Senin, Maret 3, 2025
No menu items!

CERPEN: Warisan Ondel-Ondel

Must Read

Oleh; Dwi Taufan Hidayat

Di sudut Kampung Rawa Belong, di antara gedung-gedung tinggi yang mulai menggerus perkampungan lama, berdiri sebuah rumah tua dengan dinding kayu yang mulai pudar. Di dalamnya, Pak Maman duduk bersila di lantai ruang tengah yang hanya diterangi lampu redup. Matanya menerawang, menatap dua boneka raksasa yang berdiri tegak di sudut ruangan. Ondel-Ondel.

Boneka itu sudah ada sejak zaman kakeknya, Ki Darman, yang dulu dikenal sebagai pembuat Ondel-Ondel terbaik di Betawi. Kini, boneka itu tampak lusuh, catnya mulai mengelupas, dan pakaiannya terlihat kusam. Dulu, setiap tahun mereka menari di jalanan, menghibur warga saat Lebaran Betawi atau pesta hajatan. Tapi sekarang, mereka hanya berdiri di sana, seolah menunggu giliran untuk dilupakan.

Di hadapan Pak Maman, Dudung, anak semata wayangnya, duduk bersandar di kursi kayu. Wajahnya penuh kebimbangan.

“Babe,” ujar Dudung pelan, “Dudung bingung. Masa Dudung harus nerusin bikin Ondel-Ondel juga? Sekarang orang-orang udah sibuk sama gedung tinggi, gadget, sama kerja kantoran. Siapa yang masih peduli sama budaya kita?”

Pak Maman menghela napas, lalu berdiri. Ia berjalan mendekati Ondel-Ondel, meraba-raba permukaannya yang mulai berdebu.

“Dudung,” katanya lirih, “lu tau nggak? Dulu, kakek buyut kita dateng ke Batavia dari berbagai penjuru Nusantara. Ada yang dari Jawa, Sunda, Bugis, Melayu, bahkan ada yang dari Arab sama Tionghoa. Mereka bawa budaya masing-masing, terus melebur jadi satu. Dari situlah lahir suku Betawi. Budaya kita ini saksi sejarah! Kalau kita tinggalin, siapa lagi yang bakal jaga?”

Dudung terdiam. Ia tahu betul bagaimana Babe-nya selalu bersemangat tiap kali ada acara adat atau perayaan di kampung. Tapi di luar sana, dunia sudah berubah.

“Tapi, Be…” suara Dudung terdengar ragu. “Mau sampe kapan kita hidup dari bikin Ondel-Ondel? Orang udah jarang yang beli. Lapangan kerja makin susah, kita harus realistis.”

Pak Maman tersenyum tipis. Ia tahu, zaman memang sudah berbeda. Tapi menyerah begitu saja? Tidak.

Malam itu, Dudung tidak bisa tidur. Kata-kata Babe-nya terus terngiang di kepala. Ia pun iseng membuka media sosial, mencari informasi tentang Ondel-Ondel. Ternyata, masih banyak orang yang tertarik. Ada yang menggunakannya untuk dekorasi kafe, ada yang menjadikannya ikon wisata, bahkan ada yang membuat Ondel-Ondel mini sebagai suvenir.

Ia juga menemukan beberapa berita tentang penggusuran kampung-kampung Betawi di Jakarta. Banyak keluarga Betawi yang dipindahkan ke pinggiran kota seperti Depok, Tangerang, dan Bekasi. Lambat laun, budaya Betawi semakin terpinggirkan.

Dudung memandangi layar ponselnya lama-lama. Sesuatu di dalam dirinya mulai berubah.

Keesokan Harinya

Pagi-pagi, Dudung sudah duduk di ruang tengah, menunggu Babe-nya bangun. Begitu Pak Maman keluar dari kamar, Dudung langsung berseru, “Be, kalau Dudung lanjutin bikin Ondel-Ondel, tapi dengan gaya baru?”

Pak Maman mengernyitkan dahi. “Maksud lu?”

“Kita bisa bikin versi mini buat oleh-oleh. Bisa jual online juga. Sekarang kan zamannya digital, Be. Kita bisa manfaatin itu!”

Pak Maman terdiam sejenak. Lalu, senyum mulai merekah di wajahnya.

“Bagus, Nduk. Bagus! Tapi lu harus inget, Ondel-Ondel itu bukan sekadar boneka. Dia simbol perlawanan. Dulu, kakek buyut kita bikin Ondel-Ondel buat ngusir roh jahat. Sekarang, kita harus bikin Ondel-Ondel buat ngusir lupa!”

Dudung mengangguk mantap. Hari itu juga, mereka mulai bekerja.

Dudung mulai mendesain Ondel-Ondel versi mini dengan bahan yang lebih ringan dan warna yang lebih menarik. Pak Maman mengajarinya cara melukis wajah Ondel-Ondel dengan detail, seperti yang diajarkan oleh Ki Darman dulu. Mereka juga membuat akun media sosial untuk mempromosikan karya mereka.

Tak butuh waktu lama, Ondel-Ondel mini buatan mereka mulai menarik perhatian. Beberapa pengusaha kafe di Jakarta tertarik untuk membeli sebagai pajangan. Bahkan, ada wisatawan asing yang memesan sebagai suvenir.

Dalam waktu beberapa bulan, usaha mereka berkembang pesat. Pak Maman bahkan mulai mengajarkan seni membuat Ondel-Ondel kepada anak-anak muda di kampung.

Suatu hari, seorang wartawan datang meliput usaha mereka.

“Kenapa Bapak masih bertahan dengan budaya Betawi di tengah modernisasi?” tanya si wartawan.

Pak Maman tersenyum. “Nak, zaman boleh berubah, tapi kalau kita lupa sama akar kita, kita bakal kehilangan jati diri. Jakarta boleh jadi kota modern, tapi jangan sampe kita jadi orang asing di tanah sendiri.”

Epilog

Beberapa bulan kemudian, Kampung Rawa Belong mengadakan festival budaya Betawi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ondel-Ondel kembali menari di jalanan. Dudung berdiri di samping Babe-nya, menyaksikan karyanya hidup kembali.

“Be,” katanya pelan, “Dudung akhirnya ngerti. Budaya itu bukan cuma buat dikenang, tapi harus kita rawat supaya tetap hidup.”

Pak Maman menepuk bahu anaknya. “Itu baru anak Babe.”

Dari kejauhan, Ondel-Ondel besar itu bergoyang-goyang, seolah tersenyum bangga.

Mendikdasmen Luncurkan Sistem Penerimaan Murid Baru 2025-2026

JAKARTAMU.COM | Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti resmi meluncurkan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) sebagai pengganti Penerimaan...

More Articles Like This