Oleh: Fathorrahman Fadli dan Miftah H. Yusufpati
JAKARTAMU.COM | Presiden Prabowo Subianto berharap Danantara dapat menjadi lembaga investasi yang pruden dan dapat dipercaya; tidak saja di level nasional, namun juga internasional. Seperti yang dtunjukkan lembaga serupa negara tetangga Temasek Singapura, Khazanah Nasional Berhad di Malaysia, Equinor dan Telenor di Norwegia.
Konon Prabowo lebih suka pada Norwegia sebagai bencmark, mungkin karena lebih bagus dan cocok untuk Indonesia.
BUMN di negara lain, dalam operasinya tidak jago kandang. Seperti banyak BUMN Norwegia, mereka lebih banyak beroperasi di luar negeri. Dengan begitu, perusahaan pelat merah itu dapat meningkatkan pendapatan negara sekaligus memperkuat posisi Norwegia di pasar global.
“Perusahaan seperti Telenor (telekomunikasi) dan Equinor memiliki operasi di berbagai negara, Sebab mereka mampu bertindak profesional secara bisnis,” kata ekonom senior, Prof Anthony Budiawan.
Di negara lain, lanjut Anthony, misalnya tetangga kita Malaysia, Khazanah Nasional Berhad, sebagai salah satu BUMN utama di Malaysia, secara rutin mempublikasikan laporan tahunan yang dapat diakses oleh publik.
“Open management seperti itu harus terjadi pada BUMN Indonesia jika ingin maju,” ujar Anthony. Selama ini, kata Anthony lagi, sumbangan BUMN pada APBN sangat kecil. Itu artinya, BUMN kita tidak profesional dan hanya menjadi bancakan para bosnya.
Hal yang sama dikeluhkan oleh Ekonom Konstitusi Deviyan Cory. BUMN Indonesia memang tidak produktif dan tidak mampu menjadi mesin yang baik bagi pemasukan negara.
“Mungkin salah satunya karena sering diokupasi oleh partai politik sehingga kinerjanya buruk. Lihat saja isi dalam BUMN, banyak sekali yang berlatar belakang timses saat Pilpres, mana mungkin profesional,” tegas Deviyan Cori.
Lalu apa yang semestinya dilakukan oleh Danantara nantinya? Menurut Medrial Alamsyah, pembenahan SDM pengelola BUMN harus diseleksi secara ketat dan profesional. “Organisasi yang tidak dibutuhkan untuk mendukung kinerja dan profitabilitas korporasi, buang saja. Saya rasa itu dulu karena SDM itu sangat penting,” tegas Medrial yang juga konsultan manajemen organisasi itu.
Belajar dari Malaysia
Lepas dari itu, dalam hal pengelolaan perusahaan negara, Indonesia naga-naganya mesti belajar ke negeri Jiran. BUMN Malaysia, yang dikenal sebagai Government-Linked Companies (GLCs), misalnya, memainkan peran strategis dalam mendukung pembangunan ekonomi dan sosial negara. GLCs bekerja dengan mengadopsi praktik korporasi modern, meskipun tetap mempertahankan tanggung jawab terhadap kebijakan pemerintah.
Beberapa cara kerja yang diadopsi GLCs Malaysia melibatkan Pemerintah dalam Manajemen. GLCs sering kali berada di bawah pengawasan entitas seperti Khazanah Nasional Berhad (sovereign wealth fund) atau institusi pemerintah lainnya. Entitas ini bertanggung jawab memastikan bahwa GLCs memenuhi tujuan strategis nasional, seperti mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan keberlanjutan.
Mereka juga fokus pada sektor strategis seperti infrastruktur, energi, telekomunikasi, dan keuangan. Hal ini bertujuan untuk memastikan pengendalian nasional atas aset-aset vital dan layanan publik.
Pada 2004, pemerintah Malaysia meluncurkan GLCT Programme, yang bertujuan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan daya saing GLCs. Program ini melibatkan reformasi dalam tata kelola perusahaan, manajemen sumber daya manusia, dan pengelolaan risiko.
Meskipun memiliki misi sosial, GLCs dioperasikan dengan prinsip-prinsip komersial untuk memastikan keberlanjutan finansial. Mereka diharapkan menghasilkan keuntungan dan memberikan dividen kepada pemegang saham, termasuk pemerintah.
Sama halnya dengan kasus di Malaysia, BUMN Norwegia dikelola secara profesional dengan tata kelola perusahaan yang transparan, mengacu pada standar internasional. “Pemerintah biasanya tidak terlibat dalam operasi harian perusahaan, tetapi bertindak sebagai pemegang saham yang berfokus pada kebijakan strategis,” jelas Anthony Budiawan yang lama hidup di Eropa selama studinya.
Di Norwegia, jelas Anthony, BUMN menyumbang pendapatan yang besar kepada negara, terutama dari sektor energi. Pendapatan dari minyak dan gas sebagian besar masuk ke Government Pension Fund Global (GPFG), yang merupakan dana kekayaan negara terbesar di dunia. “GPFG dirancang untuk mengamankan kesejahteraan ekonomi Norwegia di masa depan,” jelas pria penyuka Sate dan Soto Wuenak Haji Ong itu.
Aset Besar
Kini, Indonesia akan memiliki sovereign wealth fund (SWF) bertajuk Daya Anagata Nusantara (Danantara).
SWF adalah badan yang mengelola aset negara dari hasil surplus neraca pembayaran, surplus fiskal, hasil ekspor sumber daya, dan berbagai penerimaan negara lainnya.
Di awal peluncurannya Danantara akan membawahi tujuh badan usaha milik negara (BUMN) yang selama ini menjadi penyumbang dividen terbesar untuk pemerintah.
Tujuh BUMN tersebut adalah Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, Bank Negara Indonesia (BNI), Telkom Indonesia, dan Mining Industry Indonesia (MIND ID).
Lembaga SWF yang dibentuk pemerintah sebelumnya, yaitu Indonesia Investment Authority (INA), juga akan dilebur ke dalam Danantara.
Semua lembaga milik negara tersebut akan menyumbang sejumlah asetnya untuk dikelola Danantara, dengan rincian berikut: 1. Bank Mandiri: Rp2.174 triliun; 2. BRI: Rp1.965 triliun; 3. PLN: Rp1.671 triliun; 4. Pertamina: Rp1.412 triliun; 5. BNI: Rp1.087 triliun; 6. Telkom Indonesia: Rp318 triliun, 7. MIND ID: Rp259 triliun; 8. Indonesia Investment Authority (INA): Rp163 triliun
Dengan sumbangan ini, Danantara diperkirakan memiliki aset kelolaan awal Rp9,4 ribu triliun atau sekitar US$600 miliar.
Prabowo juga menargetkan aset kelolaan Danantara akan berkembang hingga US$982 miliar, dan menjadi SWF terbesar ke-4 di dunia.
Menurut data Sovereign Wealth Fund Institute, SWF terbesar di dunia saat ini dimiliki pemerintah Norwegia, Cina, Uni Emirat Arab, Kuwait, Arab Saudi, Singapura, Qatar, dan Hong Kong.
Berikut daftar lengkap 10 badan pengelola investasi milik negara atau SWF dengan aset terbesar global per tanggal 6 November 2024:
1. Norway Government Pension Fund Global (GPFG), Norwegia: US$1,8 triliun
2. China Investment Corporation (CIC), China: US$1,33 triliun
3. SAFE Investment Company, China: US$1,09 triliun
4. Abu Dhabi Investment Authority (ADIA), Uni Emirat Arab: US$1,06 triliun
5. Kuwait Investment Authority (KIA), Kuwait: US$980 miliar
6. Public Investment Fund of Saudi Arabia (PIF), Arab Saudi: US$925 miliar
7. GIC Private Limited, Singapura: US$800,8 miliar
8. Qatar Investment Authority (QIA), Qatar: US$526,05 miliar
9. Hong Kong Monetary Authority Investment Portfolio (HKMA IP), Hong Kong: US$514,35 miliar
10. National Council for Social Security Fund (NSSF), China: US$414 miliar