Senin, Februari 24, 2025
No menu items!

Dari Riba Muncul Oligarkhi

Must Read

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq, SH

DARI mana muasalnya oligarkhi? Jangan tanya pada akademisi. Mereka tak punya teorinya. Karena akademisi telah berhenti ‘berpikir.’ Apalagi kaum sekuleris. Mereka bingung sendiri. Sebab, Joe Biden, mantan Presiden AS pun heran negaranya terpapar oligarkhi. Sekelompok elit Yahudi bankir, menguasai sang adidaya. Amerika pun tak berdaya.

Prototipe itu yang muncul di setiap negara. Penulis Pakistan, Sahidur Rahman, mengungkap siapa sejatinya ‘pemilik’ negara Pakistan. Bukunya: ‘Who Own Pakistan’, mengungkap siapa sejatinya ‘pemilik’ Pakistan. Bukan dimiliki rakyat, melainkan sekelompok para ‘naga’ Pakistan. Negara itu juga terpapar oligarkhi. Ini model seragam disetiap negara.

Curzio Malaparte, penulis Italia, menuliskan buku ‘Coup d’etat,’ yang merupakan wajah modern state. Revolusi, mulai dari Paris sampai Bolshevik, merupakan bentuk kudeta atas negara. Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar asal Eropa, menggambarkan utuh dalam ‘Technique of The Coup de Banque.’ Epos tentang bagaimana elit banker Yahudi melakukan kudeta terhadap negara (state). Karena dari situlah tergambar kaitan antara financial system dan pemerintahan ‘state.’ Korelasi ini yang tak ada dalam teorinya Machiavelli, Jean Bodin sampai Rosseau. Tapi teori-teori khayalan mereka yang menyebabkan kaum elit financial, berjaya diatas ‘state.’ Karena para oligarkhi, merekalah yang sejatinya yang mengontrol ‘state modern.’

Mereka, kaum bankir itu, melancarkan satu proyek sejak dulu: utang berbunga. Model financial system ini yang menggeluti setiap modern state. Tak heran, setiap election tiba, merekalah yang memberi pinjaman modal pada calon legislator sampai calon ‘head of state.’ Karena demokrasi telah berubah menjadi industry. Election antara Partai Republik dan Demokrat di Amerika, pemenangnya tetap sama: kaum elit Yahudi bankir. Karena mereka membiayai keduanya.

Model serupa berlangsung hampir seantero dunia. Para ‘naga’ itu yang selalu menang, tanpa melalui pemilihan umum. Karena mereka menyediakan uangnya. Sebab ‘state modern’ telah berubah menjadi ‘gouverning by debt,’ sebagaimana diutarakan Maurizio Lazaratto. Pemerintahan berubah menjadi sebuah debitur. Tak lebih. Pembayar utang. Utang pada siapa? Tentulah pada para oligarkh pengendali financial system tadi.

Ini yang membuat ‘perwakilan’ para oligarkh kerap duduk sebagai ‘finance minister.’ Karena posisi ini tak pernah diberikan kepada orang partai. Melainkan ‘orangnya mereka’ agar ‘gouvernance’ dipastikan rutin membayar utangnya. Berikut dengan bunganya. Inilah model ‘state modern’ yang dibanggakan. Yang tentu, sebagaimana kata Dr. Ian Dallas, sama sekali tak layak disebut sebagai model ‘Republik.’

Muasal pola ini tentu merujuk pada Revolusi Inggris, 1660. Kala terjadi kudeta disebabkan ‘perang aqidah’ di Kerajaan Inggris. Pasca renaissance, disitulah memuncak ‘perang aqidah’ di belantara Eropa. Masuknya filsafat, membuat Eropa terbelah dalam dua ‘aqidah’.

Pengikut Gereja Roma atau pengikut aliran Luthern maupun Calvinis. Ditambah pengaruh filsafat sebelumnya, yang membuat manusia percaya bahwa ‘being’ adalah ‘kehendak manusia.’ Bukan ‘kehendak Tuhan.’ Yang memang sebetulnya filsafat digunakan untuk melawan ‘kekurangrasionalan’ ajaran Roma.

Hingga mereka memerlukan landasan untuk melakukan perlawanan. Jadilah kaum Eropa memungut filsafat dari kaum mu’tazilah, yang lebih dulu masuk ke belantara Islam.

Masuknya filsafat, membuat defenisi perihal ‘riba’ (usury) diputar ulang. Pungutan ‘bunga’ yang sebelumnya dianggap riba, mulai ‘diteorikan’ ulang. Tentu dengan dalil khas filsafat materialisme.

Nassau II, ekonom Inggris mulai menteorikan perihal ‘bunga.’ Dia bilang, “Jika saya meminjamkan uang kepada anda, saya harus berpandang untuk konsumsi. Oleh karena itu saya berhak mendapatkan kompensasi berupa bunga.” Dari situlah seolah si peminjam uang, berhak memungut bunga. Dengan munculnya teori baru: berpantang.

Alfred Massal berteori lagi. Dia tak setuju dengan teori ‘berpantang.’ Melainkan berteori perihal ‘masa tunggu.’ Katanya, “Alasannya bukan karena berpantang, melainkan masa tunggu. Saya meminjamkan uang kepada anda, saya boleh memungut bunga karena menunggu. Menunggu adalah penderitaan.”

Teori-teori ini yang menjadikan ‘riba’ kemudian dilegalisasi. Tentu bukan dalam Kitab Suci. Melainkan masuk dalam aturan positivism. Teori hokum Hans Kelsen, Auguste Comte, John Austin tentu mendukung agar ‘manusia yang berhak membuat hukum.’ Bukan berasal dari Kitab Suci.

Maka, prakteknya dimulai pasca Revolusi Perancis, 1789. Kala otoritas Gereja Roma dikudeta, tak ada lagi kekuatan ‘atas nama Tuhan.’ Melainkan kekuasaan atas nama ‘kedaulatan manusia.’ Kedaulatan rakyat. Maka, manusia yang berhak mengatur manusia. Karena Tuhan didudukkan sebagai pembuat jam. Kala jam selesai dibuat, maka berjalan sendiri.

Rene Descartes mengatakan, ‘Tuhan adalah masuk dalam alam penyelidikan manusia, berikut juga dengan alam semesta dan manusia itu sendiri.” Cogito ergo sum pertanda manusia adalah penyelidik. Manusia yang menentukan ‘being.’ Kebenaran Kitab Suci di eliminasi.

Klimaksnya slogan ‘egalite, liberte, fraternite’ itu. Free will. Egalite, pertanda manusia yang berhak menentukan kosakata keadilan.

Berdasarkan rasio manusia. Bukan lagi Kitab Suci. Liberte, pertanda manusia bebas menentukan Kehendaknya. Free will. Kehendak bebas. Fraternite, persaudaraan sesame penganut free will. Maka, Perang Revolusi Perancis adalah perang ‘aqidah’ antara pengikut ‘Kedaulatan Tuhan’ melawan pengikut ‘free will.’ Tapi pengikut ‘free will’ yang kemudian menang perang.

Sejak itulah manusia membuat ‘state modern’ yang tak lagi merujuk aturan Agama. Karena ‘agama dianggap candu.’ Tapi free will berujung pada nihilisme, seperti kata Nietszche. Hilangnya nilai-nilai. Karena justru melahirkan oligarkhi. Mereka berkuasa penuh atas suatu ‘state.’

Sebab mereka menjadi leluasa mengatur keuangan suatu kerajaan/state. Pasca Revolusi Inggris, sekelompok rentenir mendapatkan legitimasi mengatur keuangan Kerajaan Inggris. Rentenir itu menjadikan Raja Inggris sebagai nasabah.

Seabad kemudian, Kaisar Perancis duduk sebagai nasabah baru. Dua abad kemudian, para rentenir banker ini mengatur banyak keuangan ‘state.’ Disinilah korelasi financial system dan ‘modern state’ bisa terbaca. Tak heran era kini hamper setiap state memiliki utang berbunga. Yang klimaksnya menguntungkan para banker, sang pemberi utang. Merekalah puncak dari oligarkhi dunia.

Dari mana para bankir itu bisa melahirkan financial system dengan pondasi ‘fiat money’? Goethe, pujangga Jerman yang muslim, mampu menjawabnya. Dia mengatakan, ‘Mereka menciptakan system uang kertas dari hasil bisikan setan,’ katanya dalam bukunya “Faust.” Nah, inilah yang disebut ‘satanic finance.’

Santo Agustinus telah memberikan perbedaan. Antara Lex Divina dan lex aeterna. Tentu ‘satanic finance’ bekerja dengan model ‘lex aeterna.’ Sistem hukum setan. Antitesanya hanya pada Lex Divina. Hukum Tuhan. Karena riba hanya bisa bekerja dalam lex aeterna. Dan oligarkhi berjaya bersamanya.

Maka, terbuktilah tipuan dari paham ‘free will.’ Karena itu tak memberikan ‘kebebasan.’ Melainkan perbudakan. Robiespierre meneriakkan ‘liberte, egalite, fraternite,’ ternyata hanya bualan. Karena kaum proletar tetap menjadi protelar. Tak ada ‘freedom.’ Para borjuis yang menang. Mereka berubah menjadi oligarkh, yang mengatur uang dan system.

Tiga abad berselang, revolusi itu pertanda kerugian. Karena Napoleon pun terbukti menyesal. Mati-matian membela manhaj ‘sekuler,’ ujungnya mati di Pulau Elba. Attaturk pun demikian. Jenazahnya ditolak bumi. Membela sekulerisme, membuat sengsara.

Ribuan pemuja paham modernis-sekuleris, yang paling merana. Karena mereka tetap dipaksa membayar utang berbunganya. Karena itu bukan kebebasan. Melainkan sebentuk penipuan. Karena riba tetaplah riba. Allah Subhanahuwataala telah memberikan peringatan keras. Pelaku riba, menandakan berperang dengan-Nya.

Perang itu ditunjukkan dengan kegelisahan hidup, sampai akan mati dengan sengsara. Lihatlah bagaimana kehidupan dan matinya Basil Zaharrof, Ernest Cassel, sampai keluarga Rotschild. Mereka seolah kaya, tapi tak bahagia. Bahkan ada yang matinya terkurung dalam brankas uangnya sendiri. Psikosis. Gila.

Karena Allah Subhanahuwataala telah menghukum pelaku riba, pasti akan terjerambab seperti orang gila. Tak bisa berdiri tenang. Itu sudah kutukan.(“)

Ancaman Kekeringan Global 2025: Realitas, Prediksi, dan Langkah Antisipasi

JAKARTAMU.COM | Kekeringan adalah salah satu ancaman global yang semakin meningkat akibat perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang...

More Articles Like This