedukasi warga tentang zikir dan doa. “Misalnya, kita bisa menampilkan zikir pagi seperti ‘subhanallahi wabihamdihi’ dan mendorong jamaah untuk membaca bersama setelah shalat subuh,” tambahnya.

Saran Ilham cukup masuk akal, tetapi masih ada penolakan. “Ini bukan soal teknologi, Ilham,” kata Bu Nisa tegas. “Ini soal menjaga identitas Kauman yang religius dan tidak berlebihan.”

Di tengah polemik itu, sebuah peristiwa mengagetkan terjadi. Pak Rahmat tiba-tiba jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Seluruh warga, termasuk Bu Nisa, terkejut. Selama ini, Pak Rahmat adalah orang yang selalu menguatkan orang lain, tapi kini ia yang membutuhkan doa dan dukungan.

Di ruang tunggu rumah sakit, Bu Nisa termenung. Ia teringat wajah Pak Rahmat saat menyambut jamaah di masjid setiap pagi. Rasa bersalah mulai menyelinap. Apakah perdebatan ini benar-benar penting? Bukankah menjaga silaturahmi lebih utama?

Sementara itu, di grup WhatsApp, Ilham mengirimkan pesan:
“Mari kita zikir bersama untuk kesembuhan Pak Rahmat. Bacalah ‘subhanallahi wabihamdihi’ seratus kali. Rasulullah bersabda, siapa yang membaca zikir ini, dosanya akan dihapus meski sebanyak buih di lautan.”

Pesan itu langsung direspons oleh banyak warga. Mereka mengirimkan tangkapan layar jumlah zikir yang telah mereka baca. Bahkan, Bu Nisa ikut berpartisipasi dan meminta semua anggota majelis taklim untuk melakukan hal yang sama.

Beberapa hari kemudian, Pak Rahmat kembali ke Kauman setelah kondisinya membaik. Ia disambut dengan hangat oleh warga di serambi masjid. Air mata mengalir di pipinya saat melihat Bu Nisa mendekatinya dengan senyum tulus, lalu menyampaikan doa untuk kesehatan dan keberkahan hidupnya.

“Kita tidak boleh lagi terpecah hanya karena perbedaan pendapat,” kata Pak Rahmat dengan suara lemah. “Kita harus ingat, segala sesuatu yang kita lakukan di dunia ini harus kembali kepada Allah. Apa gunanya teknologi atau tradisi jika itu malah memisahkan kita?”

Akhirnya, warga sepakat untuk memasang layar digital dengan beberapa penyesuaian. Layar itu digunakan untuk menampilkan zikir, doa, dan jadwal masjid tanpa mengurangi kesederhanaan pelataran. Tradisi dan teknologi akhirnya berdampingan, seperti Kauman yang selalu berjalan dengan keseimbangan.

Pagi itu, seperti biasa, Pak Rahmat berdiri di serambi masjid, menyapa jamaah yang datang untuk shalat subuh. Layar digital di pelataran menampilkan zikir pagi:
“Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil ‘azim.”

Di sudut lain, Bu Nisa duduk bersama kelompoknya, memimpin tadarus Al-Qur’an. Ilham terlihat sibuk mengutak-atik sistem layar masjid untuk menambahkan fitur baru. Kehidupan Kauman kembali damai, menyatu dalam harmoni antara tradisi dan modernitas.

Langit Kauman perlahan terang. Suara zikir terdengar menyatu dengan riuh burung-burung yang baru saja terbangun. Kehidupan berlanjut, membawa pelajaran berharga bagi semua warga: bahwa perbedaan bisa dirajut menjadi kekuatan, selama hati tetap bersandar kepada Allah.

Dwi Taufan Hidayat, Penasihat Takmir Mushala Al-Ikhlas Bergas Kidul Kabupaten Semarang

Makna Mendalam Sayyidul Istighfar: Jalan Tobat yang Agung

JAKARTAMU.COM | Sayyidul Istighfar adalah doa yang mengandung makna mendalam tentang tauhid, penghambaan, dan pengakuan dosa. Dalam doa ini,...

More Articles Like This