Kamis, April 24, 2025
No menu items!

CERPEN: Topi Jelek, Mental Baja

Must Read

LANGIT pagi masih menggantungkan warna kelabunya ketika suara ayam jantan menandai dimulainya hari. Di sebuah rumah bambu yang berdiri rapuh di pinggir desa, seorang anak laki-laki duduk menghadap jendela kecil yang hanya ditutup sobekan karung beras.

Namanya Rafi.

Tubuh kecilnya dibungkus seragam putih merah yang kusam. Kerahnya berumbai, kancingnya sudah tidak serasi, dan celananya mulai menggantung di atas mata kaki. Topi merah yang harusnya tegak gagah di kepala, kini melorot miring dengan pinggir robek dan bagian atasnya kempot.

Ibunya, seorang penjahit serabutan, sedang sibuk merapikan bekal nasi dengan telur dadar yang tipis sekali. Tangannya cekatan, tapi matanya terus mencuri pandang ke arah anaknya.

“Rafi, Ibu yakin kamu nggak mau Ibu antar ke sekolah?” tanyanya lembut.

Anak itu menoleh, lalu menggeleng pelan. “Enggak usah, Bu. Rafi bisa sendiri. Kan sekolahnya nggak jauh.”

Ibunya mengangguk pelan, meski hatinya gelisah. Setiap pagi adalah pertarungan batin bagi anaknya. Bukan karena malas sekolah. Tapi karena tiap langkah menuju sekolah adalah pertarungan harga diri. Baju lusuh, sepatu bolong, dan topi robek sudah cukup membuatnya jadi bulan-bulanan ejekan.

Tapi Rafi tetap berangkat. Setiap hari.

Ia tahu, kalau ia menyerah, maka dunia yang keras ini akan menang. Maka langkahnya menyusuri jalanan becek tetap ia ayunkan, meski banyak anak-anak lain yang lewat dengan sepeda, dengan tas baru dan seragam licin seperti habis disetrika.

Hari itu Senin. Upacara bendera.

Di halaman sekolah, barisan sudah mulai dibentuk. Rafi masuk ke barisan paling belakang. Seperti biasa, beberapa anak mencibir pelan.

“Eh, si topi lepek datang tuh.”

“Pakai baju atau lap pel lantai, sih?”

Rafi mendengarnya, tapi tak menoleh. Matanya hanya tertuju pada tiang bendera, menanti saat sang Merah Putih naik perlahan. Itu satu-satunya momen ia bisa merasa sama dengan anak-anak lain.

Tiba-tiba, suara pengeras suara dari podium menggema. Suara Kepala Sekolah.

“Anak-anak, sebelum kita mulai, saya ingin kalian menoleh ke belakang. Lihat anak dengan topi usang dan baju lusuh itu…”

Barisan siswa sontak menoleh ke arah Rafi. Ia tercekat, tak tahu apa yang akan terjadi.

“Saya ingin kalian tahu, anak itu tidak punya seragam baru, tapi punya mental baja. Kalau dia lembek, pasti dia tidak sekolah hari ini. Tapi dia hadir. Tepat waktu. Dan tetap hormat kepada bendera seperti kalian semua.”

Hening. Lalu perlahan, beberapa anak mulai bertepuk tangan. Tepuk tangan itu meluas, menyebar, menjadi gelombang yang menampar wajah-wajah congkak yang biasa mengejeknya.

Hari itu, bukan hanya topinya yang berdiri tegak, tapi juga kepalanya.

Tahun demi tahun berlalu.

Rafi tumbuh, tapi dunia tidak serta-merta jadi lunak padanya. Ia tetap hidup dalam keterbatasan, tapi semangatnya tak pernah layu. Ia belajar dengan senter bekas yang disambungkan ke aki motor. Ia menjilid catatan dari kertas sisa. Ia menolak bantuan yang bersifat mengejek, tapi menerima ilmu dari siapa pun dengan rendah hati.

Ketika SMA, ia juara satu. Ketika kuliah, ia diterima di universitas negeri favorit lewat jalur prestasi. Ia pergi dengan membawa mimpi, dan tinggal di rumah kontrakan sempit, hidup dari beasiswa dan pekerjaan paruh waktu sebagai tukang cuci piring.

Tapi ia tidak pernah lupa pada topi robeknya. Ia menyimpannya di lemari plastik murahan, bersama seragam putih merah yang mulai menguning. Itu bukan pakaian. Itu adalah bukti bahwa dirinya dulu berani melangkah ketika dunia ingin dia mundur.

Suatu hari, di sebuah auditorium megah, dengan karpet merah dan sorot lampu yang mewah, Rafi berdiri tegak di podium. Ia mengenakan toga lengkap dengan medali penghargaan.

“Mahasiswa Terbaik se-Indonesia,” begitu pengumuman panitia.

Ia menatap ribuan pasang mata. Ia tidak memulai dengan mengucap terima kasih. Ia tidak langsung berbicara soal prestasi atau pencapaian. Ia diam sejenak, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jubah wisudanya.

Sebuah topi merah lusuh, dengan pinggiran robek dan bentuknya sudah lemas.

Ruangan hening.

“Inilah saksi bisu perjuangan saya,” katanya lirih. “Dulu, saya dihina karena topi ini. Dulu, saya malu. Tapi kini, saya bangga. Karena setiap lubangnya adalah luka yang saya jahit sendiri. Dan setiap goresannya adalah pelajaran bahwa harga diri bukan ditentukan oleh harga barang di tubuhmu.”

Air mata mulai mengalir dari beberapa orang tua mahasiswa. Bahkan seorang dosen yang duduk di deretan depan terisak pelan.

Setelah upacara, Rafi turun dari panggung. Ia berjalan ke barisan kursi paling belakang. Di sana, duduk seorang wanita tua dengan kerudung pudar dan senyum yang tak pernah berubah: ibunya.

Rafi menunduk dan mencium tangannya. Lalu ia berbisik,

“Ibu, aku lulus…”

Wanita itu tersenyum. Tangannya gemetar saat membelai pipi anaknya.

“Ibu bangga… Tapi Ibu sedih juga, Nak.”

“Sedih kenapa, Bu?” tanya Rafi heran.

Ibunya menarik napas panjang, lalu berkata,

“Topi itu… dulu bukan topi sekolahmu, Nak. Itu topi bekas yang Ibu pungut di tong sampah belakang pasar. Ibu jahit supaya bisa kamu pakai. Ibu takut kamu malu kalau tahu.”

Rafi terdiam. Dunia seakan berhenti bergerak.

Ia memandang topi yang sejak kecil ia anggap sebagai lambang perjuangan—dan kini tahu bahwa benda itu adalah simbol cinta ibu yang tak mengenal batas.

Ia tersenyum. Lalu memeluk ibunya erat-erat.

“Ibu, sekarang aku tahu… yang membuatku kuat bukan topi ini, tapi cinta Ibu yang menjahitnya dengan air mata.”

Dan hari itu, di dinding kampus, topi merah lusuh itu dipajang dalam bingkai kaca, dengan tulisan:

“Topi ini jelek. Tapi cinta yang menjahitnya tak pernah lusuh.”

Koperasi Jadi Pilar Ekonomi Baru di Kawasan Transmigrasi

JAKARTAMU.COM | Program transmigrasi tidak hanya memindahkan penduduk, tetapi juga menumbuhkan embrio kekuatan ekonomi baru melalui pembentukan koperasi. Wakil...
spot_img

More Articles Like This