Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Lautan manusia di pusat perbelanjaan Jakarta sore itu tak menyurutkan langkahku untuk menemuinya. Nayla, gadis yang selama dua bulan terakhir mencuri perhatianku. Ia belum genap 20, masih labil, masih bermain tarik-ulur dengan perasaannya sendiri. Aku, Darian, 32 tahun, sudah cukup kenyang menghadapi permainan seperti ini.
PDKT dengan Nayla terasa seperti naik roller coaster yang tak kunjung sampai di titik akhir. Kadang manis, seringnya membingungkan. Hari ini dia penuh perhatian, besoknya menghilang tanpa jejak. Aku sudah siap menerima kenyataan bahwa dia mungkin hanya butuh hiburan, bukan hubungan. Tapi entah mengapa aku tetap bertahan, seolah masih berharap ada celah yang bisa kutembus.
Petang itu, kami berjanji bertemu di sebuah kafe. Seperti biasa, Nayla datang terlambat, kali ini dengan alasan yang lebih mengejutkan.
“Sorry, aku bareng Mama. Aku lupa bilang, Mama lagi di sekitar sini, jadi sekalian ngajak.”
Aku menoleh ke belakang Nayla. Seorang perempuan berusia awal 40-an melangkah mendekat, anggun dan tenang. Wajahnya mengingatkanku pada Nayla, tapi dengan aura yang lebih matang.
“Kenalkan, ini Mama, namanya Rina,” ujar Nayla santai.
Aku berusaha menyembunyikan keterkejutan dan berdiri untuk menyambutnya. “Halo, Tante Rina. Saya Darian.”
Sorot matanya tajam, seakan menelanjangiku, membaca lebih dalam daripada yang bisa dilakukan putrinya. “Halo, Darian. Jadi ini pria yang sering disebut Nayla?”
Aku tak tahu apa yang dimaksudnya dengan ‘sering disebut.’ Jika memang Nayla pernah menceritakanku, aku ingin tahu dari sisi mana. Apakah sebagai calon pacar, atau hanya sebagai pria yang berusaha keras sementara dia sendiri belum yakin?
Pertemuan hari itu jadi lebih aneh dari dugaanku. Nayla, yang biasanya mendominasi percakapan, justru lebih banyak diam. Sebaliknya, aku dan Rina berbicara panjang lebar, entah soal bisnis, kehidupan, atau sekadar berbagi pengalaman. Ia wanita yang cerdas, percaya diri, dan—anehnya—lebih nyambung denganku dibandingkan putrinya sendiri.
Kami mulai bertukar kontak, awalnya hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan Nayla. Namun, perlahan, pembicaraan kami melebar. Rina adalah pendengar yang baik, seseorang yang tidak hanya sekadar memberi tanggapan, tetapi benar-benar memahami. Setiap percakapan dengannya memberi rasa nyaman yang tak kutemukan dalam hubungan dengan Nayla.
Sementara itu, hubungan dengan Nayla semakin membingungkan. Dia semakin jarang membalas pesanku, sering menghindar, dan ketika kami bertemu, ia lebih sibuk dengan ponselnya dibandingkan berbicara denganku. Aku mulai bertanya pada diri sendiri, apakah aku yang berlebihan, ataukah memang sejak awal Nayla tak benar-benar menganggapku serius?
Suatu malam, aku mengirim pesan ke Nayla. Kita ketemu, ada yang mau aku omongin.
Jawabannya datang beberapa jam kemudian, singkat. Aku lagi nggak bisa.
Aku menghela napas panjang.
Di sisi lain, Rina mengirim pesan berbeda. Mau kopi malam ini?
Malam itu, aku tahu segalanya telah berubah. Kami bertemu tanpa bayang-bayang Nayla di antara kami. Percakapan mengalir, dan sesuatu yang dulu samar kini semakin jelas.
“Darian,” suara Rina terdengar mantap, “kamu sadar kan, hubungan ini… tidak biasa?”
Aku mengangguk. “Tapi bukan berarti salah, kan?”
Ia tersenyum tipis, lalu menatapku dalam-dalam. “Tidak salah, hanya tak terduga.”
Hubungan kami berkembang dalam diam. Aku mulai merasa lebih nyaman dengan Rina daripada dengan Nayla. Kami berbagi kisah, bertukar pikiran, hingga suatu malam, di tengah obrolan hangat, Rina menatapku lama.
“Kamu tahu, aku sebenarnya juga takut,” bisiknya.
“Takut apa?”
“Takut jika ini hanya pelarianmu dari Nayla.”
Aku menggeleng. “Kalau ini hanya pelarian, aku tidak akan sejauh ini, Rina. Aku tidak pernah bisa benar-benar mengerti Nayla. Tapi denganmu, aku merasa… seperti pulang.”
Tatapannya melembut, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kualami sebelumnya.
Tiga bulan kemudian, aku melangkah ke pelaminan, bukan dengan Nayla, melainkan dengan Rina.
Di tengah tamu undangan, Nayla menatapku dari kejauhan. Senyumnya samar, entah tulus atau hanya topeng. Aku tahu satu hal pasti—tak semua cerita berjalan seperti skenario yang kita harapkan. Tapi siapa sangka, justru di luar naskah, aku menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. (Dwi Taufan Hidayat)