JAKARTAMU.COM | Ide dibentuknya BPI Danantara ternyata sudah dicetuskan sebelum Prabowo Subianto duduk di Istana sebagai Presiden.
Ide ini ditelurkan Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran. Burhanuddin Abdullah yang menjadi ketua tim mengklaim dia adalah salah satu inisiatornya.
Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) ini bilang sejak diinisiasi, badan ini memang diharapkan menjadi superholding bagi BUMN untuk menarik investasi masuk ke dalam negeri.
Danantara, katanya, akan difokuskan untuk membantu meningkatkan investasi dalam negeri melalui berbagai perusahaan negara.
Soalnya, selama ini penanaman modal asing (PMA) yang masuk ke Indonesia sangat kecil, hanya US$100 per kapita atau Rp1,6 juta per kapita (kurs Rp16.290 per dolar AS)
“Sampai kini, Indonesia bukanlah negara yang diminati oleh para investor asing,” ujarnya dalam diskusi Peran Danantara dalam Percepatan Pembangunan Indonesia yang ditayangkan dalam Youtube Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/2).
Kondisi itu jauh di bawah Vietnam. Padahal, Hanoi baru mulai membangun negaranya pada 1990-an. Apalagi jika dibandingkan dengan Singapura, Indonesia berkali-kali lipat tertinggal.
“Kita tahu Vietnam yang baru membangun tahun 90 (1990), rata-rata investasi asing per kapita di Vietnam US$400. Jangan sebut Singapura yang hampir US$2 juta per kapita. Jadi agak susah investasi asing ini masuk ke Indonesia,” jelasnya.
Burhanuddin menuturkan investor enggan masuk ke dalam negeri karena tidak ada kepastian. Hal ini tercermin dari aturan terkait investasi di Indonesia kerap berubah tergantung dengan pemimpinnya.
“Mungkin karena rumah kita belum ditata dengan bersih, dengan apik dan terencana dengan baik. Kita sering mengubah-ubah aturan atau karena sering banyaknya hal-hal yang tidak menyenangkan, karena mungkin ada banyak tikus di rumah itu sehingga investasi asing tidak mau, tidak banyak yang masuk ke Indonesia,” imbuhnya.
Dengan permasalahan itu semua, maka saat Dewan Pakar merancang Danantara. Lembaga ini akan difokuskan untuk membantu meningkatkan investasi dalam negeri melalui berbagai perusahaan negara.
“Kita mencoba mengonsolidasikan apa yang kita punya. Kita konsolidasikan, kita leverage dan kita punya BUMN kita yang cukup besar, karena itulah, maka kemudian dipikirkan bagaimana cara untuk mengkonsolidasikan BUMN ini,” ucapnya.
Menurut Burhanuddin Abdullah, Indonesia membutuhkan investasi sekitar Rp11 ribu triliun untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti yang dicita-citakan Presiden Prabowo Subianto.
Menurutnya, motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini adalah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sebesar 54,04 persen. Sedangkan, investasi baru 29,15 persen. Padahal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi yakni 8 persen, kontribusi investasi terhadap perekonomian harus di atas 50 persen.
Rendahnya kontribusi investasi sejalan dengan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang juga masih tinggi yakni 6,33 pada 2023. ICOR adalah parameter yang menggambarkan besaran tambahan modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Semakin tinggi skor ICOR, artinya investasi semakin tak efisien.
Katakanlah kalau ICOR kita 6,5, maka setiap tambahan pertumbuhan 1 persen, kita memerlukan 6,5 persen dari PDB itu. Jadi kalau kita ingin tumbuh 8 persen, maka kita perlu 8 x 6,5 yaitu 52 persen dari PDB. Kalau PDB kita itu Rp22 ribu triliun, maka paling tidak Rp11 ribu triliun (investasi) yang harus kita siapkan untuk membiayai, mem-finance investasi kita.
“Saya mencoba bersama teman-teman tim waktu itu menghitung kira-kira ada berapa sih BUMN kita itu asetnya. Hitungan yang sangat kasar itu menunjukkan angka Rp16 ribu triliun. Sekitar US$1 triliun. Ini cukup besar, satu jumlah yang cukup besar,” katanya. Bahkan, aset BUMN Indonesia ini diklaim lebih besar dibandingkan dengan Temasek dan GIC milik Singapura yang asetnya mencapai US$900 miliar. Hal itu yang menjadi landasan pemerintah membentuk BPI Danantara yang diharapkan menjadi superholding BUMN. (*)