Oleh: Dwi Taufan Hidayat| Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas Kabupaten Semarang
DI sebuah kota kecil yang dikelilingi persawahan hijau, hiduplah dua sahabat sejak kecil: Rafi dan Rendra. Keduanya seperti dua sisi mata uang—tak terpisahka– tetapi memiliki perbedaan yang mencolok.
Rafi, seorang pemuda sederhana, selalu memanfaatkan waktunya untuk belajar, bekerja, dan beribadah. Ia memahami bahwa setiap detik yang berlalu takkan kembali, sehingga ia mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat.
Di sisi lain, Rendra memiliki pandangan hidup yang berbeda. Baginya, hidup harus dinikmati sepenuhnya tanpa perlu memikirkan esok. Ia menghabiskan hari-harinya dengan bermain, berpesta, dan terjerumus dalam kemaksiatan. Baginya, kematian masih jauh, dan kesenangan adalah segalanya.
Suatu malam, di bawah rembulan yang menggantung di langit, Rafi menegur sahabatnya yang baru saja pulang dari pesta. “Rendra, sampai kapan kau akan hidup seperti ini? Waktu kita terus berkurang, tapi amal kita tak bertambah.”
Rendra terkekeh. “Rafi, kau terlalu serius. Hidup hanya sekali, jadi nikmatilah.”
“Tapi kau lupa, ajal tak mengenal usia. Jika kau tidak menyibukkan diri dengan kebaikan, waktu akan menebasmu,” jawab Rafi dengan tatapan prihatin.
Rendra hanya mengangkat bahu, tak menganggap serius perkataan sahabatnya.
Hari-hari berlalu. Rafi tetap teguh dalam kebaikan, sementara Rendra semakin terperosok dalam kebiasaan buruknya. Hingga suatu malam, saat Rendra sedang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi sepulang dari pesta, maut datang menjemputnya.
Di tikungan tajam, ia kehilangan kendali. Segalanya terjadi begitu cepat—ban selip, tubuhnya terhempas, lalu dunia menjadi gelap.
Ketika terbangun, ia mendapati dirinya terbaring di rumah sakit dengan selang infus di lengannya. Matanya nanar menatap Rafi yang duduk di sampingnya.
“Aku… hampir mati,” suara Rendra bergetar.
Rafi menggenggam tangannya erat. “Allah masih memberimu kesempatan. Gunakan waktu yang tersisa dengan bijak.”
Rendra menatap langit-langit kamar rumah sakit. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa takut. Takut jika waktu yang tersisa tak cukup untuk menebus semua kelalaiannya.
Sepulang dari rumah sakit, Rendra mencoba berubah. Ia mulai belajar beribadah, menghindari kebiasaan buruknya, dan mengisi waktunya dengan amal. Namun, rasa sesal terus menghantuinya.
“Rafi, aku sudah menyia-nyiakan terlalu banyak waktu. Bagaimana jika semua ini sia-sia?” tanyanya suatu hari.
“Allah Maha Pengampun, Rendra. Selama kau masih bernapas, pintu taubat selalu terbuka.”
Rendra mengangguk. Ia pun berusaha lebih keras, seakan ingin mengejar waktu yang telah terbuang. Namun, takdir berkata lain.
Beberapa bulan kemudian, dokter mendiagnosisnya dengan penyakit yang mematikan. Ajal benar-benar telah mendekat.
Di detik-detik terakhirnya, Rendra meminta Rafi membawanya ke sebuah masjid. Ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dalam doa.
Di sana, ia duduk bersandar di dinding, menatap jam besar yang tergantung di atas mihrab. Jarum detiknya terus bergerak, tanpa ragu, tanpa henti.
“Dulu, aku pikir waktu bisa aku kendalikan,” lirihnya. “Ternyata, akulah yang dikendalikan oleh waktu.”
Rafi menggenggam tangannya, air mata menetes di pipinya.
Dengan napas tersisa, Rendra tersenyum. “Setidaknya… aku mencoba…”
Dan di bawah dentang jam yang terus berdetak, Rendra mengembuskan napas terakhirnya.
Rafi menatap sahabatnya yang telah pergi. Di luar, matahari terbenam, menandakan akhir hari, seperti akhir hidup seseorang.
Di masjid itu, jam terus berdetak. Jarumnya tak pernah berhenti, seperti waktu yang terus melaju.
Rafi berbisik, “Waktu adalah pedang, dan bagi yang lalai, ia akan menebas tanpa ampun.”
Sementara itu, jam di dinding tetap berdetak, seolah mengingatkan manusia bahwa ajal kian berkurang, dan hanya amal yang akan tersisa. (*)