“Selamat pagi, para penumpang yang terhormat. Saya Kapten Bima, dan bersama kopilot saya, Anton, kami akan membawa Anda menuju Bandara Soekarno-Hatta. Saat ini, kami masih menunggu izin terbang karena kondisi cuaca yang kurang mendukung. Kami mohon kesabaran Anda dan akan segera memberikan informasi lebih lanjut. Terima kasih.”
Aku mematikan mikrofon dan menghela napas panjang. Wajah-wajah penumpang yang tadi sempat kulihat sebelum naik ke kokpit jelas menunjukkan ketidaksabaran. Wajar saja, hari ini puncak arus mudik. Semua ingin segera sampai di kampung halaman, berkumpul dengan keluarga, mencicipi masakan ibu, dan merasakan hangatnya nostalgia di tanah kelahiran.
Namun, aku tak bisa memaksa alam untuk bersahabat. Awan cumulonimbus mengancam di jalur penerbangan kami. Pendaratan darurat di tengah rute bukan pilihan yang menyenangkan.
Anton menepuk bahuku. “Santai, Kap. Ini bukan pertama kalinya kita menghadapi delay karena cuaca.”
Aku hanya mengangguk. Di luar, petugas bandara sibuk berlalu-lalang, memastikan prosedur keselamatan tetap terjaga. Aku memandang layar radar di depanku. Awan-awan pekat masih bercokol di rute yang akan kami lewati.
Ponselku bergetar di saku seragam. Sebuah pesan dari putriku, Zahra.
“Ayah, pulangnya jadi malam ya?”
Aku terdiam. Aku janji akan pulang hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, tugas tetaplah tugas. Aku tak bisa seenaknya meninggalkan tanggung jawab.
“Kamu harus kasih tahu Zahra kalau kemungkinan besar kamu telat sampai rumah,” kata Anton seolah bisa membaca pikiranku.
Aku mengetik cepat. “Ayah usahakan secepatnya, ya, Nak.”
Sebuah suara dari radio bandara membuat kami menegang. “Bima-207, informasi terbaru, cuaca mulai membaik. Tunggu instruksi lebih lanjut.”
Aku dan Anton saling pandang. Ada harapan. Kami pun memeriksa ulang semua indikator di kokpit. Pesawat siap. Kami hanya butuh lampu hijau.
Beberapa menit kemudian, tower bandara akhirnya memberi izin. “Bima-207, Anda diperbolehkan lepas landas. Selamat bertugas.”
Aku segera menyalakan mikrofon. “Para penumpang yang terhormat, kami telah mendapatkan izin untuk terbang. Harap kenakan sabuk pengaman Anda. Selamat menikmati perjalanan.”
Pesawat mulai bergerak menuju landasan. Mesin meraung, kecepatannya meningkat, lalu dengan mulus kami terangkat ke udara.
Di atas ketinggian 30.000 kaki, aku merasa sedikit lega. Turbulensi masih ada, tapi dapat kami tangani. Aku menyerahkan kendali pada Anton sejenak dan memandang keluar jendela. Di kejauhan, kilatan petir masih tampak samar.
Tiba-tiba, suara peringatan berbunyi. Indikator tekanan bahan bakar menyala merah.
Anton segera mengecek panel. “Kapten, ada indikasi kebocoran bahan bakar.”
Darahku berdesir. Ini bukan hal yang bisa diabaikan. Jika bahan bakar terus berkurang tanpa kendali, kita bisa kehabisan daya sebelum mencapai tujuan.
Aku meraih mikrofon. “Menara kontrol, ini Bima-207. Kami mengalami kebocoran bahan bakar. Mohon instruksi untuk pendaratan darurat.”
Suasana di kokpit mendadak tegang. Kami harus membuat keputusan cepat. Aku melirik Anton. Dia mengangguk.
“Kita mendarat di bandara terdekat,” ucapku tegas.
Sementara itu, di kabin penumpang, kru mulai menenangkan para penumpang. Beberapa tampak panik, tapi aku tahu mereka harus tetap tenang agar proses pendaratan darurat berjalan lancar.
Menara kontrol memberi izin untuk mendarat di Bandara Juanda, Surabaya. Kami menurunkan ketinggian secara perlahan, memastikan kecepatan dan sudut pendaratan tepat.
Pesawat menyentuh landasan dengan sedikit guncangan. Rem darurat bekerja dengan baik. Perlahan pesawat berhenti di ujung landasan.
Aku dan Anton saling menghela napas lega.
Setelah semua penumpang dievakuasi, tim teknisi segera memeriksa pesawat. Aku dan Anton menuju ruang istirahat pilot. Baru saja aku ingin melepas topi, seseorang mengetuk pintu.
Seorang teknisi masuk, wajahnya sedikit tegang. “Kapten Bima, ada yang aneh dengan pesawat Anda.”
“Apa maksudnya?” tanyaku heran.
“Kami tidak menemukan kebocoran bahan bakar sama sekali.”
Aku mengerutkan kening. “Tidak mungkin. Indikator di kokpit menunjukkan adanya masalah.”
Teknisi itu menggeleng. “Kami periksa semua sistem. Tidak ada tanda-tanda kebocoran. Tangki bahan bakar pun masih utuh.”
Aku dan Anton berpandangan, bingung. Apakah ada kesalahan pada sistem indikator? Atau ini sesuatu yang lebih dari sekadar kesalahan teknis?
Ponselku bergetar lagi. Pesan dari Zahra.
“Ayah, tadi mimpi buruk. Ada pesawat yang hampir jatuh. Ayah baik-baik saja, kan?”
Aku merasakan bulu kudukku berdiri.