JAKARTAMU.COM | Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) resmi dibentuk pada 22 Oktober 2024 sebagai superholding yang mengelola berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis Indonesia. Lembaga ini bertujuan mengoptimalkan aset negara guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan target ambisius mencapai 8 persen sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun, di balik visinya yang besar, Danantara tidak lepas dari berbagai kontroversi, mulai dari penunjukan tokoh-tokoh dengan rekam jejak bermasalah hingga kekhawatiran mengenai transparansi pengelolaan dana publik.
Tokoh Pengendali dan Struktur Kepemimpinan
Presiden Prabowo menunjuk Muliaman Darmansyah Hadad sebagai Kepala Danantara. Muliaman memiliki pengalaman panjang di sektor keuangan, termasuk sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, pengangkatannya menuai kritik mengingat keterlibatannya dalam kasus korupsi saat menjabat di Bank Indonesia.
Selain itu, keputusan untuk menunjuk mantan Presiden Joko Widodo sebagai salah satu pengawas Danantara juga menjadi sorotan. Publik mempertanyakan dampak dari rekam jejak Jokowi dalam pengelolaan ekonomi negara selama dua periode kepemimpinannya serta potensi konflik kepentingan dalam pengawasan superholding ini.
Tidak hanya itu, beredar spekulasi bahwa Pandu Sjahrir, seorang pengusaha dengan kedekatan keluarga dengan Luhut Binsar Pandjaitan, dapat menduduki posisi strategis di Danantara. Isu ini semakin memperkuat anggapan bahwa superholding ini akan berada di bawah kendali kelompok tertentu yang memiliki pengaruh besar dalam kebijakan ekonomi nasional.
Burhanuddin Abdullah: Rekam Jejak dan Kontroversi
Salah satu tokoh kunci lainnya di Danantara adalah Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia periode 2003-2008 yang kini menjabat sebagai Ketua Tim Pakar dan Inisiator lembaga ini. Burhanuddin pernah terjerat kasus korupsi aliran dana Bank Indonesia sebesar Rp100 miliar, yang membuatnya divonis lima tahun penjara pada 2008. Meskipun demikian, pada Juli 2024, ia kembali ke posisi strategis sebagai Komisaris Utama PT PLN (Persero), menggantikan Agus Martowardojo.
Penunjukannya kembali ke jajaran elit pengelola investasi negara menuai kritik luas. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana seorang mantan terpidana korupsi dapat kembali menduduki jabatan tinggi dalam lembaga yang mengelola aset triliunan rupiah. Meskipun Burhanuddin menekankan bahwa Danantara harus beroperasi sebagai korporasi untuk menjamin fleksibilitas dan profesionalisme, publik masih meragukan kredibilitasnya dalam memastikan tata kelola yang bersih dan transparan.
Reaksi Publik dan Isu Traktir Record
Menjelang peluncuran resminya pada 24 Februari 2025, Danantara semakin menjadi bahan perdebatan di media sosial. Salah satu isu yang mencuat adalah ajakan untuk memindahkan tabungan dari bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang tergabung dalam superholding ini. Aksi ini dipandang sebagai bentuk protes terhadap pengelolaan keuangan oleh Danantara dan kekhawatiran atas potensi penyalahgunaan dana publik.
Di sisi lain, muncul kontroversi mengenai rekam jejak digital atau “Traktir Record” dari beberapa tokoh kunci di Danantara. Data yang beredar memperlihatkan berbagai dugaan transaksi dan hubungan kepentingan yang mengarah pada indikasi keterlibatan mereka dalam jaringan politik dan ekonomi tertentu. Meskipun beberapa informasi telah diklarifikasi sebagai hoaks, masyarakat tetap skeptis terhadap transparansi pengelolaan investasi negara.
Implikasi dan Masa Depan Danantara
Danantara diharapkan menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan modal awal Rp1.000 triliun dan pengelolaan aset mencapai Rp9.480 triliun. Namun, tantangan besar masih menghadang, terutama dalam menjaga independensi dari intervensi politik dan memastikan tata kelola yang baik.
Para pengamat ekonomi menekankan pentingnya audit independen serta manajemen yang profesional untuk menjaga kredibilitas Danantara di mata investor domestik maupun global. Tanpa komitmen kuat terhadap transparansi dan akuntabilitas, superholding ini berisiko menjadi alat kepentingan segelintir elite politik dan bisnis yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
Dengan berbagai kontroversi yang menyertainya, masa depan Danantara masih menjadi tanda tanya besar. Apakah lembaga ini akan benar-benar menjadi solusi dalam pengelolaan aset negara atau justru menjadi simbol baru dari sentralisasi kekuasaan ekonomi oleh kelompok tertentu? Hanya waktu yang akan menjawabnya. (Dwi Taufan Hidayat)