JAKARTAMU.COM | Pada 12 Maret 1992, Presiden Soeharto meresmikan perluasan pabrik PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah. Perusahaan ini berhasil mengintegrasikan empat lini produksi—pemintalan, penenunan, penyelesaian, dan garmen—dalam satu atap, menjadikannya pabrik tekstil terpadu terbesar di Asia Tenggara.
Sritex tidak hanya menguasai pasar domestik, tetapi juga menembus pasar internasional dengan memproduksi seragam militer untuk lebih dari 33 negara, termasuk NATO dan Jerman. Keberhasilan ini menjadikan Sritex sebagai ikon industri tekstil Indonesia.
Namun, perjalanan gemilang Sritex tidak selalu mulus. Pada 2024, perusahaan ini menghadapi krisis finansial serius, hingga dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang. Krisis ini mengancam mata pencaharian sekitar 50.000 karyawan dan menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap industri tekstil nasional.
Presiden Prabowo Subianto, yang juga menantu dari almarhum Soeharto, segera mengambil tindakan. Ia menginstruksikan empat kementerian—Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Tenaga Kerja—untuk merumuskan langkah-langkah strategis guna mencegah kebangkrutan Sritex. Prabowo menekankan pentingnya menyelamatkan Sritex karena perusahaan tersebut merupakan industri padat karya yang mempekerjakan banyak tenaga kerja.
Langkah ini menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap industri strategis nasional dan upaya melindungi lapangan kerja. Namun, meskipun upaya penyelamatan telah dilakukan, Sritex tetap menghadapi tantangan berat, dan pada 2025, perusahaan ini resmi menutup operasionalnya. Penutupan ini menandai akhir dari sebuah era bagi Sritex, yang pernah menjadi kebanggaan industri tekstil Indonesia.
Kisah Sritex mencerminkan dinamika industri dan ekonomi Indonesia, dari masa kejayaan di bawah kepemimpinan Soeharto hingga tantangan yang dihadapi di era Prabowo. Ini juga menjadi pengingat akan pentingnya adaptasi dan inovasi dalam menghadapi perubahan zaman. (Dwi Taufan Hidayat)