Oleh: Dwi Taufan Hidayat
MATAHARI masih malu-malu menyelinap di celah-celah dedaunan ketika tujuh pemuda itu bergegas menapaki jalan berbatu, menuju perbukitan yang sepi. Napas mereka tersengal, bukan hanya karena lelah, tetapi juga ketakutan. Kota yang dulu menjadi tempat mereka tumbuh kini terasa begitu asing, penuh ancaman dan ketidakadilan.
Mereka berasal dari keluarga bangsawan dan pedagang terhormat, tetapi kini mereka adalah buronan. Bukan karena kejahatan, melainkan karena keyakinan yang mereka pegang teguh—sebuah keimanan yang bertentangan dengan kehendak Raja Decius.
“Kita tak bisa kembali,” ujar Tamlikha, pemimpin mereka, dengan suara tegas namun bergetar. “Raja Decius telah mengirim mata-mata untuk memburu kita. Jika tertangkap, kita akan dipaksa meninggalkan keimanan atau dihukum mati.”
Di antara mereka, Miksalmina menatap ke arah kota yang mulai tertutup kabut. “Ayah dan ibuku masih di sana… Bagaimana jika mereka diancam karena kepergian kita?”
Tamlikha menepuk pundaknya, mencoba menenangkan. “Kita telah berusaha mengajak mereka pada kebenaran. Mereka memilih bertahan, dan kita harus berpegang teguh pada keyakinan ini.”
Perjalanan semakin menanjak, dan kaki mereka mulai terasa nyeri. Kaos kaki mereka basah oleh embun, dan pakaian mereka lekat dengan debu perjalanan. Saat matahari mulai turun di ufuk barat, mereka menemukan sebuah gua di puncak bukit, tersembunyi di balik rimbunan pepohonan. Udara di dalamnya sejuk, seperti pelukan kasih yang menenangkan.
Keffestatay, pemuda bertubuh tinggi dengan sorot mata penuh semangat, berjongkok dan membelai kepala anjing mereka, Qithmir. “Setidaknya di sini kita bisa beristirahat,” katanya, sebelum akhirnya merebahkan diri.
Di dalam gua itu, keheningan menyelimuti mereka. Malam pun tiba, dan lelah membuat mereka tertidur. Namun, tak ada yang menyadari bahwa sesuatu yang luar biasa akan terjadi.
Tamlikha terbangun dalam keheningan yang asing. Udara terasa lebih ringan, dan suara jangkrik yang biasa terdengar kini menghilang. Ia mengerjapkan mata, melihat rekan-rekannya masih tertidur lelap di sudut-sudut gua.
Ia merasakan perutnya kosong dan haus yang menyiksa. Dengan hati-hati, ia mengguncang salah satu rekannya, Miksalmina. “Bangun,” bisiknya. “Kita harus mencari makanan.”
Satu per satu mereka terbangun. Ada keanehan dalam atmosfer di sekitar mereka, tapi tak ada yang dapat menjelaskan apa itu.
“Aku akan pergi ke kota,” kata Tamlikha akhirnya. “Aku punya beberapa koin perak. Kita bisa membeli makanan.”
Dengan langkah ragu, ia berjalan menuruni bukit, meninggalkan gua yang seakan menjadi saksi tidur panjang mereka. Saat sampai di kota, ia membeku. Bangunan-bangunan tampak berbeda, lebih besar, lebih megah, dengan bentuk yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Orang-orang di sekitar mengenakan pakaian yang asing. Beberapa dari mereka berbicara dalam dialek yang sedikit berbeda dari bahasa yang ia kenal.
Tamlikha melangkah ke pasar dengan gemetar. Ia mengambil sekeping uang dari kantongnya, lalu menyerahkannya pada seorang penjual roti. Namun, alih-alih menerima, penjual itu menatapnya penuh keheranan.
“Dari mana kau mendapatkan koin kuno ini?” tanya sang penjual dengan suara curiga. “Apakah kau menemukan harta karun kerajaan?”
Tamlikha terdiam, hatinya berdegup kencang. “Ini… uangku,” jawabnya lirih.
Kerumunan mulai berkumpul. Seorang pria tua dengan janggut putih menatapnya penuh minat. “Anak muda,” katanya, suaranya bergetar. “Dari mana kau berasal?”
Tamlikha merasakan sesuatu yang tak beres. Ia mundur selangkah, tetapi orang-orang semakin mendekat.
“Aku hanya ingin membeli makanan,” katanya dengan panik.
Pria tua itu menatap koin di tangannya. “Ini adalah mata uang dari tiga abad yang lalu… Tidak mungkin kau memilikinya.”
Tamlikha merasakan tubuhnya melemas. Tiga abad? Tidak, itu tidak mungkin. Itu berarti mereka telah tidur selama ratusan tahun.
Dengan tergesa, ia berlari kembali ke gua, meninggalkan kerumunan yang masih terheran-heran. Teman-temannya berdiri menunggu dengan cemas.
“Apa yang terjadi?” tanya Miksalmina.
Tamlikha menggeleng, masih mencoba memahami. “Kita telah tidur… berabad-abad lamanya.”
Keheningan menyelimuti mereka. Dunia telah berubah, keimanan yang dulu mereka perjuangkan kini telah menjadi bagian dari masyarakat. Perjuangan mereka yang dulu terasa sia-sia ternyata telah menemukan jalannya sendiri.
Namun, ada yang masih mengganjal di hati mereka.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Martunus, salah satu dari mereka yang tampak paling kebingungan.
Tamlikha menatap langit senja yang berwarna oranye keemasan. “Kita telah menjadi bagian dari sejarah. Dunia tak lagi membutuhkan kita.”
Hari itu, mereka kembali ke gua, bukan untuk bersembunyi, tetapi untuk mengakhiri perjalanan mereka. Mereka merebahkan diri, dengan hati yang penuh ketenangan.
Langit di luar perlahan berubah menjadi gelap, sementara cahaya bintang mulai bermunculan. Tubuh mereka tak lagi bergerak, napas mereka melambat, seakan menyerah kepada waktu.
Ketika penduduk kota akhirnya menemukan gua itu keesokan harinya, mereka hanya mendapati jasad-jasad yang telah kembali ke tanah.
Namun, kisah mereka tidak pernah mati.