JAKARTAMU.COM | Dunia kriminal selalu punya cara unik dalam menyampaikan pesan kepada lawan atau musuh mereka. Di Sisilia, kepala kuda sering dijadikan simbol teror oleh mafia. Tradisi ini bukan sekadar ancaman, tetapi juga sinyal bahwa nyawa target sudah dihitung mundur. Dalam sejarah kejahatan terorganisir, taktik semacam ini selalu efektif: tidak perlu banyak kata, cukup satu simbol mengerikan untuk mengunci ketakutan dalam benak lawan.
Namun, apa jadinya jika praktik seperti ini tidak lagi hanya ditemukan di film-film mafia Italia atau kisah kriminal jalanan, tetapi justru menyusup ke dalam realitas politik dan demokrasi modern?
Baru-baru ini, di “Wakanda”—istilah yang digunakan untuk menyindir kondisi politik tertentu di Indonesia—media Tempo dikirimi kepala babi, sebuah pesan yang sarat makna dan kengerian. Ini bukan sekadar prank atau iseng belaka. Ini adalah pesan politik, sebuah tanda bahwa seseorang atau kelompok tertentu ingin menunjukkan kuasa mereka, persis seperti yang dilakukan mafia.
Ketika Politik Berubah Menjadi Arena Premanisme
Demokrasi yang sehat harusnya diwarnai oleh diskusi, kritik, dan adu gagasan. Media adalah pilar keempat demokrasi yang bertugas mengawasi jalannya kekuasaan. Namun, jika kritik dibalas dengan teror, itu menandakan bahwa kita tidak lagi hidup dalam demokrasi yang sehat.
Tempo dikenal sebagai media yang kerap mengungkap berbagai skandal besar, mulai dari korupsi pejabat hingga manuver politik kotor. Bukan kali ini saja mereka mendapatkan intimidasi. Sebelumnya, Tempo juga pernah mengalami serangan siber, tekanan hukum, hingga ancaman fisik terhadap jurnalisnya.
Mengirim kepala babi adalah eskalasi yang mengkhawatirkan. Ini bukan sekadar ancaman biasa; ini adalah pesan bahwa ada pihak-pihak yang ingin Tempo diam—dengan cara apa pun. Jika ini dibiarkan, maka kita harus bertanya: siapa yang sebenarnya berkuasa di negeri ini? Aparat hukum atau mafia politik?
Politik Teror: Strategi Lama yang Masih Dipakai
Sejarah mencatat bahwa politik teror bukanlah hal baru. Rezim-rezim otoriter di seluruh dunia selalu menggunakan taktik ini untuk membungkam lawan.
Di Amerika Latin, kelompok militer dan paramiliter sering menggunakan penculikan dan pembunuhan sebagai alat politik.
Di Uni Soviet, kritik terhadap Stalin berarti pengasingan ke gulag atau eksekusi mendadak.
Di Filipina, era Duterte, jurnalis dan aktivis yang terlalu vokal berisiko “menghilang” tanpa jejak.
Indonesia sendiri tidak asing dengan politik teror. Sejarah kita penuh dengan kasus-kasus misterius yang sering kali berujung pada satu kesimpulan: ada tangan-tangan gelap yang ingin mempertahankan status quo dengan cara apa pun.
Dari Mafia Sisilia ke Oligarki Nusantara
Dalam film The Godfather, kepala kuda yang diletakkan di tempat tidur seorang produser film adalah peringatan keras: “Turuti perintah kami, atau hal yang lebih buruk akan terjadi.”
Di Indonesia, kepala babi bisa diartikan dengan cara yang sama. Babi sering dikaitkan dengan simbol tertentu dalam budaya tertentu, yang membuat pesan ini semakin personal dan provokatif.
Siapa yang berada di balik aksi ini?
- Apakah ini kerjaan kelompok politik yang merasa terganggu oleh pemberitaan Tempo?
- Apakah ini taktik oligarki yang ingin mempertahankan dominasi mereka atas informasi?
- Atau apakah ini bagian dari upaya sistematis untuk menciptakan ketakutan, agar media lain berpikir dua kali sebelum mengkritik kekuasaan?
Kita mungkin tidak memiliki jawaban pasti saat ini, tetapi pola ancaman terhadap jurnalis dan media sudah terlalu sering terjadi untuk diabaikan.
Ketika Demokrasi Dikuasai Preman
Jika politik teror terus dibiarkan, maka yang kita hadapi bukan lagi pemerintahan yang berlandaskan hukum, tetapi pemerintahan yang dikuasai preman. Demokrasi yang seharusnya melindungi kebebasan berpendapat justru berubah menjadi panggung intimidasi.
Kasus Tempo hanyalah puncak gunung es. Banyak jurnalis dan aktivis di Indonesia yang mengalami ancaman serupa. Beberapa di antaranya bahkan harus meninggalkan negeri ini demi keselamatan mereka.
Ketakutan adalah senjata utama para pelaku politik teror. Mereka ingin kritik dibungkam, diskusi dihentikan, dan rakyat tetap pasif.
Jika kita membiarkan ini terjadi, maka lambat laun kita akan kehilangan kebebasan berbicara sepenuhnya.
Apa yang Harus Dilakukan?
- Jangan Takut, Jangan Diam
Jika jurnalis takut, jika media diam, maka para pelaku teror akan semakin berani. Sebaliknya, semakin besar tekanan publik, semakin sulit bagi mereka untuk bersembunyi. - Dukung Media yang Berani
Tempo dan media independen lainnya membutuhkan dukungan kita. Berlangganan, membaca, dan menyebarkan berita dari sumber yang kredibel adalah bentuk perlawanan terhadap politik teror. - Tuntut Tindakan dari Aparat
Jika kepolisian dan aparat hukum membiarkan kasus ini berlalu begitu saja, maka itu tanda bahwa mereka bukan lagi pelindung rakyat, melainkan pelindung oligarki. - Jangan Biarkan Demokrasi Mati dalam Ketakutan
Demokrasi yang sehat tidak bisa berjalan jika rakyat takut berbicara. Kita harus terus mengawasi, bersuara, dan menolak segala bentuk intimidasi.
Siapa yang Sebenarnya Berkuasa?
Kasus kepala babi ini adalah ujian bagi demokrasi Indonesia. Jika dibiarkan tanpa penyelesaian yang adil, maka kita harus bertanya:
Apakah kita masih hidup di negara hukum?
Ataukah kita sudah menjadi negara yang dikuasai oleh mafia politik dan premanisme?
Sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan yang dibangun di atas teror tidak akan bertahan lama. Cepat atau lambat, rakyat akan sadar dan melawan.
Mungkin para pelaku teror ini lupa bahwa dalam setiap era kegelapan, selalu ada orang-orang yang berani menyalakan cahaya. Dan ketika cahaya itu menyala, tidak ada kekuatan gelap yang bisa bertahan selamanya. (Dwi Taufan Hidayat)