Aku pernah bertemu lelaki seperti Fadli. Seorang teman lama yang semula kupikir hidupnya baik-baik saja. Gajinya besar. Rumahnya besar. Tapi hatinya kecil. Sekecil pemahamannya tentang makna “rezeki yang berkah.”
Ia tak pernah cerita banyak. Tapi istrinya—Laras—diam-diam pernah menangis di hadapanku. Bukan karena ia kekurangan uang. Tapi karena terlalu banyak luka yang ditelan dalam diam.
Dan kisah mereka dimulai dari hal sederhana: uang yang disembunyikan.
Fadli dikenal pekerja keras. Pagi-pagi sudah berangkat, malam baru pulang. Di meja makan, ia hanya bicara jika ditanya. Dan ketika Laras menyinggung kebutuhan dapur yang membengkak, ia sering menjawab: “Kamu boros, sih.”
Laras hanya diam. Ia sadar, suaminya tak pernah tahu harga beras. Tak tahu susu anak segede apa harganya. Tak tahu popok itu bisa menguras isi dompet dalam seminggu.
Dan ketika uang belanja dikurangi, Laras mulai menghemat. Menekan harga dirinya, membungkus sedihnya dalam tawa palsu di depan anak. Makan seadanya. Mandi terburu-buru. Kadang, ia lupa kapan terakhir pakai pelembab wajah. Fokusnya hanya: anak kenyang. Rumah bersih. Suami tak marah.
Tapi apakah cukup?
Ada satu sore yang tak akan aku lupakan. Fadli datang padaku. Mendadak. Wajahnya lelah, suaranya parau.
“Gue nggak ngerti lagi, Ji. Dulu semua lancar. Sekarang, seret banget. Gaji gue habis entah ke mana. Dagangan di toko online pun sepi. Tiap langkah kayak berat.”
Aku menatapnya. Lama. Dan tiba-tiba teringat obrolan Laras enam bulan lalu. Tentang saldo yang disembunyikan. Tentang chat rahasia. Tentang transfer diam-diam ke rekening berbeda.
Aku hanya bertanya pelan, “Kamu masih sering ‘main sendiri’ urusan uang, Li?”
Dia terdiam. Lalu tertawa miris. “Iya. Kenapa?”
Saat itu, aku hanya menghela napas. Tapi hatiku bergetar. Mulutku nyaris bungkam. Sebuah ayat melintas di benakku: “Dan belanjakanlah sebagian dari hartamu kepada keluarga, karena sesungguhnya di dalam hartamu itu ada hak mereka.”
Tapi entah kenapa, kalimatku yang keluar justru, “Mungkin rezekimu bukan seret. Mungkin dia cuma menolak datang karena kamu tutup pintunya sendiri.”
Laras tidak pernah menuntut banyak. Ia hanya ingin didengar. Dihargai. Dilibatkan.
Ia bukan auditor. Tapi ia ingin tahu ke mana nafkah itu pergi. Ia bukan tukang pos. Tapi ia tahu bagaimana rasanya jadi pelayan rumah yang tak pernah libur. Ia bukan konsultan keuangan. Tapi ia ingin sekadar diberi ruang untuk ikut merencanakan masa depan.
Namun Fadli mengira, cukup dengan bekerja keras maka semuanya sah miliknya. Ia lupa bahwa rezeki tidak hanya tentang angka. Tapi juga ridha. Doa. Dan berkah.
Dan berkah tak akan datang pada mereka yang menyembunyikan tanggung jawabnya sendiri.
Ada suatu malam. Laras pingsan di dapur. Fadli panik. Rumah berantakan. Anak menangis. Mertua datang terburu-buru.
“Laras kelelahan,” kata dokter. “Butuh istirahat panjang. Stresnya tinggi. Jangan disepelekan.”
Fadli membisu.
Untuk pertama kali, ia menyentuh piring-piring kotor. Menyapu. Menyiapkan susu anak. Dan mendadak sadar: “Ini berat.”
Baru satu malam.
Laras mengerjakannya setiap hari. Selama bertahun-tahun.
Aku sempat menjenguk Laras di rumah sakit. Ia tersenyum, lemah. Fadli duduk di sampingnya, seperti anak kecil yang baru menyadari bahwa mainannya bisa rusak jika dipakai sembarangan.
“Saya salah, Ji,” bisiknya padaku. “Saya baru sadar. Semua doa dia itu kayak payung, ternyata. Begitu dia jatuh, hujan datang deras.”
Aku tak jawab. Tapi aku tahu, penyesalan selalu datang terlambat.
Dan benar saja. Dua bulan setelah Laras sembuh, ia menggugat cerai. Bukan karena benci. Tapi karena tak kuat lagi.
Fadli menangis. Laras menangis. Bahkan anak mereka pun menangis.
Tapi luka kadang tidak bisa diobati dengan janji.
Sekarang Fadli tinggal sendiri. Rumahnya sepi. Gajinya tetap besar. Tapi rezekinya terasa kering. Sebab, sejak Laras pergi, tak ada lagi yang mendoakannya setiap malam. Tak ada lagi yang menyisipkan senyum dalam makannya. Tak ada lagi yang diam-diam menenangkannya dengan peluk di ujung malam.
Yang tersisa hanyalah sisa nasi dingin. Dan notifikasi transfer yang tak lagi dibalas.
Dan aku?
Aku hanya bisa bilang:
Jika engkau merasa pintu rezekimu tertutup, jangan buru-buru menyalahkan dunia.
Periksalah: mungkin ada seseorang di rumahmu… yang doanya telah kau abaikan.