Oleh: Dwi Taufan Hidayat, Sekretaris Korp Alumni PW IPM/IRM Jawa Tengah
Senja baru saja menyapa ketika seluruh anggota OSIS SMA Nusa Bangsa berkumpul di halaman sekolah. Mereka bersiap untuk kegiatan kemah survival yang dipimpin langsung oleh Kepala Bidang Pengembangan Generasi (BPG), Pak Rahman. Dengan jas pembina OSIS berwarna biru tua dan topi lebar, Pak Rahman berdiri di tengah lingkaran siswa, menyampaikan briefing dengan penuh semangat.
“Anak-anak, kegiatan ini dirancang bukan hanya untuk melatih fisik, tetapi juga mental kalian. Tantangan di depan tidak mudah, tapi percayalah, kalian akan pulang dengan pelajaran berharga. Ingat, hidup ini penuh ketidakpastian. Kita harus kreatif dan tangguh untuk bertahan.”
Semua siswa mengangguk, meski sebagian di antaranya masih terlihat ragu. Salah satunya adalah Rania, seorang sekretaris OSIS yang dikenal cermat namun tidak terlalu menyukai hal-hal yang tidak biasa.
Setibanya di lokasi kemah, Pak Rahman langsung memberikan tantangan pertama: menangkap belalang di padang rumput luas di tepi hutan. Dengan suara lantang, ia berkata, “Belalang adalah sumber protein halal yang sering diabaikan. Hari ini, kalian akan belajar memanfaatkan apa yang alam sediakan. Tugas kalian adalah menangkap belalang sebanyak-banyaknya.”
Sontak, para siswa bereaksi. Ada yang antusias, ada pula yang langsung menunjukkan ekspresi jijik.
“Pak, serius? Kita disuruh makan belalang?” tanya Dani, seorang bendahara OSIS yang terkenal suka bercanda.
Pak Rahman tersenyum. “Tentu saja. Dalam Islam, belalang itu halal. Selain itu, ini melatih kalian untuk berpikir kreatif dalam situasi darurat. Kalau kalian terjebak di tempat tanpa makanan, belalang bisa jadi penyelamat.”
Rania, yang berdiri di sebelah Dani, berbisik, “Aku sih mending makan bekal tempe mendoan yang aku bawa.”
Namun, tugas tetap berjalan. Dengan jaring kecil di tangan, para siswa berlarian di padang rumput, mencoba menangkap belalang yang melompat-lompat. Suara tawa, teriakan, dan keluhan bercampur menjadi satu.
Saat malam tiba, belalang-belalang hasil tangkapan dikumpulkan di atas meja. Pak Rahman mengajari para siswa cara memasak belalang dengan sederhana. “Pertama, kita bersihkan. Lalu beri bumbu secukupnya, dan panggang di atas bara api. Rasanya seperti udang panggang, lho,” katanya dengan nada meyakinkan.
Dani menjadi orang pertama yang mencoba. Dengan penuh percaya diri, ia mengambil satu tusuk belalang panggang dan menggigitnya. “Wow, enak juga, Pak! Serius, ini kayak makan udang bakar.”
Namun, tidak semua siswa seantusias Dani. Beberapa memilih diam-diam memakan bekal mereka sendiri, termasuk Rania. Dia melirik belalang panggang di tangannya dengan penuh keraguan.
Pak Rahman memperhatikan sikap mereka. “Ingat, anak-anak, inti dari kegiatan ini bukan hanya soal makan belalang. Ini soal keberanian mencoba hal baru dan keluar dari zona nyaman. Di dunia ini, hanya orang-orang yang berani berpikir berbeda yang bisa bertahan.”
Setelah makan malam, para siswa berkumpul di sekitar api unggun. Pak Rahman membuka sesi diskusi dengan pertanyaan reflektif. “Apa yang kalian rasakan hari ini?”
Dani, yang tampak puas, menjawab, “Hari ini seru, Pak. Saya belajar bahwa makanan itu tidak selalu berasal dari ayam atau sapi. Belalang ternyata bisa jadi alternatif yang baik.”
Rania mengangkat tangan. “Pak, saya jujur masih merasa aneh. Apa semua ide kreatif itu selalu berhasil? Bagaimana kita tahu batas antara ide yang kreatif dan ide yang… aneh?”
Pak Rahman tersenyum. “Pertanyaan bagus, Rania. Kreativitas memang sering dianggap aneh di awal. Tapi justru dari keberanian mencoba hal-hal baru, kita bisa menemukan solusi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kuncinya adalah keberanian dan ketekunan.”
Ia melanjutkan, “Lihat saja para penemu besar. Ide-ide mereka sering ditolak di awal, tapi kemudian mengubah dunia. Jangan takut mencoba, tapi tetap gunakan akal sehat dan nilai-nilai yang kalian pegang.”
Langit malam penuh bintang menjadi saksi atas perenungan para siswa. Rania, yang awalnya skeptis, mulai memahami maksud dari kegiatan ini. “Mungkin benar kata Pak Rahman,” pikirnya. “Hidup sering kali memberikan tantangan dalam bentuk yang tidak kita harapkan. Dan hanya mereka yang berani berpikir kreatif yang bisa bertahan.”
Ketika kemah selesai keesokan harinya, semua siswa pulang dengan pengalaman yang tak terlupakan. Rania, yang sempat menolak ide makan belalang, kini berkata kepada Dani, “Aku masih nggak suka belalang, tapi aku paham maksudnya. Kita nggak boleh takut dengan hal baru. Kadang, sesuatu yang terlihat aneh justru menjadi pelajaran terbaik.”
Dani tersenyum. “Nah, itu baru sekretaris OSIS yang tangguh!”
Pak Rahman berdiri di gerbang sekolah, melambaikan tangan saat para siswa masuk ke bus. Dalam hatinya, ia berbisik, “Mendidik generasi muda itu seperti menanam pohon. Kita tak pernah tahu seberapa tinggi mereka akan tumbuh. Tapi tugas kita adalah memastikan mereka punya akar yang kuat untuk menghadapi badai.”
Dan di balik semua tantangan yang mereka hadapi, sebuah pelajaran sederhana tapi mendalam tertanam: Hidup bukan tentang kenyamanan, tapi tentang keberanian mencoba dan bertahan. (*)